Dakri bin Salim lahir
di Desa Semedo sekitar Tahun 1958. Ia anak dari keluarga sederhana. Bapaknya bernama
Salim, Tukang Kayu yang cukup dikenal di desa Semedo dan sekitarnya. Ibunya
bernama Simpen, hanya seorang buruh tani. Meski dalam kehidupan ekonomi
keluarga yang sederhanya, namun Dakri kecil
memiliki banyak kawan dan teman yang hingga kini menjadi kenangan masa
kecilnya. Dakri anak nomor 6 dari 8 bersaudara. Kini jumlah saudara yang masih
hidup tinggal 5 orang. Setelah ibunya melahirkan anak pertama, anak-anak yang
lahir berikutnya selalu saja meninggal dunia, tak sampai besar dan mencapai
usia dewasa. Namun setelah Dakri lahir, berikutnya ia memperoleh adik
perempuan, dan yang kedua adik laki-laki serta yang bungsu perempuan dan sampai
sekarang semuanya masih hidup berbahagia.
Dakri sangat
mengenang, Sewaktu kecil di tahun 1964 di usia 7 tahun ia sekolah SR . Ia pun ingat
saat sekolah SR di Desa Sigentong. Kala
itu karena di desa tersebut ada peristiwa Gestapu. Maka saat itu juga ia
menyatakan diri tidak lagi pergi sekolah, karena takut. Ia melihat dan ingat
saat itu melihat ada orang meninggal namanya Rajan di Desa Si Gentong Kidul
Kali. Pengalaman itulah yang membuatnya lebih baik tinggal di rumah bermain dan
membantu orang tua ketimbang sekolah.
Dakri semenjak kecil dikenal
gemar mencari jangkrik. Ia mencari jangkrik di tegalan sawah dan karena hobinya
yang begitu besar pada hewan yang berbunyi nyaring itu, ia pun disebut oleh kawan-kawannya dengan julukan Dakri jangkrik. Julukan jangkrik
ini pun akrab di telinga teman-teman sekampungnya. Bahkan sampai tua Dakri
tetap senang mendapat panggilan Dakri jangkrik. Semua Itu karena hobby nya
dalam memelihara dan mengadu jangkrik sudah melekat dalam jiwanya. Ia bahkan dikenal
pula ahli membuat kandang jangkrik. Jangkrik genggong adalah jenis serangga
yang sangat menarik hatinya. Jangkrik besar berkulit hitam dengan leher
berwarna kuning iu membuat kebanggaan tersendiri di masa kecilnya. Namun
jangkrik seperti itu, saat ini sudah tak
ada lagi.
Dakri melanjutkan
sekolah di Desa Semedo. saat itu yang ia ingat tepatnya di tahun 1967 ia
kembali melajutkan sekolah. Tempat penyelenggaraan pendidikan di Semedo saat iu
baru di Lumbung Desa. Yang menjadi gurunya punmasih GTT atau Guru Tidak Tetap. Ia
ingat nama gurunya Pak Akbari asal dari Rancawiru. Dimasa selanjutnya Guru ini
kemudian berumahtangga dengan wanita asal desa semedo dan kemudian menetap di
desa semedo.
Dakri kecil pun ingat
masa sewaktu dikhitan pernah diselamati dengan ditanggapkan Tumprol. Trumpol merupakan kesenian khas berupa gamelan
kliningan dari desa Kebandingan. Hiburan ini saat itu ada pesindennya tapi
tidak ada tariannya. Sebelum disunat Dakri melakukan ritual kungkum di sebuah
baskom besar di sudut rumah. Esoknya ia baru disunat manual dengan pisau. Konon
menuru orang uanya kungkum iu dimaksudkan agar saa pelaksanaan suna lebih
mudah.
Dakri kecil juga
senang berburu ayam hutan. Kegemarannya ini selain menantang dirinya karena
hidup di sebuah desa di pinggir hutan jati. Ayam hutan ditangkapinya dengan
sistem kala jeprat atau jeratan yang dibuat dari benang sol. Tehnik ini
diajarkan oleh teman-temannya yang kebanyakan kalangan dewasa. Di saat usia kanak-kanak,
Dakri memiliki kawan yang Sudah besar, bahakan ada juga yang sudah dewasa.
Ayam hutan yang sudah
ditangkap dibawa pulang untuk dijual pada pengepul. Siang hari Dakri dan
kawan-kawannya masuk hutan untuk memasang kala jeprat. Setelah ityu mereka
pulang. Sorenya ia kembali kehutan untuk memastikan buruannya. Setiap kali
berburu Tak kurang dari 3-5 ekor ayam alas. Uangnya ia gunakan untuk jajan dan
berbagi denganteman-temannya. Kadang saya rombongan 6-7 orang saat menangkap
ayam hutan. Dakri masuk ke hutan milik Perhutani Karangsari dan Gertugel. Dua
daerah itu ada di atas desa semedo.
Ketika pa Salim
dipercaya menggarap tanah Kehutanan, Dakri mulai tertarik dengan mengamati
batu-batu. Ia ikut ayahnya ke ladang di hutan kehutanan disebut baron. namun
Dakri tidak membantu ayahnya. Ia malah bermain-main. Ia mulai mengamati
batu-batu yang ada di sekitar hutan. Ia sangat tertarik pada batu berwarna kuning
mengkilap, karena batu itu memikliki serat bonggol bambu. Dakri kemudian
menanyakan pada ayahnya. Batu kilap ini apa namanya pak? Dijawab oleh ayahnya
kue sing arane watu geni. Atau batu api. Sekarang masuk kategori batu koral.
Sewaktu kecil Dakri
alis jangkrik dikenal juga sebagai anak yang badung. Sering bolos sekolah,
pergi ke hutan memancing, memburu ayam dan mencari jangkrik. Saking bandelnya
Dakri pernah dimarahin oleh warga desa semedo. ia pernah mengalami dihukum
jewer sampai kakinya terangkat. Itu dikarenakan membantu kawannya yang lapar
dengan cara mencuri nasi dari bakul milik mbahnya dengan lauk 5 ekor tangkapan
cicak yang dibakar dan disajikan mirip sate. Kecap dan irisan bawangnya pun
dari rak dapur milik mbah putri. Gara-gara temannya juga diminta supaya memberi
sate buatannya pada orangtuanya yang pulang dari hutan, dan kemudian ketahuan
satenya itu adalah daging cicak, Dakri pun kemudian dijobrag dan dimarahin.
Dakri Cuma tertawa dan lari bersembunyi. Persahabatannya dengan teman-temannya
memang dimulai dengan rasa sayangnya pada kawan utamanya jika merasa lapar.
Sikap saling memberi di antara teman ditunjukan dengan cara berbagi makanan.*** (NSYS)
Komentar