Gonjang-ganjing antar Lembaga hukum; KPK dan Polri, berimbas menjadi keprihatinan bangsa Indonesia. Kondisi seperti itu sudah barang tentu mengkhawatirkan semua komponen diberbagai lapisan. Tak terkecuali masyarakat di berbagai daerah. Demikian pula yang dirasakan oleh dua seniman asal Indramayu: Nurochman Sudibyo YS, alias Ki Tapa Kelana yang tak asing menyandang Gelar Budayawan Pantura, bersama Syayidin SR. Pelukis Indonesia. Rasa keprihatinan keduanya diletupkan dalam karya kolaborasi yang berhasil menggetarkan Kota Indramayu dan sekitarnya.
Pembacaan Gurit Dermayon (Puisi Berbahasa Daerah
Indramayu) Karya Nurochman Sudibyo YS dan Painting Art Performance
Syayidin. Dipergelarkan di atas Panggung
Taman Monumen Perjuangan. Pilihan tempat ini dikarenakan Nurochman memiliki
insting yang kuat bahwa ruang bawan Monumen Perjuangan tersebut telah
difungsikan menjadi Taman anak-anak pelajar berpacaran dan melakukan pesta
miras di waktu-waktu tertentu. Kondisi ini menjadi pemacu bagi seniman
Indramayu yang sudah banyak makan garam eksis di tingkat nasional dan manca
Negara ini.
Bagi Ki Tapa Kelana Monumen Perjuangan tepat untuk
menjadi pijakan sebuah gerakan dengan topik perubahan. Maka dipilihlah judul
lalon yang dibawakan malam Minggu 31 Januari kemarin “Watu Ngulet”. Sementara
Syayidin berkeinginan acara digelar persis di tanggal kelahiran Nurochman
Sudibyo --Penyair yang memiliki gaya abaca puisi sangat khas Indonesia itu
tanggal 24 Januari. Namun rencana singkat itu baru bias digelar di ujung bulan
Januari melalui dukungan Sihabudin Lebe, ketua Lembaga Seni Tradisi Indramayu
(LASTI).
Dengan singkatnya waktu mereka bertiga pun akhirnya
dapat menyiapkan kegiatan Perenungan dan
kepedulian itu. Bahkan saking positifnya, Kepala Dinas Pertamanan dan
Kebersihan Indramayu Dr. Trisna Hendarin ,MSi, mengizinkan ruang kosong yang
ada di bawah Bangunan Monumen Perjuangan Rkyat Indramayu itu dijadikan
Sekretriat LASTI. “Semoga dengan dimanfaatkannya ruang bawah Monumen Perjuangan
apa yang selama ini menjadi keprihatinan kita bersama berubah. Saya yakin LASTI
dan seniman Indramayu dapat memanfaatkannya menjadi ruang kreativ. Pesan saya
Cuma satu, Jangan sampai Monumen dirubah bentuknya. Silahkan digunakan dan
diramaikan dengan banyak kegiatan. Kami sip mendukung baik moril maupun
materinya,” Ucapnya pada Nurochman di Kamis pagi sebelum pentas.
Kolaborasi Dua Seniman Besar itu terlaksana di
Malam Minggu pungkasan Januari di halaman Taman Monumen Perjuangan Rakyat depan
Kodim 0616 Indramayu . Di bawah mendung Tebal, dan disekat rumputan basah
sehabis hujan, Tak bias menahan niatan besar para seniman Indramayu dan harapan
masyarakatnya yang rindu damai, kangen perubahan, berharap tertib, bersih dan
sejahtera. Tekad itulah kemudian yang mendorong Nurochman Sudibyo alias Ki Tapa
Kelana di usianya yang genap 52 tahun berusaha mengetuk hati masyarakat untuk
segera mungkin melakukan perubahan. Perubahan sebagaimana zaman era Batu Indah yang
telah menggeser kecintaan dan kegilaan manusia dari mencintai Bunga Gelombang
Cinta, Ke Era Burung kenari dan Murai.
Era Kegilaan bangsa Indonesia pada Batu indah, batu
mulia dan batu permata telah menjadi inspirasi besar Budayawan Pantura
Nurochman Sudibyo YS. Ia yang selama 30 tahun ikut andil dalam tiga perubahan
itu terinspirasi menggelar Lakon “WATU NGULET” atau “Batu Menggeliat”.
Nurochman menganggap kekerasan hati, dan carut marutnya persoalan politik dan
Lembaga Hukum yang menjadi konflik nasional hingga berimbas ke berbagai daerah,
harus seger dihentikan. Upayanya bagi Nurochman “Sekeras Batu dan seindah Batu
apapun pilihannya jika kemudian itu disadari merupakan ganjalan bagi
terciptanya Pemerintahan yang Bersih, Jujur dan Tertata, Bakal memberi
kegairahan baru bagi masyarakat Indonesia. Kiatnya tak ada lain harus
“Menggeliat”. Dengan “Watu Ngulet” Nurochman dan Syayidin menyatu padu dalam
karya yang fenomenal. Mereka ingin masyarakat Indramayu melakukan perenungan
dan kemudian memutuskan bergerak dalam doa, agar segera terjadi perubahan di berbagai
ruang yang selama ini dirasa tidak bersih, bahkan ada kecenderungan
tarik-menarik antara keinginan membuat ruang yang bersih dan kecenderungan
mempertahankan suasana yang kotor dari kelompok yang gemar memanfaatkan
kekotoran zaman.
Pendeknya Pentas “Watu Ngulet” berlangsung sukses
melalui doa dan kepiawaian Ki Tapa Kelana menyajikan pertunjukan akbar dengan nuansa
magis Menggeser Hujan Malam itu, menggeser Moralitas Remaja yang dinilai sudah
sangat mengkhawatirkan, serta Menggeser carut marut konflik nasional ke rah
Kesadaran Kolektif. Ikut mewarnai semangat Nurochman dan Syayidin, sebelum
pertunjukan mereka ikut tampil Drs. Suyono ketua YASINDRA membaca puisi untuk
52 tahun Ki Tapa Kelana, Sanggar Tari Melati ayu Binaan Rokhman-Rokhim, Tari
Sintren Kontemporer garapan Koreografer Tajudin Iing Sayuti dan Tarling Klasik
Pimpinan Mas Yoto mengiringi Kolaborasi Pentas “Watu Ngulet” oleh dalang tutur
Nurochman Sudibyo dan Painting Art Performance Pelukis Syayidin.***
Komentar