”KEMAT JARAN GUYANG”
6 potong adegan kusimpan dalam folder. Naskah sudah terbukukan, “Migrasi dari Gamelan ke Gitar dan Suling”. Semenjak lama tertata di lemari tua. Sejarah Tarling klasik dan muasalnya dalam sampul coklat tua dan lusuh. Memeng belum bisa dikatakan sebuah sinopsis. Mitologi masyarakat Pantura; Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu dan kini entah konon telaah merambah ke seantero nusantara. Tiba-tiba ingin sekali meringkasnya jadi drama yang mencekam. Kisah masyarakat petani dan nelayan laut utara jawa, serasa mengalirkan sungai dalam komposisi dawai dan liukan irama seruling di panggung legenda yang dikemas tragis semalam suntuk.
Aku teringat Shakesphiere dengan Romeo dan Juliet-nya. Saat mana pesta tasyakuran jadi ajang pentasmu. Berpuluh panggung menangkap tahun-tahun berlalu, untuk kedua kalinya kusaksikan malam purnama. Di bawah rindang pisang, dibatas pagar bambu antara tahun 70-80an dibumbui tarian atraksi gadis cantik bergoyang dahsyat menari jaipongan.
Kudengar malam menyeru tajuk acara, Lakon dibuka “Ajian Kemat Jaran Guyang”. legenda Baridin dan Suratminah. Aku menyebutnya cinta kandas di ladang bias. Namun ingatan itu semakin menempatkan aku jadi "BARIDIN" , menembangkan puisi dalam irama gitar dan suling yang menyayat.
Aku jejaka tua, penunda masa lajang. Bergaris jepitan ekonomi yang kian menyempit. Karena bapakku tak lagi mengenal pulang. Sebab pailit yang menderit. Kupilih berteman dengan ibuku. Mbok Wangsih, buruh tani penjual pisang. Aku Baridin. Kepada Mbok Wangsih di gubuk bambu yang sederhana. Di pinggiran bengawan Kali Pemali dengan sepuluh pohon pisang juga nangka welanda. Satu tandan masak di pohon. Ibuku janda setengah tuhu yang mendidik hiduku. Aku si tukang meluku, petani pembajak sawah yang selalu resah. Dan, kau tau kerbau penariknya, kupinjam dari Pak Haji Darkum.Lelaki tua tak murah senyum.
Sapai suatu hari Mang Bunawas beri tugas membajak sawah di batas desa Jemaras. Secepon tumpeng dan bekakak ayam, sebagai pengikat, juga uang bayaran. Upah selalu kuterima. Padahal kerja belum kulakukan. Hingga pagi melepas sarapan. Weluku kupanggul di bahu, kuberjalan perlahan ke lahan tujuan.
Saat datang melesat. Sebuah desa di pinggiran kota sumber Bawang, Bapak Dam saudagar kaya raya, dengan modal kesombongan, sikap angkuh dan sikap pelit yang jadi modus untuk berkelit, hidup bersama anak gadisnya. Perempuan bermata teduh, cantik dengan tubuh yang sempurna. Suratminah sebutan kesehariannya. Rumah besar berhiaskan taman, arsitektur mewah, dan Bapak Dam, pagi itu melepas putrinya ke pasar, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagai keluarga tanpa ibu, tanpa pembantu, sudah terbiasa pula ia dengan kewajibannya.
Sepeninggal sang anak, Haji Damiri berkelakar dengan tetangganya. Seperti kebiasaan buruk ia pamerkan harta benda, namun giliran menugaskan apa saja, baqhil pula ulahnya. Begitu pula saat tukang ramal mompar mampir, Bapak Dam tak mau membayar jasanya, karena dalam ramalannya ia akan jatuh melarat karena anak perempuan satu-satunya itu diprediksi bakal gila. Ia usir si peramal sembari mengumpat dan terus mengumpat sampai lari bersijingkat.
Di pinggir jalan sebelum masuk pasar Brebes, Ratminah digoda pemuda brandalan yang selalu memuji kecantikannya dengan harapan disambut baik, Tapi Suratminah malah menghardik. Dengan wajah angkuh, sebagai wanita anak orang terkaya di kotanya. Ratminah berhasil melawan. Namun niat berbelanja-nya tertunda. Hari itu ia dikesalakan meladeni kekurangajaran para brandal dan munculnya Baridin yang mengajak berkenalan, dan minta ditemani kencan dengan weluku sebagai kebanggaan.
Pertemuan Suratminah timbulkan gejolak asmara, Baridin pun langsung jatuh cinta. Ia merayu dengan tembang penuh sanjungan dan kata berlapis bunga-bunga. Namun suratminah dengan seenaknya membolak-balikkan kata. Ia berkelakar pada Baridin sembari terus mengejeknya. Baridin dianggap tak bercermin. Dirinya hanya pemuda miskin. Dengan pakaian compang camping, celana rombeng berhiaskan tambalan dan bau tubuh pengak sebagaimana harum keringat para petani yang meradang di siang hari.
Lalu datang anak-perempuan bertubuh kecil teman bermain Suratminah ikut mengejek Baridin. Mereka bucahkan perhatian Baridin yang asik merayu Suratminah. dengan tembang klasik yang membuatnya berisik
Gara-gara pertemuannya itu dan kesannya pada Baridin, Suratminah gagal belanja. Ia kesal dan pulang. Begitu juga Baridin. Ia gagal berangkat ke sawah Mang Bun ia kembali dengan wluku yang masih kering. Di punggung tubuhnya yang kurus kering.
Mbok Wangsih kaget bukan kepalang, hari masih siang, anak semata wayang yang selalu dikudang malah pulang dengan berdendang. persoalannya karena uang bayarannya dan brekat tumpeng sudah habis dimakan. Sementara Weluku milik Baridin tak berbau lumpur. Baridin terdiam dikebisuan, ia asyik melamun. Membayangkan pertemuannya dengan Suratminah. Ia lupa apa yang ditanyakan ibunya. Bahkan saat Mang Bun datang menanyakan gagalnya Baridin menggarap sawah. Dengan santai ia mengucap. “Kalau masih ada esok kenapa harus ada marah?,”
Mang Bun meminta uang dan Brekatnya dikembalikan. Baridin dengan santai meminta agar ibunya menyerahkan apa yang Mang Bun pinta. Mbok Wangsih gelisah, bagaimana harus mengembalikannya. Brekat sudah habis dimakan, Uang telah ludes dibelanjakan. Baridin pun dengan santai menjawab ; “kalau tak ada, ya gunakan saja sarungku sebagai jaminan”. Mang Bun akhirnya menerima saja Sarung kebanggan Baridin, meski sudah bau apek dan buluk dimakan lapuknya usia.
Mbok wangsih menanggung malu atas ulah anaknya yang cepat sekali berubah. Namun ia menjadi girang manakala Baridin berterus terang. Diceritakan kalau dirinya tengah jatuh cinta pada seorang wanita. Dan, ia menginginkan gadis pujaannya itu menjadi teman hidupnya. Bayangan Mbok wangsih, akan punya menantu, selanjutnya kelak akan menimang cucu dan rumahnya bakal diramaikan suara bayi. Namun ia menjadi kaget bukan kepalang manakala perempuan yang dicinta anaknya adalah gadis kaum berada. Suratminah anak saudagar kaya kota Brebes pula. Tapi karena cinta dan sayangnya pada Baridin, Mbok Wangsih tak kuasa menolak permintaan untuk melamar Suratminah binti Haji Damiri.
Berbekal setandan pisang imbuhan, dari pohon samping rumahnya. Mbok wangsih berangkat menuju Brebes dengan petunjuk arah dari putra terkasihnya. Baridin bin Daklan.
Di rumah H. Damiri, di pinggir utara Kali Pemali kota Berbes. Rasa bingung terngiang dikepala Bapak Dam. Anak perempuannya pulang dengan wajah cemberut sembari memulangkan uang belanja. Saat ditanya berbagai hal Ratminah yang masih kesal dengan anak-anak pemuda tak menjawab. Apalagi jika mengenang Baridin yang tiba-tiba jatuh cinta dan mengutarakan hasrat hatinya. Ratminah pusing karena menyimpan kesan tersendiri pada Baridin yang lucu, lugu dan konyol itu. Namun dia harus tetap angkuh untuk menunjukkan status sosialnya sebagai anak saudagar kaya.
Bapak Dam mengingatkan Suratminah untuk menikah saja, ketimbang sering digoda pemuda. Harapannya Suratminah menerima lamaran siapapun dari lelaki yang dicintainya. Bapak Dam ingin isi rumahnya ada tangisan anak manusia yang lain, tidak seperti hari-harinya yang senyap. Kalaupun ada suara cuma kicau burung, salak Si Bopi, anjing peliharaan dan suara Tokek menghiasi rumahnya. Ratminah hanya diam membukam saat ditegur ayahnya. Dia bingung, siapa yang kelak harus dipilih sebagai suaminya. Sejujurnya ia malas ke sekolah. Namun begitu ia sejujurnya belum mengerti makna sejatinya cinta.
Sampai kemudian Datang berganti-ganti, para pelamar yang disambut keceriaan Bapaknya. Sayangnya setiap kali datang lelaki melamar setiap kali itu juga Ratminah menolak. Sampai kemudian semua pelamar yang di tolak berkumpul, diantaranya Dalang tarling, Saudagar, Juragan, Insinyur dan seorang kondektur bus. Bersama-sama mereka lakukan penyerangan dengan mengejek dan menghujat Ratminah juga bapaknya. Dasar orang kaya berkuasa pula ulahnya. Bapak Dam dan Suratminah, berhasil mengusir lelaki yang gagal melamar itu. Namun baru saja hendak masuk ke ruang tengah, rumahnya kembali bergetar, pintu diketuk seorang wanita yang datang sembari terheran-heran menyaksikan kemewahan rumah bapak Dam. Suara Bopi tak henti-hentinya menyalak, ia mengira perempuan itu pengemis yang tak diundang.
Saat membuka pintu, Ratminah langsung memberi sedekah. Perempuan itu menolak. Aku Mbok Wangsih, Ibunya Baridin. Ia tertegun dengan kecantikan Suratminah. Benaknya berseliweran kata. ‘Pantaslah jika Baridin terpesona ingin meminangnya” ucapnya. Suratminah memanggil bapaknya mendengar perempuan itu punya tujuan bukan hendak mengemis. Bapak Dam bertambah kesal. Baru saja dipusingkan ulah arogan para pelamar yang ditolak Suratminah, datang pula perempuan aneh. Semakin mangkel saja hatinya manakala Mbok Wangsih mengutarakan hasratnya melamar Suratminah untuk Baridin, putra yang dicintainya.
Mendengar penuturannya itu Bapak Dam serta merta menghina, mengejek kemiskinan mbok Wangsih. Hanya dengan pisang setundun, hendak melamar anaknya. Selain tertawa, bapak Dam, dengan keras menolak dan mengumpat kelancangan Mbok Wangsih. Namun Mbok Wangsih justru memaksa minta lamaranya diterima, demi anak lelakinya Baridin. Mbok Wangsih meminta Surtaminah untuk menjawabnya.
Gertak tolak dan hinaan bapak Dam bagi Mbok Wangsih masih bisa tahan, Namun saat mendengar Suratminah menolak lamarannya, bahkan sikap kasar gadis ayu itu dengan keras menendang, sembari meludahi mukanya dan ia lemparkan pisang sasrahan itu ke tubuhnya. Mbok wangsih tak tahan, menahan sakit. Hati sanubarinya perih terkoyak. Ia tertatih membalik arh. Ia pulang sembari menyalahkan Baridin yang tak mau bercermin dahulu sebelum menentukan keinginannya. Tubuhnya lunglai dan hatinya seperti dirobek-robek. Mbok wangsih meninggalkan rumah bapak Dam. dengan penuh Kekesalan dan amarah pada Baridin anaknya yang kelewatan.
Di gubug bambu beratap rumbia, Baridin menatap langit senja bercahaya dengan bayangan rembulan tipis dikejauhan. Mengais keindahan semburat merah yang memancar bagai impian dan harapannya yang berpendaran di kepalanya. Ia asyik melamun hingga ke puncak harapannya dapat menikahi gadis pujaannya Suratminah. Yang kini diupayakan ibunya yang seharian pergi melamar belum juga pulang. Tiba-tiba Baridin dikejutkan dengan kedatangan mbok Wangsih yang datang dengan wajah sedih dan buntelan pisang yang utuh tak tersentuh.
Baridin berulangkali bertanya, Siapa sangka Mbok wangsih kecapean karena tidak berhasil menemukan rumah Suratminah. Namun apa yang dikiranya justru terbalik. Ibunya gagal melamar Suratminah menjadi istrinya. Baridin tertegun dengan apa yang diceritakan ibunya.
Marah dan keperihan hati ibunya masih bisa diterima oleh Baridin, karena ia mengakui kemiskinan yang selama ini menjerat hidupnya. Namun sikap angkuh Bapak Dam dan Suratminah yang tak disangka dengan begitu berani menghina dan meludahi wajah ibunya, justru yang membuat Baridin menjadi sakit dan mendadak sontak ia rubah cintanya jadi benci, kemarahan bercampur dukan dendam tak tertahankan.
Resah bertambah manakala mbok Wangsih mengusirnya, karena merasa dipermalukan oleh sikap tolol Baridin. Mbok wangsih dengan kemarahan yang meluap, malam itu mengusir Baridin dari rumahnya sendiri. Mbok Wangsih malu dengan sikap anaknya yang tak mempertimbangkan kemelaratan yang melanda keluarganya.
Baridin, merintih menahan tangis, jero batinnya tersayat. Ia terus saja berjalan menembus kegelapan malam. Baridin melangkah sampai jauh menuju Kulon, sembari mengumbar nafas dendamnya. Sampai kemudian ia bertemu sahabat karibnya. Teman sejak kecil tempatnya menuangkan rasa, batin yang tersiksa.
Gemblung Binulung tak sekedar nama. Ia teman dengan wajah gemblung tapi gemar menolong. Gemblung prihatin atas nasib Baridin. Kembali ia niatkan menolong sahabatnya, untuk meredakan api cinta Baridin pada Suratminah. Awalnya Baridin tak percaya jika Gemblung yang berwajah bloon itu mampu memberi seteguk pelepas dahaga atas nasib sialnya. Tapi setelah gemblung menunjukkan wasiat ajian peninggalan mendiang bapaknya, Baridin mulai percaya. Ia mencoba membaca rapalan dari kertas coklat tua bertuliskan “ Ajian Kemat Jaran Guyang” ia tercengang.
Atas nasehat sahabatnya itu Baridinpun kemudian mandi bersuci, laku puasa pati geni selama 40 hari empat puluh malam, tak makan dan tak minum, merpalkan niat sembari membaca serat ajian, di malam kelahirannya sekira pukul 12 malam. Dalam keremangan, suasana yang wisik. Baridin Merapalkan Ajian Kemat Jaran Guyang sembari berbisik pada seisi alam.
"Niat isun arep ngemat...dudu ngemat-ngemat tangga dudu ngemat wong balik pasar. Sing tak kemat... bocah wadon sing gembleng, ayu rupane, anake bapa Dam, wong sugih ning kota Brebes, Teka welas, teka asih, asiha ning badan isun, kedanan ning badan isun. Yen lagi turu gage nglilira, yen wis nglilir gage tangia, njenggeleka, mlakua lan mlayua karo nyebut aran isun, brengengea kaya jaran guyang........."
Alam pun tiba-tiba bergetar. Langit memunculkan udara panas. Bau kemenyan yang lemah merambah ke mana-mana. Ratminah yang merasa baunya terbangun dari tidur. Ia yang lemah imannya dan yang dalam hidupnya selalu sombong bahkan kerap berlaku angkuh, malam itu dibangunkan dari tidur.
Di rumah Bapak Dam, menjelang jam satu pagi. Dikesalkan dengan bunyi tokek yang berulang-ulang. Kekesalan Bapak Dam dikarenakan saat dihitung suara tokek itu, jatuhnya selalu pada hitungan miskin. Begitu juga saat berupaya menghitung sebaliknya, tetap saja jatuh pada hitungan miskin. Begitu juga manakala penabuh Tongprek lewat tengah malam. Pak ronda yang merasa aneh. Ia kaget karena bapak Dam tak tidur semalaman. Namun di saat mengulangi hitungan suara tokek, Pak rondapun sama bolak-balik jatuh pada hitungan miskin. Bapak Dam kecewa, ia senewen malah ngedumel sendiri.
Pagi harinya cahaya matahari seperti enggan menampakkan wujud. Kekesalan demi kekesalan terus bermunculan. Bapak Dam kaget dengan ulah Ratminah yang tiba-tiba malas-malasan dan sebentar-sebentar tertawa cengengesan. Ia menikmati kesendiriannya sembari mengucap nama dan menyebut-nyebut Kang Baridin. Sementara Bapak Dam tak paham siapa Baridin yang dimaksudkan.
Kekesalan Bapak Dam, semakin bertambah saat meminta Ratminah nggodog Wedang, setelah ditunggu lama, ia malah muncul membawa golok. Saat disuruh mandi dia malah diam menyeendiri. Lagi-lagi Ratminah menyebut-nyebut Kang Baridin, berulang-ulang. Bapak Dam bertambah bingung manakala anaknya berganti kostum. Ia berdandan dengan pakaian bekas, lusuh, kotor, dan rambutnya diuraikan tak teratur. Lalu Ratminah keluar rumah sembari berlari, ia bertanya ke kanan dan kekiri, kepada semua tetngganya ia berseru;”dimana Kang Baridin, dimana ya Kang Baridin?”
Ratminah terus berjalan dan semakin jauh meninggalkan jejak rumah serta bapaknya sendirian. Ia berjalan dengan cepat, berlari seperti kuda yang tak kenal lelah. Ia berteriak-teriak seperti jeritan kuda kesakitan sembari menyebutkan nama; Kang Baridin. Ratminah lupa makan lupa minum. Ia teriakkan keinginannya untuk bertemu kang Baridin. Ratminah terguncang jiwanya. Sikapnya berubah labil. Dia memuja Baridin dan berjalan cepat sembari mengundang nama Baridin. Ia menjadi tertawaan anak-anak, ia membiarkan anak-anak itu melemparinya, karena dia layak disebut Wong Edan.
Bapak Dam pun serentak jatuh miskin. Uangnya habis dihambur-hamburkan memberi upah pada tetangga dan orang-orang yang mengaku bisa menyembuhkan Ratminah bahkan bisa mencari kemana Suratminah pergi. Namun uang terus terbuang, semua nihil tiada hasil. Sampai suatu hari ia mengalami rugia yang besar, karena orang yang mengira bisa mengembalikan Suratminah dengan ciri-ciri rambut terurai dengan pakaian rombeng yang setiap kali menyebut kata Baridin ternyata salah. Ia bukan Ratminah. Perempuan yang juga terlunta-lunta terus mencari-cari Baridin itu adalah Mbok Wangsih. Ia depresi karena terus terobsesi, akibat salah persepsi, Bapak Dam yang telah melarat, akhirnya pergi meninggalkan rumah, entah kemana ia berjalan. Ia tertatih-tatih menahan malu dan sejuta penyesalan. Ia terus berjalan mencari anaknya sembari menangis perlahan.
Mbok wangsih kondisi tubuhnya terikat, dalam kekuasan Bapak Damiri, keluhnya dipenuhi isak tangis. Ia berteriak memohon pertolongan. Dalam jeritnya ia berjanji pada siapa saja yang mau menolong. Jika ia seorang lelaki maka ia bersedia menjadi suaminya. Sumpahnya terdengar terdengar seperti petir di telinga Gemblung Binulung. Pucuk dicinta ulam tib, demikian Ia selamatkan Mbok Wangsih dan ia pula yang memberi petunjuk di mana Baridin berad. Mbok Wangsih tertolong namun ia bengong, bingung untuk menolak sumpahnya. Bagaimana ia bisa kawin dengan Gemblung Binulung. Selain masih sangat muda, Gemblung adalah sahabat karib anaknya. Bagaimana ia menjelaskan pada Baridin. Lebih-lebih karena gemblung itu ya memang gemblung. Tapi mbok Wangsih tak kuasa menerima kebaikan Gemblung binulung. Ia pun mbuyar gelung ngrangkul gunung.
Jagapura suatu siang. Suara keciprak bongkahan tanah basah di lahan pesawahan. Burung-burung jalak bersiul diantara keramaian gelatik, kutilang dan prenjak. Baridin tak lelah bekerja membajak sawah, sembari menghentakkan pecul ke tubuh kerbaunya. Sembari bernyanyi perih dan lirih, Baridin mengenangkan hati sanubarinya yang merana. Ia masih belum melunaskan puasa dan belum juga berbuka, sebelum melihat dengan kepala sendiri, atas apa yang telah dilakoni. Berkat jasa persahabatan gemblung Binulung disaat linglung itulah ia ditulung.
Sampai kemudian datang Suratminah mencapai puncak kelelahan atas perjalanan perih dan gairah cintanya yang meledak-ledak, dan ia terus mencari, memanggil Baridin hingga kini ia temui. Di pinggir sawah yang tengah dibajak. Baridin menyaksikan wanita yang dikenalnya menangis. Wajahnya yang cantik terbaur debu-debu jalanan. Bajunya compang- camping dilabur noda hitam dan bau lumpur sebab terlalu banyak mencatat perjalanan jauh. Suaranya memekak kian lama kian serak, karena terus memanggil-manggil namanya. Perempuan itu menangis di kaki Baridin yang terdiam laksana patung, lirih sekali mulut kecilnya bersuara, meminta maaf. Namun Baridin tetap tegar tak berdenyar, hanya diam dan ia terus terdiam. Belum lagi ia keluarkan kata maaf, Baridin malah mbongganaken sikap buruk dan kesombongan Suratminah serta Bapaknya yang telah mencaci dan menghina Mbok wangsih, ibu yang sangat dicintainya.
Ratminah tak kuat menahan pendaman rasa cinta dan kasihnya yang berlepasan. Ia peluk tubuh Baridin dengan sisa-sisa tenaganya. Ratminah pun roboh diremas kakunya persendian dan darah di tubuh tersumbat niatan berucap. Tubuhnya lemas. Ia tinggalkan dunia yang melilit seluruh isi kepalanya. Baridin tersentak memandang mata Suratminah wewalangen. Orang-orang bersijingkat mengangkatnya di atas pembaringan sebuah rumah. Penduduk tak sempat tahu apa yang terjadi. Siang hari itu matahari meredup, pelangi membayang diantara gerimis. Airmata mengucur di pipi Baridin. Ia mengebumikan jenajahnya di area Pekuburan Desa Jagapura.
Sore menjelang datang waktu magrib, usai jamiyah tahlil menerbangkan doa pada almarhum Suratminah, Baridin mendadak terjatuh, tak kuat menahan letih. Tubuhnya nempuruk lemah. Niatnya berbuka atas tirakat yang panjang pun gagal. Jiwa terlepas di senjakala. Ia mememnjamkan matanya dengan tubuh meluruk di atas tanah di hadapan majelis tahlil.
Hari-hari masyarakat Panguragan dicekam awan hitam dan suara gagak memekak telinga. Jenajah Baridin esoknya di persanding di samping kubur Suratminah. Mereka memasang cinta yang agung di alam kubur. Sedang airmata kedua orang tua, sahabat-sahabat terdekat yang dicintainya dan juga aku yang menonton dari jarak 20 meter, hanya bisa tertunduk haru di makam pasangan yang gagal mengenakan gaun pengantin dunianya, Semua ikut dililit ketakberdayaan memaknai perbedaan status sosial dan ekonomi yang poranda. Jerit tangis dan airmata berjatuhan seperti hujan di setiapa akhir pentasmu, dimana-mana. Bahkan di saat ku tulis kembali kisah ini. Isak tangis memilukan tak tertahankan. Kita menangisi, kemiskinan demi kemiskinan yang selalu saja menjadi jarak berlakunya tatanan hukum dan kehidupan kita. Selalu itu jadi sumber petaka kehidup manusia.***
*Disari dari kisah drama tarling “Baridin” Karya Karya H. Abdul Ajib,
Cirebon -Indramayu 2011
Oleh: Nurochman Sudibyo YS.
6 potong adegan kusimpan dalam folder. Naskah sudah terbukukan, “Migrasi dari Gamelan ke Gitar dan Suling”. Semenjak lama tertata di lemari tua. Sejarah Tarling klasik dan muasalnya dalam sampul coklat tua dan lusuh. Memeng belum bisa dikatakan sebuah sinopsis. Mitologi masyarakat Pantura; Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu dan kini entah konon telaah merambah ke seantero nusantara. Tiba-tiba ingin sekali meringkasnya jadi drama yang mencekam. Kisah masyarakat petani dan nelayan laut utara jawa, serasa mengalirkan sungai dalam komposisi dawai dan liukan irama seruling di panggung legenda yang dikemas tragis semalam suntuk.
Aku teringat Shakesphiere dengan Romeo dan Juliet-nya. Saat mana pesta tasyakuran jadi ajang pentasmu. Berpuluh panggung menangkap tahun-tahun berlalu, untuk kedua kalinya kusaksikan malam purnama. Di bawah rindang pisang, dibatas pagar bambu antara tahun 70-80an dibumbui tarian atraksi gadis cantik bergoyang dahsyat menari jaipongan.
Kudengar malam menyeru tajuk acara, Lakon dibuka “Ajian Kemat Jaran Guyang”. legenda Baridin dan Suratminah. Aku menyebutnya cinta kandas di ladang bias. Namun ingatan itu semakin menempatkan aku jadi "BARIDIN" , menembangkan puisi dalam irama gitar dan suling yang menyayat.
Aku jejaka tua, penunda masa lajang. Bergaris jepitan ekonomi yang kian menyempit. Karena bapakku tak lagi mengenal pulang. Sebab pailit yang menderit. Kupilih berteman dengan ibuku. Mbok Wangsih, buruh tani penjual pisang. Aku Baridin. Kepada Mbok Wangsih di gubuk bambu yang sederhana. Di pinggiran bengawan Kali Pemali dengan sepuluh pohon pisang juga nangka welanda. Satu tandan masak di pohon. Ibuku janda setengah tuhu yang mendidik hiduku. Aku si tukang meluku, petani pembajak sawah yang selalu resah. Dan, kau tau kerbau penariknya, kupinjam dari Pak Haji Darkum.Lelaki tua tak murah senyum.
Sapai suatu hari Mang Bunawas beri tugas membajak sawah di batas desa Jemaras. Secepon tumpeng dan bekakak ayam, sebagai pengikat, juga uang bayaran. Upah selalu kuterima. Padahal kerja belum kulakukan. Hingga pagi melepas sarapan. Weluku kupanggul di bahu, kuberjalan perlahan ke lahan tujuan.
Saat datang melesat. Sebuah desa di pinggiran kota sumber Bawang, Bapak Dam saudagar kaya raya, dengan modal kesombongan, sikap angkuh dan sikap pelit yang jadi modus untuk berkelit, hidup bersama anak gadisnya. Perempuan bermata teduh, cantik dengan tubuh yang sempurna. Suratminah sebutan kesehariannya. Rumah besar berhiaskan taman, arsitektur mewah, dan Bapak Dam, pagi itu melepas putrinya ke pasar, memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Sebagai keluarga tanpa ibu, tanpa pembantu, sudah terbiasa pula ia dengan kewajibannya.
Sepeninggal sang anak, Haji Damiri berkelakar dengan tetangganya. Seperti kebiasaan buruk ia pamerkan harta benda, namun giliran menugaskan apa saja, baqhil pula ulahnya. Begitu pula saat tukang ramal mompar mampir, Bapak Dam tak mau membayar jasanya, karena dalam ramalannya ia akan jatuh melarat karena anak perempuan satu-satunya itu diprediksi bakal gila. Ia usir si peramal sembari mengumpat dan terus mengumpat sampai lari bersijingkat.
Di pinggir jalan sebelum masuk pasar Brebes, Ratminah digoda pemuda brandalan yang selalu memuji kecantikannya dengan harapan disambut baik, Tapi Suratminah malah menghardik. Dengan wajah angkuh, sebagai wanita anak orang terkaya di kotanya. Ratminah berhasil melawan. Namun niat berbelanja-nya tertunda. Hari itu ia dikesalakan meladeni kekurangajaran para brandal dan munculnya Baridin yang mengajak berkenalan, dan minta ditemani kencan dengan weluku sebagai kebanggaan.
Pertemuan Suratminah timbulkan gejolak asmara, Baridin pun langsung jatuh cinta. Ia merayu dengan tembang penuh sanjungan dan kata berlapis bunga-bunga. Namun suratminah dengan seenaknya membolak-balikkan kata. Ia berkelakar pada Baridin sembari terus mengejeknya. Baridin dianggap tak bercermin. Dirinya hanya pemuda miskin. Dengan pakaian compang camping, celana rombeng berhiaskan tambalan dan bau tubuh pengak sebagaimana harum keringat para petani yang meradang di siang hari.
Lalu datang anak-perempuan bertubuh kecil teman bermain Suratminah ikut mengejek Baridin. Mereka bucahkan perhatian Baridin yang asik merayu Suratminah. dengan tembang klasik yang membuatnya berisik
Gara-gara pertemuannya itu dan kesannya pada Baridin, Suratminah gagal belanja. Ia kesal dan pulang. Begitu juga Baridin. Ia gagal berangkat ke sawah Mang Bun ia kembali dengan wluku yang masih kering. Di punggung tubuhnya yang kurus kering.
Mbok Wangsih kaget bukan kepalang, hari masih siang, anak semata wayang yang selalu dikudang malah pulang dengan berdendang. persoalannya karena uang bayarannya dan brekat tumpeng sudah habis dimakan. Sementara Weluku milik Baridin tak berbau lumpur. Baridin terdiam dikebisuan, ia asyik melamun. Membayangkan pertemuannya dengan Suratminah. Ia lupa apa yang ditanyakan ibunya. Bahkan saat Mang Bun datang menanyakan gagalnya Baridin menggarap sawah. Dengan santai ia mengucap. “Kalau masih ada esok kenapa harus ada marah?,”
Mang Bun meminta uang dan Brekatnya dikembalikan. Baridin dengan santai meminta agar ibunya menyerahkan apa yang Mang Bun pinta. Mbok Wangsih gelisah, bagaimana harus mengembalikannya. Brekat sudah habis dimakan, Uang telah ludes dibelanjakan. Baridin pun dengan santai menjawab ; “kalau tak ada, ya gunakan saja sarungku sebagai jaminan”. Mang Bun akhirnya menerima saja Sarung kebanggan Baridin, meski sudah bau apek dan buluk dimakan lapuknya usia.
Mbok wangsih menanggung malu atas ulah anaknya yang cepat sekali berubah. Namun ia menjadi girang manakala Baridin berterus terang. Diceritakan kalau dirinya tengah jatuh cinta pada seorang wanita. Dan, ia menginginkan gadis pujaannya itu menjadi teman hidupnya. Bayangan Mbok wangsih, akan punya menantu, selanjutnya kelak akan menimang cucu dan rumahnya bakal diramaikan suara bayi. Namun ia menjadi kaget bukan kepalang manakala perempuan yang dicinta anaknya adalah gadis kaum berada. Suratminah anak saudagar kaya kota Brebes pula. Tapi karena cinta dan sayangnya pada Baridin, Mbok Wangsih tak kuasa menolak permintaan untuk melamar Suratminah binti Haji Damiri.
Berbekal setandan pisang imbuhan, dari pohon samping rumahnya. Mbok wangsih berangkat menuju Brebes dengan petunjuk arah dari putra terkasihnya. Baridin bin Daklan.
Di rumah H. Damiri, di pinggir utara Kali Pemali kota Berbes. Rasa bingung terngiang dikepala Bapak Dam. Anak perempuannya pulang dengan wajah cemberut sembari memulangkan uang belanja. Saat ditanya berbagai hal Ratminah yang masih kesal dengan anak-anak pemuda tak menjawab. Apalagi jika mengenang Baridin yang tiba-tiba jatuh cinta dan mengutarakan hasrat hatinya. Ratminah pusing karena menyimpan kesan tersendiri pada Baridin yang lucu, lugu dan konyol itu. Namun dia harus tetap angkuh untuk menunjukkan status sosialnya sebagai anak saudagar kaya.
Bapak Dam mengingatkan Suratminah untuk menikah saja, ketimbang sering digoda pemuda. Harapannya Suratminah menerima lamaran siapapun dari lelaki yang dicintainya. Bapak Dam ingin isi rumahnya ada tangisan anak manusia yang lain, tidak seperti hari-harinya yang senyap. Kalaupun ada suara cuma kicau burung, salak Si Bopi, anjing peliharaan dan suara Tokek menghiasi rumahnya. Ratminah hanya diam membukam saat ditegur ayahnya. Dia bingung, siapa yang kelak harus dipilih sebagai suaminya. Sejujurnya ia malas ke sekolah. Namun begitu ia sejujurnya belum mengerti makna sejatinya cinta.
Sampai kemudian Datang berganti-ganti, para pelamar yang disambut keceriaan Bapaknya. Sayangnya setiap kali datang lelaki melamar setiap kali itu juga Ratminah menolak. Sampai kemudian semua pelamar yang di tolak berkumpul, diantaranya Dalang tarling, Saudagar, Juragan, Insinyur dan seorang kondektur bus. Bersama-sama mereka lakukan penyerangan dengan mengejek dan menghujat Ratminah juga bapaknya. Dasar orang kaya berkuasa pula ulahnya. Bapak Dam dan Suratminah, berhasil mengusir lelaki yang gagal melamar itu. Namun baru saja hendak masuk ke ruang tengah, rumahnya kembali bergetar, pintu diketuk seorang wanita yang datang sembari terheran-heran menyaksikan kemewahan rumah bapak Dam. Suara Bopi tak henti-hentinya menyalak, ia mengira perempuan itu pengemis yang tak diundang.
Saat membuka pintu, Ratminah langsung memberi sedekah. Perempuan itu menolak. Aku Mbok Wangsih, Ibunya Baridin. Ia tertegun dengan kecantikan Suratminah. Benaknya berseliweran kata. ‘Pantaslah jika Baridin terpesona ingin meminangnya” ucapnya. Suratminah memanggil bapaknya mendengar perempuan itu punya tujuan bukan hendak mengemis. Bapak Dam bertambah kesal. Baru saja dipusingkan ulah arogan para pelamar yang ditolak Suratminah, datang pula perempuan aneh. Semakin mangkel saja hatinya manakala Mbok Wangsih mengutarakan hasratnya melamar Suratminah untuk Baridin, putra yang dicintainya.
Mendengar penuturannya itu Bapak Dam serta merta menghina, mengejek kemiskinan mbok Wangsih. Hanya dengan pisang setundun, hendak melamar anaknya. Selain tertawa, bapak Dam, dengan keras menolak dan mengumpat kelancangan Mbok Wangsih. Namun Mbok Wangsih justru memaksa minta lamaranya diterima, demi anak lelakinya Baridin. Mbok Wangsih meminta Surtaminah untuk menjawabnya.
Gertak tolak dan hinaan bapak Dam bagi Mbok Wangsih masih bisa tahan, Namun saat mendengar Suratminah menolak lamarannya, bahkan sikap kasar gadis ayu itu dengan keras menendang, sembari meludahi mukanya dan ia lemparkan pisang sasrahan itu ke tubuhnya. Mbok wangsih tak tahan, menahan sakit. Hati sanubarinya perih terkoyak. Ia tertatih membalik arh. Ia pulang sembari menyalahkan Baridin yang tak mau bercermin dahulu sebelum menentukan keinginannya. Tubuhnya lunglai dan hatinya seperti dirobek-robek. Mbok wangsih meninggalkan rumah bapak Dam. dengan penuh Kekesalan dan amarah pada Baridin anaknya yang kelewatan.
Di gubug bambu beratap rumbia, Baridin menatap langit senja bercahaya dengan bayangan rembulan tipis dikejauhan. Mengais keindahan semburat merah yang memancar bagai impian dan harapannya yang berpendaran di kepalanya. Ia asyik melamun hingga ke puncak harapannya dapat menikahi gadis pujaannya Suratminah. Yang kini diupayakan ibunya yang seharian pergi melamar belum juga pulang. Tiba-tiba Baridin dikejutkan dengan kedatangan mbok Wangsih yang datang dengan wajah sedih dan buntelan pisang yang utuh tak tersentuh.
Baridin berulangkali bertanya, Siapa sangka Mbok wangsih kecapean karena tidak berhasil menemukan rumah Suratminah. Namun apa yang dikiranya justru terbalik. Ibunya gagal melamar Suratminah menjadi istrinya. Baridin tertegun dengan apa yang diceritakan ibunya.
Marah dan keperihan hati ibunya masih bisa diterima oleh Baridin, karena ia mengakui kemiskinan yang selama ini menjerat hidupnya. Namun sikap angkuh Bapak Dam dan Suratminah yang tak disangka dengan begitu berani menghina dan meludahi wajah ibunya, justru yang membuat Baridin menjadi sakit dan mendadak sontak ia rubah cintanya jadi benci, kemarahan bercampur dukan dendam tak tertahankan.
Resah bertambah manakala mbok Wangsih mengusirnya, karena merasa dipermalukan oleh sikap tolol Baridin. Mbok wangsih dengan kemarahan yang meluap, malam itu mengusir Baridin dari rumahnya sendiri. Mbok Wangsih malu dengan sikap anaknya yang tak mempertimbangkan kemelaratan yang melanda keluarganya.
Baridin, merintih menahan tangis, jero batinnya tersayat. Ia terus saja berjalan menembus kegelapan malam. Baridin melangkah sampai jauh menuju Kulon, sembari mengumbar nafas dendamnya. Sampai kemudian ia bertemu sahabat karibnya. Teman sejak kecil tempatnya menuangkan rasa, batin yang tersiksa.
Gemblung Binulung tak sekedar nama. Ia teman dengan wajah gemblung tapi gemar menolong. Gemblung prihatin atas nasib Baridin. Kembali ia niatkan menolong sahabatnya, untuk meredakan api cinta Baridin pada Suratminah. Awalnya Baridin tak percaya jika Gemblung yang berwajah bloon itu mampu memberi seteguk pelepas dahaga atas nasib sialnya. Tapi setelah gemblung menunjukkan wasiat ajian peninggalan mendiang bapaknya, Baridin mulai percaya. Ia mencoba membaca rapalan dari kertas coklat tua bertuliskan “ Ajian Kemat Jaran Guyang” ia tercengang.
Atas nasehat sahabatnya itu Baridinpun kemudian mandi bersuci, laku puasa pati geni selama 40 hari empat puluh malam, tak makan dan tak minum, merpalkan niat sembari membaca serat ajian, di malam kelahirannya sekira pukul 12 malam. Dalam keremangan, suasana yang wisik. Baridin Merapalkan Ajian Kemat Jaran Guyang sembari berbisik pada seisi alam.
"Niat isun arep ngemat...dudu ngemat-ngemat tangga dudu ngemat wong balik pasar. Sing tak kemat... bocah wadon sing gembleng, ayu rupane, anake bapa Dam, wong sugih ning kota Brebes, Teka welas, teka asih, asiha ning badan isun, kedanan ning badan isun. Yen lagi turu gage nglilira, yen wis nglilir gage tangia, njenggeleka, mlakua lan mlayua karo nyebut aran isun, brengengea kaya jaran guyang........."
Alam pun tiba-tiba bergetar. Langit memunculkan udara panas. Bau kemenyan yang lemah merambah ke mana-mana. Ratminah yang merasa baunya terbangun dari tidur. Ia yang lemah imannya dan yang dalam hidupnya selalu sombong bahkan kerap berlaku angkuh, malam itu dibangunkan dari tidur.
Di rumah Bapak Dam, menjelang jam satu pagi. Dikesalkan dengan bunyi tokek yang berulang-ulang. Kekesalan Bapak Dam dikarenakan saat dihitung suara tokek itu, jatuhnya selalu pada hitungan miskin. Begitu juga saat berupaya menghitung sebaliknya, tetap saja jatuh pada hitungan miskin. Begitu juga manakala penabuh Tongprek lewat tengah malam. Pak ronda yang merasa aneh. Ia kaget karena bapak Dam tak tidur semalaman. Namun di saat mengulangi hitungan suara tokek, Pak rondapun sama bolak-balik jatuh pada hitungan miskin. Bapak Dam kecewa, ia senewen malah ngedumel sendiri.
Pagi harinya cahaya matahari seperti enggan menampakkan wujud. Kekesalan demi kekesalan terus bermunculan. Bapak Dam kaget dengan ulah Ratminah yang tiba-tiba malas-malasan dan sebentar-sebentar tertawa cengengesan. Ia menikmati kesendiriannya sembari mengucap nama dan menyebut-nyebut Kang Baridin. Sementara Bapak Dam tak paham siapa Baridin yang dimaksudkan.
Kekesalan Bapak Dam, semakin bertambah saat meminta Ratminah nggodog Wedang, setelah ditunggu lama, ia malah muncul membawa golok. Saat disuruh mandi dia malah diam menyeendiri. Lagi-lagi Ratminah menyebut-nyebut Kang Baridin, berulang-ulang. Bapak Dam bertambah bingung manakala anaknya berganti kostum. Ia berdandan dengan pakaian bekas, lusuh, kotor, dan rambutnya diuraikan tak teratur. Lalu Ratminah keluar rumah sembari berlari, ia bertanya ke kanan dan kekiri, kepada semua tetngganya ia berseru;”dimana Kang Baridin, dimana ya Kang Baridin?”
Ratminah terus berjalan dan semakin jauh meninggalkan jejak rumah serta bapaknya sendirian. Ia berjalan dengan cepat, berlari seperti kuda yang tak kenal lelah. Ia berteriak-teriak seperti jeritan kuda kesakitan sembari menyebutkan nama; Kang Baridin. Ratminah lupa makan lupa minum. Ia teriakkan keinginannya untuk bertemu kang Baridin. Ratminah terguncang jiwanya. Sikapnya berubah labil. Dia memuja Baridin dan berjalan cepat sembari mengundang nama Baridin. Ia menjadi tertawaan anak-anak, ia membiarkan anak-anak itu melemparinya, karena dia layak disebut Wong Edan.
Bapak Dam pun serentak jatuh miskin. Uangnya habis dihambur-hamburkan memberi upah pada tetangga dan orang-orang yang mengaku bisa menyembuhkan Ratminah bahkan bisa mencari kemana Suratminah pergi. Namun uang terus terbuang, semua nihil tiada hasil. Sampai suatu hari ia mengalami rugia yang besar, karena orang yang mengira bisa mengembalikan Suratminah dengan ciri-ciri rambut terurai dengan pakaian rombeng yang setiap kali menyebut kata Baridin ternyata salah. Ia bukan Ratminah. Perempuan yang juga terlunta-lunta terus mencari-cari Baridin itu adalah Mbok Wangsih. Ia depresi karena terus terobsesi, akibat salah persepsi, Bapak Dam yang telah melarat, akhirnya pergi meninggalkan rumah, entah kemana ia berjalan. Ia tertatih-tatih menahan malu dan sejuta penyesalan. Ia terus berjalan mencari anaknya sembari menangis perlahan.
Mbok wangsih kondisi tubuhnya terikat, dalam kekuasan Bapak Damiri, keluhnya dipenuhi isak tangis. Ia berteriak memohon pertolongan. Dalam jeritnya ia berjanji pada siapa saja yang mau menolong. Jika ia seorang lelaki maka ia bersedia menjadi suaminya. Sumpahnya terdengar terdengar seperti petir di telinga Gemblung Binulung. Pucuk dicinta ulam tib, demikian Ia selamatkan Mbok Wangsih dan ia pula yang memberi petunjuk di mana Baridin berad. Mbok Wangsih tertolong namun ia bengong, bingung untuk menolak sumpahnya. Bagaimana ia bisa kawin dengan Gemblung Binulung. Selain masih sangat muda, Gemblung adalah sahabat karib anaknya. Bagaimana ia menjelaskan pada Baridin. Lebih-lebih karena gemblung itu ya memang gemblung. Tapi mbok Wangsih tak kuasa menerima kebaikan Gemblung binulung. Ia pun mbuyar gelung ngrangkul gunung.
Jagapura suatu siang. Suara keciprak bongkahan tanah basah di lahan pesawahan. Burung-burung jalak bersiul diantara keramaian gelatik, kutilang dan prenjak. Baridin tak lelah bekerja membajak sawah, sembari menghentakkan pecul ke tubuh kerbaunya. Sembari bernyanyi perih dan lirih, Baridin mengenangkan hati sanubarinya yang merana. Ia masih belum melunaskan puasa dan belum juga berbuka, sebelum melihat dengan kepala sendiri, atas apa yang telah dilakoni. Berkat jasa persahabatan gemblung Binulung disaat linglung itulah ia ditulung.
Sampai kemudian datang Suratminah mencapai puncak kelelahan atas perjalanan perih dan gairah cintanya yang meledak-ledak, dan ia terus mencari, memanggil Baridin hingga kini ia temui. Di pinggir sawah yang tengah dibajak. Baridin menyaksikan wanita yang dikenalnya menangis. Wajahnya yang cantik terbaur debu-debu jalanan. Bajunya compang- camping dilabur noda hitam dan bau lumpur sebab terlalu banyak mencatat perjalanan jauh. Suaranya memekak kian lama kian serak, karena terus memanggil-manggil namanya. Perempuan itu menangis di kaki Baridin yang terdiam laksana patung, lirih sekali mulut kecilnya bersuara, meminta maaf. Namun Baridin tetap tegar tak berdenyar, hanya diam dan ia terus terdiam. Belum lagi ia keluarkan kata maaf, Baridin malah mbongganaken sikap buruk dan kesombongan Suratminah serta Bapaknya yang telah mencaci dan menghina Mbok wangsih, ibu yang sangat dicintainya.
Ratminah tak kuat menahan pendaman rasa cinta dan kasihnya yang berlepasan. Ia peluk tubuh Baridin dengan sisa-sisa tenaganya. Ratminah pun roboh diremas kakunya persendian dan darah di tubuh tersumbat niatan berucap. Tubuhnya lemas. Ia tinggalkan dunia yang melilit seluruh isi kepalanya. Baridin tersentak memandang mata Suratminah wewalangen. Orang-orang bersijingkat mengangkatnya di atas pembaringan sebuah rumah. Penduduk tak sempat tahu apa yang terjadi. Siang hari itu matahari meredup, pelangi membayang diantara gerimis. Airmata mengucur di pipi Baridin. Ia mengebumikan jenajahnya di area Pekuburan Desa Jagapura.
Sore menjelang datang waktu magrib, usai jamiyah tahlil menerbangkan doa pada almarhum Suratminah, Baridin mendadak terjatuh, tak kuat menahan letih. Tubuhnya nempuruk lemah. Niatnya berbuka atas tirakat yang panjang pun gagal. Jiwa terlepas di senjakala. Ia mememnjamkan matanya dengan tubuh meluruk di atas tanah di hadapan majelis tahlil.
Hari-hari masyarakat Panguragan dicekam awan hitam dan suara gagak memekak telinga. Jenajah Baridin esoknya di persanding di samping kubur Suratminah. Mereka memasang cinta yang agung di alam kubur. Sedang airmata kedua orang tua, sahabat-sahabat terdekat yang dicintainya dan juga aku yang menonton dari jarak 20 meter, hanya bisa tertunduk haru di makam pasangan yang gagal mengenakan gaun pengantin dunianya, Semua ikut dililit ketakberdayaan memaknai perbedaan status sosial dan ekonomi yang poranda. Jerit tangis dan airmata berjatuhan seperti hujan di setiapa akhir pentasmu, dimana-mana. Bahkan di saat ku tulis kembali kisah ini. Isak tangis memilukan tak tertahankan. Kita menangisi, kemiskinan demi kemiskinan yang selalu saja menjadi jarak berlakunya tatanan hukum dan kehidupan kita. Selalu itu jadi sumber petaka kehidup manusia.***
*Disari dari kisah drama tarling “Baridin” Karya Karya H. Abdul Ajib,
Cirebon -Indramayu 2011
Komentar