Tentang Negeri Karam Dalam Metafor Gurit "Dermayon"

Krana tibaneng pangucap manungsa kang den umbar/ Ngaluwihi kuasane gusti/ Saiki kadeleng ning mata sekabeh jagat pada robah/ Menika angrupa tanda-tanda ning jaman/ Bonggan sira ora jaga sakubenge alam/ Kedadiane bumi sewaktune ndeleng tetanduran senajana ana udan/ Ora ketulungan/ Ombak gede ning lautan gawe ngeri para nelayan/ Pesisir laut kepincut tambah sue tambah ciut/ ../ wong nandur bako laka sing dadi/ Malah mati kesiram bocoran lenga/ ... Puniki pratanda ning jaman/ Ilange godong pace, mampete saluran birokrasi, tugele jalinan silaturahmi/ Sing ana mung saling prediksi, korupsi wis dadi tradisi/ Kita wong cilik mung bisa nyakseni wong pada mangan daging sedulure dewek/ Iku kula kabeh pun samya nemoni, Negari puniki klelep/ Negarine kerem. Negari kelem, Negari banjir banyu mata.

Banyak cara dan media yang digunakan seniman, baik secara individu maupun kelompok, dalam mengekspresikan rasa keprihatinannya terhadap kerusakan lingkungan, tidak terkecuali Nurochman Sudibyo YS. Sebagai seorang penyair, tentunya bahasa (sastra) dijadikan sebagai mediumnya-dalam hal ini geguritan atau maca susastra Jawa (Dermayu).
Apa yang terkandung dalam gurit, karya sekaligus dibacakan secara tunggal oleh Sudibyo dalam kemasan seni pertunjukan pada 24 Januari 2009 di Gedung Panti Budaya Indramayu, menyinggung persoalan kesadaran ekologis yang telah terkikis, bahkan cenderung mendekati mati, serta anomali perilaku yang menyurutkan nilai-nilai kemanusiaan sesungguhnya. Dalam arti manusia yang semestinya memiliki kesadaran lingkungan.
Apa yang didengung-dengungkan selama ini tentang penanganan untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan hanyalah sebatas kenarsisan seremoni dalam mencuri perhatian publik. Hal itu menjadi stereotipe jika dilakukan terus-menerus tanpa didasari dengan kesadaran ekologis bahwa kualitas lingkungan sangat memengaruhi kualitas kehidupan. Bahwa alam beserta isinya adalah sumber dari kehidupan secara mutlak. Bahwa mengeksploitasi (lawan dari memanfaatkan) sumber daya alam, terutama sumber yang tak dapat diperbarui, secara berlebihan akan berakibat fatal, terutama bagi generasi selanjutnya.
Kesadaran ekologis menjunjung tinggi kesadaran timbal balik antara manusia dan lingkungannya, hingga menciptakan suatu keselarasan dan keseimbangan lingkungan sebagai tempat kehidupan. Maka, apa yang akan terjadi bila kesadaran ekologis terkikis. Bukan mustahil kerusakan lingkungan (alam) semakin hari semakin memiliki kekuatan mengancam. Negeri bencana
Negeri ini adalah sebuah negeri bencana. Negeri yang manusianya tak lagi ramah. Dablek. Pencemaran lingkungan akibat limbah industri kerap ditemui di mana-mana. Hutan-hutan gundul dan kebakaran terjadi di mana-mana. Aliran sungai terputus akibat gundukan sampah. Erosi melanda di setiap jengkal pesisir. Banjir, kekeringan, dan lain-lain rasa-rasanya telah menjadi ikon tata nilai kehidupan di negeri ini.
Murca. Persoalan demi persoalan yang berkaitan dengan lingkungan, yang puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang mengingatkan dampak terburuk dari semuanya, belumlah dapat diimbangi dengan tindakan yang semestinya dan menyeluruh oleh manusia sebagai penghuni. Apa yang kita lakukan baru sebatas glendengan cengkres (bualan semata-mata), imbas dari gaya yang serba snobisme.
Mungkin sudah sampai pada tingkat kesulitan untuk menangani lingkungan yang kadung rusak. Namun, bukan sesuatu yang terlambat untuk mengantisipasi kerusakan lingkungan agar tidak bertambah parah. Hal itu menjadi tanggung jawab siapa? Tentunya tanggung jawab kita bersama. Yang akan kita lakukan adalah bagaimana berbuat, yaitu dengan memulainya dari hal-hal terkecil untuk berperan melestarikan lingkungan tempat kita menjalankan interaksi sosial sehari-hari. Namun, apakah salah jika kita pada akhirnya apriori terhadap perilaku kesadaran ekologis yang nyaris tidak dimiliki lagi oleh kita akibat kebiasaan buruk yang membudaya. Mengedepankan kepentingan pribadi yang sifatnya sesaat adalah prioritas ketimbang kepentingan publik, bahkan kepentingan generasi berikutnya, anak-cucu kita. Jika sudah demikian, niscaya negeri ini akan kehilangan nikmatnya udara-air-tanah beserta ekosistemnya.
Negeri ini akan karam, tenggelam, akibat ulah kita sendiri, sebagaimana beberapa gurit (dari 25 judul gurit) yang dibacakan secara mengentak-entak, mendayu-dayu, dan sesekali diselingi tembang macapatan yang seolah-olah keprihatinan seorang Dibyo ada di dalamnya. Negeri sampah
Momen sastra yang diselenggarakan Medium Sastra Indonesia dan Dewan Kesenian Indramayu itu ditajamkan pula dengan beberapa pendukung pertunjukan yang masuk dalam satu kesatuan tema, seperti halnya tari kolosal hasil kreasi Sanggar Puser Langit Cirebon pimpinan Ponimin. Ia juga mengedepankan persoalan lingkungan terutama menitikberatkan pada persoalan sampah. Bagi Ponimin selaku koreografer tari, keadaan negeri sekarang ini sudah menyerupai sampah, baik sampah dalam arti verbal maupun dalam bentuk simbol perilaku manusia yang kotor.
Sementara Apito, aktor dari Tegal, ikut pula menyikapi keadaan negeri ini melalui monolognya dengan mengambil tema tentang sikap dan perilaku manusia yang tak ubahnya binatang. Apito sengaja mengambil relevansi dari persiapan menghadapi pemilu, bagaimana caleg-caleg mengumbar janji absurd dengan latar cerita menggunakan kerajaan binatang.
Berbeda Ponimin, Apito, berbeda pula dengan Yudo Agitoro yang menggunakan media klarinet sebagai pembuka monolog gurit dermayon. Dengan lagu Warung Doyong, Yudo berusaha membuat suasana gurit yang ngedeso. Artinya, bagaimana menyamakan persepsi sebuah desa yang asri, ramah, hangat, dan kehidupan yang tidak semena-mena kemudian berubah menjadi sesuatu yang lain dari sebuah desa yang sesunguhnya.

Begitulah realitasnya.
Kini, memasuki babak baru dalam menyikapi kerusakan lingkungan, bukan saja birokrat, teknokrat, ilmuwan, dan lainnya, seniman pun sudah saatnya berbuat. Yang dapat diperbuat seniman adalah bagaimana mengemas pesan tersebut dari karyanya yang bukan sekadar pesan, melainkan pesan yang sarat dengan gagasan ataupun ide-ide sehingga bermanfaat bagi sendi-sendi kehidupan dan perilaku yang memanusiakan manusia. ***** Ucha M. Sarna


Sumber : Kompas, 14 Februari 2009

Komentar