Sebuah Catatan Nonton - Butet melakon “Kucing”

Sebuah Catatan Nonton
Butet melakon “Kucing”

Oleh : Nurochman Sudibyo YS

Nonton “kucing”, jadi teringat tema spontan yang aku munculkan, manakala dengan mendadak diminta menjadi pemateri pada Kursus jurnalistik yang diselenggarakan mahasiswa Universitas Wiralodra Indramayu. Sebuah Kota di Ujung Utara Jawa Barat dengan mayoritas penduduk suku Jawa berdekatan dengan Cirebon, namun sama-sama tak diakui sebagai masyarakat Jawa, apalagi suku Sunda. Dan Kucing di masyarakat setempat diphami sebagai binatang yang tidak terlalu istimewa. Hanya orang-orang tertentu yang menyukai kucing. Pasalnya selain malas, belakangan gara-gara film kartun Tom and Jerry, binatang omnifora ini takut dengan tikus, apalagi jenis tikus besar yang dikenal dengan sebutan wirog. Bahkan Kucing lebih dikenal sebagai sebutan bagi lelaki serakah dan perempuan lembut dengan sifat yang tetap saja antagonis.

Saat itu tiba-tiba muncul ide spontan, mengetengahkan tema kucing sebagai umpan persoalan. Hasilnya tak mengecewakan. Dari jumlah peserta sebanyak 215 mahasiswa berbagai jurusan, saat itu tak ada seorang pun yang mampu membuat kalimat berita pendek bertema kucing. Dan, tak seorang pun diantara mereka yang percaya kalau Kucing bisa menjadi berita besar dan bisa masuk kategori berita nasional. Bahkan untuk sebuah koran lokal, berita soal kucing yang baik bisa dimuat dihalaman depan.

Mereka baru tersadar saat kuceritakan dengan bahasa feature, kisah fiksi tentang Kucing Kesayangan Bupati ditabrak oleh mobil sedan mewah yang dikendarai Dirut Pertamina UP VI. Kucing yang sebelumnya dipangku dan disayang putri Bupati itu turun dari mobil saat ditinggal membeli eskrim. Beberapa saat hendak kembali menuju mobil, terdengar jerit kucing tergilas ban mobil mewah. Si empunya kucing berteriak. “Itu kucingku! Pak Sopir cepat tangkap orang yang menggilas kucingku!” dengan cepat supir bupati itu turun. Ia langsung melabrak sopir mobil sedan mewah tersebut.

Terdengar keduanya saling berargumen. “Saya Dirut Pertamina Kota ini. Berapa sih harga kucing, akan saya bayar!” ujar Penabrak. Pak supir lalu Berteriak. “Bu...! Ke sini bu, dia melawan!,” Teriak Sopir pada Ibu Bupati yang sudah setahun jadi Majikannya. Saat itu juga turunlah Ibu Bupati dari mobil pribadinya.

Merasa Bawahannya ditantang orang sembarangan, ia pun siap-siap menyingsingkan lengan bajunya. “Apa, Siapa yang berani sama anak buah saya? Sudah berani membunuh Kucing Kesayangan Anak saya, Nggak mau turun dan minta maaf. Kamu belum tahu ya, Saya Bupati! Sekarang serahkan KTP anda. Dan akan kutuntut kamu melalui jalur hukum.

Kontan wajah Dirut pucat. Orang nomor satu di unit perusahaan Pertamina itu pun bengong, manakala yang bertandang di disamping kaca mobilnya seorang wanita cantik dan terhormat yang gambarnya ribuan biji terpasang di baliho, billboard dan benner di dalam kota dimana ia tinggal dan bekerja.

Buru-buru ia pun turun dan memohon maaf. Bahkan tanpa bisa dipotong kalimatnya, ia memeberondongkan ratusan kalimat, dengan wajah penuh penyesalan dan berkali pula ia minta maaf serta menyatakan siap mengganti biaya berapapun besarnya asalkan damai. Namun Bupati rupanya sudah kadung tersinggung sekali, dengan gaya kasar Dirut yang memang asli Putra Tapanuli dan punya bakat sama kasarnya dengan masyarakat Kota yang dipimpinnya.

Terjadilah pertengaran yang tak berkesudahan. Tidak ada seorang pun anggota masyarakat yang berani melerai, termasuk sekuriti pusat perbelanjaan dimana mereka bermasalah. Baru, ketika datang salah seorang anggota Polisi, cekcok mulutpun usai. Polisi itu langsung memberi hormat pada Bupati. Ia dengan segera membawa Sopir sedan Mewah yang ternyata dirut Pertamina menuju Polres. Tentu saja setelah Bupati meminta agar menangkapnya serta membawa bukti-bukti yang mengakibatkan mereka bertikai.

Malam itu juga Bupati melalui pengacaranya mengajukan laporan ke kepolisian dan meminta agar kasus matinya kucing Persia kesayangan anaknya itu segera dimeja hijaukan. Adapun tuntutannya segera menghukum pengemudi Mobil sedan mewah yang tidak memiliki prikebinatangan serta tata krama terhadap bupatinya, dengan tuntutan denda 1 Milyar sebagai pengganti jenajah Kucing kesayangan Putri tercintanya.

Baru saya ceritakan cuplikan dari kisah kucing yang menjadi berita nasional, seluruh peserta kursus jurnalisme serempak bersuara “OOOH...?” dan mereka meminta pada saya untuk melanjutkan ceritanya. Mereka mengira aku telah mendongeng, dan mata mereka pun mulai kendur, sayup-sayup terkantuk. Materi berakhir ,semua peserta tertidur lelap.

Kisah seekor kucing di awal tahun 2000 an juga telah mampu menggetarkan publik nasional bahkan sampai ke negeri tetangga Malaysia, Singapura, Filipina, Arab Saudi, Hongkong dan Korea. Kisah “Kucing Garong” yang dilantunkan oleh penyanyi Dede S dengan gaya musik dangdut tarling buah karya Tukang ojeg di kampung Terisi Kecamatan Cikedung Indramayu yang diaransir oleh Thorikin yang juga warga Indramayu dan mitra kerja Dian Record, dengan cepat menjadikan lagu tersebut menjadi hit melalui peredaran CD asli dan bajakan. Bahkan artis-artis papan atas macam Inul Daratista, Uut Permatasari, Anisa Bahar dan kawan-kawan artis lainnya yang punya gaya goyang ngebor, goyang gergaji, goyang maut bahkan goyang dangdut apapun, ikut meraup keuntungan beratus-ratus juta rupiah karena lagu “Kucing Garong” ini.

Fenomena “kucing” memang masih tetap hangat dalam wacana pola pikir masyarakat dunia. Kondisi pertumbuhan penduduk yang tak tertahankan, Sulitnya perekonomian dan persaingan dangang yang tak terelakkan semakin menempatkan pribadi-pribadi berbeda jarak, antara si kaya dan simiskin, antara penguasa dan rakyat yang tak kuasa begitu juga yang terjadi pada pemilik kebijakan di aantara masyarakat yang menuntut kebijaksanaan. Bahkan banyak pula si miskin mendadak kaya atau berpura-pura kaya.

Begitu juga di negeri berkembang macam negara kita sekarang ini. Tokoh kucing justru ada dimana-mana. Ia adalah sosok yang pemalas, sikapnya tak mau kalah, mudah menyerang. Suka sekali mencuri, mudah terbujuk nafsu, dan gemar sekali dielus-elus majikan, bahkan untuk orang terkasih yang butuh dipuja bawahannya. Padahal kenyataannya ia hanya seorang pemalas dan pencuri serta tukang selingkuh kayak “Kucing Garong”.

Tak heranlah kalau pentas keliling monolog “Kucing” oleh Butet Kartaredjasa pun sukses besar baik saat panggungkan di Balairung Utama UKSW Salatiga, Auditorium UNIKA Soegijapranata Semarang, Studen Center UNS Solo, Auditorium Universitas Muria Kudus, Auditorium UNIKAL Pekalongan, Auditorium UPS Tegal bahkan kelak dipentaskan di Gedung Soemardjito UNSOED Purwokerto dan kota-kota lain di Indonesia.

Melalui pengantar yang ditulis Giras Basuwondo dalam katalog pementasan “Kucing” yang diangkat dari Cerpen karya Putu wijaya dan disempurnakan oleh Agus Noor menjadi Lakon dalam Monolog Butet, “ Kucing” lahir atas dasar diterlantarkannya ranah kebudayaan oleh rejim kepemimpinan pemerintahan saat ini. 6 tahun sudah dirasakan belum ada perubahan yang sigifikan terhadap buruknya infrastruktur penyelenggaraan kegiatan kebudayaan , termasuk kesenian serta belum diberikannya regulasi dalam perkara perpajakan. Sehingga ada kesan pemerintah seniman dan pekerja kebudayaan adalah orang yang perkasa, sehingga mereka yakin dengan keperkasaannya itu seniman dan pekerja kebudayaan tetap dapat berlaku tambah dalam mereguk kesengsaraan bahkan semakin kreatif karena keterpurukannya itu. Pada kenyataannya memang seniman dan pekerja budaya kita masih dalam kemiskinan namun tetap hidup dengan semangat swadaya dan kemandirian.

Dalam Pentas Monolog “Kucing” oleh Butet Kartaredja. Kisah kucing adalah kisah sederhana dan remeh teeh. Diceritakan suatu ketika seorang yang karena kesal, memukul kucing milik tetangganya. Ia merasa tak bersalah memukul kucing itu, karena kucing itu memang mencuri dan memakan lauk –pauk miliknya.

Ia mengira persoalan kucing itu tak akan berkepanjangan. Tetapi, ternyata ia menjadi kerepotan setelahnya. Pak RT, meandatanganinya, karena ia mendapat komplain dari si pemilik kucing itu, agar minta ganti ongkos perawatan kucing yang menjadi pincang.

Begitulah persoalan kucing itu menjadi permasalahan yang kemudian cukup merepotkan bagi si tokoh dalam kisah ini. Ternyata soal kucing juga memepengaruhi hubungannya dengan sang istri, juga dengan anak-anaknya. Ia juga semakin merasa terpojok, dan merasa diperas, karena ongkos perawatan kucing yang luka itu bertambah besar. Seperti ada “Konspirasi” yang semakin hari semakin memojokannya. Barangkali ini hanya perasannya saja, tetapi persoalan kucing itu memang benar –benar mengganggu kehidupan si tokoh.

Begitulah, persoalan kucing seperti membuka semua watak para tokoh dalam lakon ini. Dengan alurnya yang lincah dan khas, Putu Wijaya berhasil membangun alur yang menarik, sekaligus bisa membicarakan soal hakikat kemanusiaan dan seluruh persoalannya. Sebuah kisah yang kelihatannya remeh temeh dan sederhana, tetapi langsung menghunjam ke hakekat dan maknanya,.. Demikian kisah ringkas pentas monolog “Kucing” oleh Butet Kartaradjasa.

Butet terkesan dalam lakon “kucing” ini ingin menunjukkan sesuatu yang lain. Sebagai aktor monolog yang terkenal lewat lakon Lidah Pingsan dan Lidah (masih) Pingsan disaat menjelang Reformasi negeri ini, ia dengan begitu piawai, memukau publik dengan kemampuannya yang pandai meniru suara-suara tokoh politik. Dan, lakon-lakonnya semakin dekat sekali dengan isu politik. Di Lakon “Kucing” isu politik tidak dilakukannya lagi. Apalagi soal meniru-niru suara tokoh politik negeri ini. Ia tidak ingin Monolog di Indonesia dipahami atas kesuksesan yang diraihnya. Maka melalui “Kucing” karya Putu Wijaya ini, ia menunjukkan pada publik tidak usah tiru meniru suara orang, cukup dengan melakonkan hal yang sederhana audien pun mampu menangkapnya sebagai sesuatu yang berharga dan tak Cuma pesan tapi juga kesan yang tak berkesudahan, tentunya.***

*Penulis adalah Penonton dan pencatat seni budaya Pantura,
tinggal di Dukuh Sabrang, Pangkah Kab. Tegal Jawa Tengah.
Rekening : a/n Diah Setyowati, BANK MANDIRI KCP TEGAL SUDIRMAN 13901. No. 139-00-1063776-1

Komentar