Merah Itu Ramah

Dia bukan pendendam. Demikian selalu para pesaingnya berlagak memuji. Siapapun, pejabat apapun diposisi manapun akan merasa ingin berkuasa sepenuhnya. Tapi Lurah perempuan ini memang beda. Ia ingin menjadi contoh untuk calon-calon lurah lainnya, kalau jabatan yang diembannya tidaklah harus abadi. Oleh karenanya dia lebih banyak memikirkan rakyatnya ketimbang ngurus keluarganya sendiri. Tak heran jika anak satu-satunya akuwu jaman Belanda itu lebih senang pula kalau melihat rakyatnya makan lahap ketimbang berfikir masalah lainnya.
Sejak rakyat padukuhan Gula Aren memenangkan Siti Angkasa menjadi Lurah, dia selalu gembira kalau rakyatnya bisa bekerja dan makan enak. Ia tak pernah arogan bahkan melakukan kesewenang-wenangan dalam memerintah. Terbukti hingga tahun ketiga belum ada gerakan pewarnaan terhadap segenap komponen rakyat, organisasi bahkan juga gerakan pewarnaan terhadap seluruh instansi dan elemen masyarakat.
Bu Lurah, saya laporkan pada Ibu bahwa rakyat kita sekarang memang sudah mulai merasakan apa arti kesejahteran. Tetapi mereka kini jadi warga yang bingung. Maklum bu, sudah sejak lama dikuasai oleh kepemimpinan tokoh yang seringkalai membuat perintah, instruksi dan arogansi birokrasi. Karena ibu tidak bergaya seperti orang terdahulu, bahkan ibu menggunakan kepemimpinan kasih sayang, rakyat jadi bertabah khawatir. Mereka ingin membuat gerakan yang bermaksud mendukung pencitraaan kepemimpinan ibu dari sudut bendera bersemangat Perjuangan yang disimbolkan dengan warna merah.
“Apa? Rakyatku akan memerahkan semua wilayah kekuasanku, Cepat halangi mereka. Panggil beberapa penggeraknya. Jangan konyol! Aku tidak pernah bermimpi melakukan itu karena aku ingin kalian semua bisa tersenyum sumringah. Eh kalian malah mengira aku bodoh, aku dungu dan tak mengerti politik bahkan soal kepemimpinan,” ujar Siti Angkasa.
Hari itu juga Bu Kades Siti Angkasa mengumpulkan para kaur pemerintahan desanya. Dalam rapat yang dipimpinnya secara langsung dijelaskan perihal kebijakannya yang akan melawan bentuk-bentuk arogansi, dan dominasi politik yang akan menghegemoni kebebasan dan kemerdekaan rakyat.
“Kalian tahu kenapa saya biarkan organisasi-organisasi pemuda dan kemasyarakatan yang pernah menjadi lawan saya hidup bersama dengan nyaan di jaman kepemipinan saya ini? Kenapa mereka tidak dikumpulkan dan diberi baju baru bernama Organisasi merah?, berbendera Merah dan Berseragam merah? Itu karena aku ingin masyarakatku daerah yang kucintai ini farian, seindah pelangi di langit jingga, sepenuh suasana demokratis. Meski dengan aneka ragam coraknya namun tetap menggunakan hati sanubari untuk mencapai sebuah tujuan hidup dan memperjuangkan kebenaran yang hakiki.”
Wah, Bu cara begitu akan diartikan lain. Wong sudah jelas ketika kita dipimpin Lurah Karto, seluruh daerah kita di warnai Biru, Sewaktu Lurah Ngatijo yang bos kunir itu semua aset desa diwarnai kuning juga pagar milik rakyat dianjurkan menguning juga. Begitu juga organisasi yang boleh menonjolkan diri di jaman mereka harus berseragam biru dan berikutnya kuning. Lah ibu ini aneh, banget sih. Ibu kan Kader Kemerdekaan dengan bendera merah. Bukankah ikon merah itu sudah melekat pada diri ibu sejak kecil? Kenapa tidak kita manfaatkan rakyat kita yang meminta sendiri agar seluruh daerah ini dimerahkan kita kabulkan?, hampir seluruh anggota masyarakat menyataka setuju usulan Mas Jabang Tutuka. Namun hingga rapat selesai Ibu kepala desa tetap pada keyakinannya. Desanya akan menjadi desa yang Indah dan mempesona manakala pencerinan demokratisasi itu ditandai dengan kehidupan yang rukun dan seimbang. “Kita kembali mengapresiasi keindahan alam ciptaan tuhan sebagaiana melihat ‘Pelangi di Langit Jingga’,” Katanya begitu bijak.***
Nurochman Sudibyo YS.

Komentar