”KEMAT JARAN GUYANG”
Cerita Bersambung : Nurochman
Sudibyo YS.
Kisah Baridin-Suratminah, mitologi yang hidup di masyarakat
Pantura; Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu. Konon lakon ini telah merambah ke
seantero nusantara. Dan, entah angin apa yang membuatku tiba-tiba ingin sekali
meringkas cerita tersebut jadi drama yang lebih mencekam. Kisah ini
memang sudah akrab di masyarakat petani dan nelayan Pantura. Setiap mengingat
legenda tersebut, terasa seperti mengalirkan sungai dan irama alam dalam
komposisi dawai dan liukan seruling di panggung legenda yang dikemas tragis
semalam suntuk.
Aku teringat Shakesphiere dengan kisah Romeo dan Juliet-nya.
Saat mana pesta tasyakuran jadi ajang pentas drama tarling. Berpuluh panggung
menangkap tahun-tahun yang berlalu. Untuk kedua kalinya kusaksikan berbarengan
dengan datangnya purnama. Aku ingat saat itu kuamati setiap babak dan adegan
dari bawah rindang pisang. Lalau di batas pagar bambu tetangga desa di antara
tahun 70-80 an. Aku teringat malam itu pertunjukan dimulai dengan atraksi gadis
cantik bergoyang dahsyat menari jaipongan.
Kudengar malam itu sekitar pukul 22.00 WIB, MC menyeru
bawakan tajuk acara. Lakon pun dibuka “Ajian Kemat Jaran Guyang”, legenda
Baridin dan Suratminah. Aku menyebutnya “Cinta Kandas di Ladang Bias”. Namun
saat mengingat itu, semakin menempatkan aku jadi "Baridin" .
Menembangkan puisi dalam irama gitar dan suling yang menyayat.
“Aku jejaka tua, penunda masa lajang. Bergaris jepitan
ekonomi yang kian menyempit. Karena bapakku tak lagi mengenal pulang. Sebab
pailit yang menderit. Kupilih berteman dengan ibuku. Mbok Wangsih, buruh
tani penjual pisang. Aku Baridin,”
kepada Mbok Wangsih di gubuk bambu yang sederhana. Di pinggiran bengawan Pemali
dengan sepuluh pohon pisang juga nangka welanda. Satu tandan masak di
pohon.
“Ibuku janda setengah
tuhu yang mendidik hidupku. Aku si tukang meluku, petani pembajak sawah
yang selalu resah. Dan, kau tau kerbau penariknya, kupinjam dari Pak Haji
Darkum. Lelaki tua tak murah senyum,” ujar Baridin bermonolog.
Sampai suatu hari Mang Bunawas memberi tugas membajak sawah
di batas desa Jemaras. Secepon tumpeng dan bekakak ayam, sebagai
pengikat, juga uang bayaran. Upah sudah di terima. Padahal kerja belum
dilakukan. Hingga pagi melepas sarapan. Weluku di panggul di bahu. Baridin
berjalan perlahan ke lahan milik Mang Bunawas yang jadi tujuan.
Sesaat waktu datang dan pergi laksana pesawat yang melesat.
Di sebuah rumah di desa pinggiran kota sumber Bawang. Tampak Bapak Dam,
saudagar kaya raya menyilangkan kaki
dengan sombong. Sikap angkuh
dan pelit sudah jadi modus Haji damiri saat-saat berkelit. Ia hidup
bersama anak gadisnya. Perempuan muda belia, bermata teduh, cantik dengan tubuh
yang cukup sempurna. Suratminah nama yang tertera di KTP. Sebutan
sehari-harinya Ratminah.
Di sebuah rumah besar berhiaskan taman, dan arsitektur
mewah, Bapak Dam tegah bersiul-siul menyapa burg perkutut kesayangannya. Si
Bopi anjing kesayangannya menemaninya sembari mengunyah tulang bebek sisa makan
majikannya. Pagi itu bapak Haji Damiri melepas putrinya ke pasar. Seperti
biasa Ratminah hendak belanja kebutuhan harian keluarganya. Ia sadar betul akan
kewajibannya. Apalagi semenjak kecil ia sudah ditiggal mati ibunya. Setelah
dewasa bapaknya memutuskan untuk hidup tidak bergantung pada pembantu rumah
tangga. ratminah telah terbiasa dengan kewajibannya. Bahkan ia sangat memaklumi
sikap pelit bapaknya untuk menjaga agar kekayaannya tidak cepat habis.
Sepeninggal sang anak, Haji Damiri berkelakar dengan
tetangganya. Seperti biasa, kebiasaan buruk
di ulang-ulang dengan memamerkan harta bendanya. Namun giliran
menugaskan apa saja, baqhil pula ulahnya. Bapak Dan tidak merasa sakit hati
manakala disebut-sebut oleh tetangganya dengan julukan “Kaji Kucrit, Wa Kaji
Damiri Pelit”. Begitu pula saat tukang ramal mampir, menyapa kesendirian Pak
Haji Damiri. Bapak Dam pun tidak mau membayar uag jasa ramalannya. Alasannya
karena dalam ramalannya itu ia akan jatuh melarat. Dan, anak perempuan
satu-satunya diprediksi bakal gila. Mendengar ramalan itu Bapak Dam Iangsung
mengusir si peramal. Sembari mengumpat abis-habisan, ia ledakkan seluruh
amarahnya dan terus mengusir sampai si peramal lari kocar kacir.
Sementara itu di pinggir jalan sebelum masuk pasar Brebes,
Ratminah tengah digoda pemuda brandalan. Mereka selalu memuji kecantikan
Ratminah dengan pantun dan lagu-lagu gaya anak ABG. Ulahnya itu dilakukan
dengan harapan bakal disambut baik oleh Ratminah. Tapi perempuan ayu bernama
Suratminah itu malah tidak suka dengan ulah iseng pemuda brandalan. Ia kemudian
menghardik mereka agar menyisih dan membiarkan dirinya lewat.
Dengan wajah angkuh Ratminah pun menunjukkan muka yang
lusuh. Sebagai anak gadis orang terkaya di kota
Bawang, Ratminah pun berhasil mengusir para brandalan tanpa melawan.
Namun niatnya untuk pergi berbelanja jadi tertunda. Hari itu ia merasa kesal
meladeni kekurangajaran pemuda brandalan. Apalagi saat munculnya Baridin yang mengajaknya
berkenalan. Konyolnya ia juga meminta ditemani kencan dengan weluku
sebagai barang yang dibanggakan.
Pertemuan Baridin degan Suratminah timbulkan gejolak asmara.
Dengan jujur Baridin langsung menyatakan cinta. Ia merayu Ratminah dengan
tembang penuh sanjungan dan kata-kata berlapis indah laksana bunga liar
sepanjang Kali Pemali yang bermekaran.
Suratminah dengan seenaknya membolak-balikkan kata. Ia
berkelakar pada Baridin sembari terus mengejeknya. Baridin dianggapnya tidak
bercermin. Dirinya berkali-kali disebut-sebut sebagai pemuda miskin. Apalagi
saat itu Baridin tegah berpakaian compang camping. Celana yang dipakainya
rombeng, berhiaskan tambalan dan bau tubuhnya pun pengak. Sebagaimana harum
keringat petani yang meradang di hari siang.
Disaat Baridin dan Suratminah tengah asyik bercengkerama,
datang anak-perempuan bertubuh kecil, teman bermain Suratminah. Tiba-tiba ia
ikut mengejek Baridin. Ulah anak-anak sekolah itu membucahkan perhatian Baridin
yang sedang asyik merayu Suratminah. Baridin pun kecewa. Ia termangu di sudut
jalanan. Ia lupa dengan tujuannya membajak sawah milik Mang Bunawas.
Gara-gara pertemuannya dengan perempuan ayu di jalanan,
hatinya menyimpan kesan. Suratminah pun
gagal berbelanja. Ia sudah kadung kesal dan memilih pulang ketibang
hatinya bimbang. Begitu juga Baridin. Ia gagal berangkat ke sawah Mang Bun. Ia
kembali ke arah desanya. Sembari cengar-cengir sendiri ia panggul weluku yang masih kering itu di punggung
tubuhnya yang kurus kering.
Mbok Wangsih kaget bukan kepalang, memandang datang si anak
lanang. Hari masih siang, anak semata wayang yang kerap kali dikudang bukannya
pergi ke sawah ladang, eh malah pulang sembari berdendang. Kalau saja pekerjaan
membajak sawah Mang Bunwas sudah usai, tentu tak jai masalah. Persoalannya
karena uang bayaran sudah dibelanjakan. Brekat tumpeng sudah habis dimakan.
Sementara mbok Wangsih melirik ke arah weluku Baridin masih
tampak kering tak menyisakan secuil lumpur. Ia pandangi wajah anaknya. Baridin
tampak terdiam dikebisuan, dan ia justru asyik melamun. Membayangkan
pertemuannya dengan Suratminah.
Baridin lupa pada apa yang ditanyakan mak-nya. Bahkan saat
Mang Bun datang menanyakan pekerjaan yang gagal digarap, ia malah asik
bersiul-siul. Seperti orang yang aru menang lotre.
“Hai, Baridin yang benar saja apa memang sawahnya tidak
ketemu atau bagaimana? Kok sawahku belum kamu bajak!” tanya Bunawas.
“Jawab nak. Jangan membuat susah orang. Kenapa kamu nggak
jadi ke sawah Mang Bun?” sela Mbok Wangsih.
Mendengar pertanyaan beruntun dari Mang Bun dan emaknya,
Baridin dengan santai ia menjawab; “Kalau masih ada hari esok kenapa harus
marah-marah?”
“Aku tanya kenapa kamu nggak membajak sawahku, Baridin?”
ulang Bunawas.
“Tuh nak, jawab dengan sebenar-benarnya kenapa sih? “ Mbok
wangsih ikut gundah.
Baridin Cuma cengar-cengir sendiri. Ia tak meladeni
pertanyaan kedua orang yang ada di depannya.
Dengan kesal, Mang Bun meminta uang dan Brekatnya
dikembalikan. Mendengar apa yang diminta Mang Bunawas, Baridin dengan santai
meminta agar ibunya menyerahkan apa yang Mang Bun pinta. Mbok Wangsih bertambah
gelisah. Bagaimana ia harus mengembalikan uang dan brekat yang sudah ia terima.
Pasalnya brekat dari Mang Bun, sudah habis dimakan. Uang bayaran untuk pekerjan
membajak sudah ludes dibelanjakan.
Baridin dengan santai memberi jawaban atas emaknya yang
kebingungan; “Kalau tak ada, ya gunakan saja sarungku sebagai jaminan, gampang
besok kugarap sawahnya,” dengan seenakny Baridin menjawab. Karena tidak ada
barang lain yang bisa dijadikan jaminan, Mang Bun akhirnya menerima saja Sarung
kebanggan Baridin, meski sudah bau apek, bulukan dimakan lapuknya
usia.
Mbok wangsih menanggung malu atas ulah anaknya yang cepat
sekali berubah. Namun ia menjadi girang manakala Baridin mau berterus
terang. Diceritakan oleh baridin, kalau dirinya tengah jatuh cinta pada seorang
wanita. Dan, ia menginginkan gadis pujaannya itu menjadi teman hidupnya.
“Mbok, sewaktu aku melewati pasar Brebes, saat hendak menuju
sawah Mang Bun, aku bertemu dengan gadis cantik. Namanya Suratminah. Ia hendak
berbelanja. Kami sama-sama suka. Gara-gara pertemuan kami itu dia ya nggak jadi
belanja dan aku juga nggak jadi kerja. Aku suka banget sama Ratminah, Mbok? Aku
ingin melamarnya untuk teman hidup kita, ” ujar Baridin menuturkan kisahnya.
Mendengar cerita anak lelakinya, Mbok wangsih pun senang. Ia
membayangkan bakal punya menantu. Pikiran Mbok Wangsih menerawang ke masa
datang. Selanjutnya ia membayagkan kelak bakal menimang cucu. Dalam pikiran
mbok Wangsih rumahnya bakal diramaikan dengan suara bayi. Namun ia menjadi
kaget bukan kepalang manakala perempuan yang dicinta anaknya itu adalah gadis
dari kaum berada.
“Suratminah anak saudagar kaya di kota Brebes. Tapi,
karena cinta dan rasa sayangnya pada Baridin, Mbok Wangsih tambah tidak kuasa
menolak permintaan putranya, untuk melamar Suratminah binti Haji Damiri,” Mbok
Wangsih berfikir dalam hati.
Hari itu juga, dengan berbekal setandan pisang imbuhan, yang
diunduh dari pohon samping rumahnya. Mbok wangsih berangkat menuju ke kota
Brebes dengan petunjuk arah dari putra terkasihnya. Baridin bin Daklan.
Di rumah Haji Damiri, di pinggir utara Kali Pemali Brebes.
Terdengar pintu rumah dibuka dengan keras. Rasa heran bercampur bingung
terngiang dikepala Bapak Dam. Anak perempuannya pulang dengan wajah cemberut
sembari memulangkan uang belanja. Saat ditanya berbagai hal Ratminah tak mau
menjawab. Ia masih kesal dengan kejadian yang menimpanya saat hendak pergi ke
pasar. Apalagi jika ia mengenang kehadiran Baridin yang tiba-tiba menyatakan
cinta dan mengutarakan hasrat hatinya. Ratminah bertambah pusing, karena
menyimpan kesan tersendiri pada Baridin yang lucu, lugu dan konyol itu. Namun
dia tidak bisa berbuat sesuka hatinya. Sebagai anak perempuan satu-satunya
juragan Haji Damiri, Ia harus tetap angkuh untuk menunjukkan status sosialnya
sebagai anak saudagar kaya.
Menyaksikan sikap aneh yang ditunjukkan Ratminah, Bapak Dam
mengingatkan agar Ratminah menikah saja, ketimbang sering digoda pemuda saat
pergi ke pasar. Harapan Bapak Damiri, Suratminah mau menerima lamaran siapapun
lelaki yang dicintainya. Bapak Dam ingin sekali isi rumahnya terdengar tangisan
anak manusia yang lain. Tidak seperti hari-harinya yang penuh senyap. Kalaupun
ada suara cuma kicau burung perkutut, salak Si Bopi, dan suara Tokek yang
kadang mengnyemarakkan isi rumahnya.
Ratminah memilih diam seribu bahasa. Mulutnya membukam, saat
ditegur bapaknya. Dia bingung, siapa yang kelak harus dipilih sebagai calon suaminya.
Sejujurnya Ratminah sudah malas ke sekolah. Namun begitu ia juga belum berani
mengutarakan isi hatinya. Ia belum mengerti makna sejati atas cinta yang
dialamiya.
“Sudah lah Pak, aku malas menjawabnya. Aku lagi ngak
kepengin apa-apa. Aku kesal dan jengkel dengan banyaknya kejadian tadi sewaktu
aku mau ke pasar,” ratminah sedikit membuka unek-unek yang mengganggu
pikirannya.
Disaat tengah gundah dengan ulah anak gadisnya, Bapak Dam
dikagetkan dengan hadirnya seorang tamu lelaki yang bermaksud melamar Ratminah
untuk dipilih menjadi istrinya. Namun setiap kali dilamar sekali itu juga
Ratminah menoak. Padahal Bapak Haji Damiri berharap dengan kehadiran para
pelamar bisa membuat Suratminah bahagia dan menentukan pilihannya.
Sampai kemudian Datang berganti-ganti, para pelamar yang
disambut keceriaan Bapaknya. Sayangnya setiap kali datang lelaki melamar setiap
kali itu juga Ratminah menolak. Sampai kemudian semua pelamar yang di tolak
berkumpul, diantaranya Dalang tarling, Saudagar, Juragan, Insinyur dan seorang
kondektur bus. Bersama-sama mereka lakukan penyerangan dengan mengejek dan
menghujat Ratminah juga bapaknya.
Dasar orang kaya berkuasa pula ulahnya. Bapak Dam dan
Suratminah, berhasil mengusir lelaki yang gagal melamar itu. Namun baru saja
hendak masuk ke ruang tengah, rumahnya kembali bergetar, pintu diketuk seorang
wanita yang datang sembari terheran-heran menyaksikan kemewahan rumah bapak
Dam. Suara Bopi tak henti-hentinya menyalak, ia mengira perempuan itu pengemis
yang tak diundang.
Saat membuka pintu, Ratminah langsung memberi sedekah.
Perempuan itu menolak. Aku Mbok Wangsih, Ibunya Baridin. Ia tertegun dengan
kecantikan Suratminah. Benaknya berseliweran kata. ‘Pantaslah jika Baridin
terpesona ingin meminangnya” ucapnya. Suratminah memanggil bapaknya mendengar
perempuan itu punya tujuan bukan hendak mengemis. Bapak Dam bertambah kesal.
Baru saja dipusingkan ulah arogan para pelamar yang ditolak Suratminah, datang
pula perempuan aneh. Semakin mangkel saja hatinya manakala Mbok Wangsih mengutarakan
hasratnya melamar Suratminah untuk Baridin, putra yang dicintainya.
Mendengar penuturannya itu Bapak Dam serta merta menghina,
mengejek kemiskinan mbok Wangsih. Hanya dengan pisang setundun, hendak melamar
anaknya. Selain tertawa, bapak Dam, dengan keras menolak dan mengumpat
kelancangan Mbok Wangsih. Namun Mbok Wangsih justru memaksa minta lamaranya
diterima, demi anak lelakinya Baridin. Mbok Wangsih meminta Surtaminah
untuk menjawabnya.
Gertak tolak dan hinaan bapak Dam bagi Mbok Wangsih masih
bisa tahan, Namun saat mendengar Suratminah menolak lamarannya, bahkan sikap
kasar gadis ayu itu dengan keras menendang, sembari meludahi mukanya dan ia
lemparkan pisang sasrahan itu ke tubuhnya. Mbok wangsih tak tahan, menahan
sakit. Hati sanubarinya perih terkoyak. Ia tertatih membalik arh. Ia pulang
sembari menyalahkan Baridin yang tak mau bercermin dahulu sebelum menentukan
keinginannya. Tubuhnya lunglai dan hatinya seperti dirobek-robek. Mbok wangsih
meninggalkan rumah bapak Dam. dengan penuh Kekesalan dan amarah pada Baridin
anaknya yang kelewatan.
Di gubug bambu beratap rumbia, Baridin menatap langit senja
bercahaya dengan bayangan rembulan tipis dikejauhan. Mengais keindahan semburat
merah yang memancar bagai impian dan harapannya yang berpendaran di kepalanya.
Ia asyik melamun hingga ke puncak harapannya dapat menikahi gadis pujaannya
Suratminah. Yang kini diupayakan ibunya yang seharian pergi melamar belum juga
pulang. Tiba-tiba Baridin dikejutkan dengan kedatangan mbok Wangsih yang datang
dengan wajah sedih dan buntelan pisang yang
utuh tak tersentuh.
Baridin berulangkali bertanya, Siapa sangka Mbok wangsih
kecapean karena tidak berhasil menemukan rumah Suratminah. Namun apa yang
dikiranya justru terbalik. Ibunya gagal melamar Suratminah menjadi istrinya.
Baridin tertegun dengan apa yang diceritakan ibunya.
Marah dan keperihan hati ibunya masih bisa diterima oleh
Baridin, karena ia mengakui kemiskinan yang selama ini menjerat hidupnya. Namun
sikap angkuh Bapak Dam dan Suratminah yang tak disangka dengan begitu berani
menghina dan meludahi wajah ibunya, justru yang membuat Baridin menjadi sakit
dan mendadak sontak ia rubah cintanya jadi benci, kemarahan bercampur dukan
dendam tak tertahankan.
Resah bertambah manakala mbok Wangsih mengusirnya, karena
merasa dipermalukan oleh sikap tolol Baridin. Mbok wangsih dengan kemarahan
yang meluap, malam itu mengusir Baridin dari rumahnya sendiri. Mbok Wangsih
malu dengan sikap anaknya yang tak mempertimbangkan kemelaratan yang
melanda keluarganya.
Baridin, merintih menahan tangis, jero batinnya tersayat. Ia
terus saja berjalan menembus kegelapan malam. Baridin melangkah sampai jauh
menuju Kulon, sembari mengumbar nafas dendamnya. Sampai kemudian ia bertemu
sahabat karibnya. Teman sejak kecil tempatnya menuangkan rasa, batin yang
tersiksa.
Gemblung Binulung tak sekedar nama. Ia teman dengan wajah
gemblung tapi gemar menolong. Gemblung prihatin atas nasib Baridin.
Kembali ia niatkan menolong sahabatnya, untuk meredakan api cinta Baridin pada
Suratminah. Awalnya Baridin tak percaya jika Gemblung yang berwajah bloon itu
mampu memberi seteguk pelepas dahaga atas nasib sialnya. Tapi setelah
gemblung menunjukkan wasiat ajian peninggalan mendiang bapaknya, Baridin mulai
percaya. Ia mencoba membaca rapalan dari kertas coklat tua bertuliskan “
Ajian Kemat Jaran Guyang” ia tercengang.
Atas nasehat sahabatnya itu Baridinpun kemudian mandi
bersuci, laku puasa pati geni selama 40 hari empat puluh malam, tak makan dan
tak minum, merpalkan niat sembari membaca serat ajian, di malam kelahirannya
sekira pukul 12 malam. Dalam keremangan, suasana yang wisik. Baridin
Merapalkan Ajian Kemat Jaran Guyang sembari berbisik pada seisi alam.
"Niat isun arep ngemat...dudu ngemat-ngemat tangga dudu
ngemat wong balik pasar. Sing tak kemat... bocah wadon sing gembleng, ayu
rupane, anake bapa Dam, wong sugih ning kota Brebes, Teka welas, teka asih,
asiha ning badan isun, kedanan ning badan isun. Yen lagi turu gage nglilira,
yen wis nglilir gage tangia, njenggeleka, mlakua lan mlayua karo nyebut aran
isun, brengengea kaya jaran
guyang........."
Alam pun tiba-tiba bergetar. Langit memunculkan udara panas.
Bau kemenyan yang lemah merambah ke mana-mana. Ratminah yang merasa baunya
terbangun dari tidur. Ia yang lemah imannya dan yang dalam hidupnya selalu
sombong bahkan kerap berlaku angkuh, malam itu dibangunkan dari tidur.
Di rumah Bapak Dam, menjelang jam satu pagi. Dikesalkan
dengan bunyi tokek yang berulang-ulang. Kekesalan Bapak Dam dikarenakan saat
dihitung suara tokek itu, jatuhnya selalu pada hitungan miskin. Begitu juga
saat berupaya menghitung sebaliknya, tetap saja jatuh pada hitungan miskin.
Begitu juga manakala penabuh Tongprek lewat tengah malam. Pak ronda yang merasa
aneh. Ia kaget karena bapak Dam tak tidur semalaman. Namun di saat mengulangi
hitungan suara tokek, Pak rondapun sama bolak-balik jatuh pada hitungan miskin.
Bapak Dam kecewa, ia senewen malah
ngedumel sendiri.
Pagi harinya cahaya matahari seperti enggan menampakkan
wujud. Kekesalan demi kekesalan terus bermunculan. Bapak Dam kaget dengan ulah
Ratminah yang tiba-tiba malas-malasan dan sebentar-sebentar tertawa cengengesan. Ia menikmati
kesendiriannya sembari mengucap nama dan menyebut-nyebut Kang Baridin.
Sementara Bapak Dam tak paham siapa Baridin yang dimaksudkan.
Kekesalan Bapak Dam, semakin bertambah saat meminta Ratminah
nggodog Wedang, setelah ditunggu
lama, ia malah muncul membawa golok. Saat disuruh mandi dia malah diam
menyeendiri. Lagi-lagi Ratminah menyebut-nyebut Kang Baridin, berulang-ulang.
Bapak Dam bertambah bingung manakala anaknya berganti kostum. Ia berdandan
dengan pakaian bekas, lusuh, kotor, dan rambutnya diuraikan tak teratur. Lalu
Ratminah keluar rumah sembari berlari, ia bertanya ke kanan dan kekiri, kepada
semua tetngganya ia berseru;”dimana Kang Baridin, dimana ya Kang Baridin?”
Ratminah terus berjalan dan semakin jauh meninggalkan jejak
rumah serta bapaknya sendirian. Ia berjalan dengan cepat, berlari seperti kuda
yang tak kenal lelah. Ia berteriak-teriak seperti jeritan kuda kesakitan
sembari menyebutkan nama; Kang Baridin. Ratminah lupa makan lupa minum. Ia
teriakkan keinginannya untuk bertemu kang Baridin. Ratminah terguncang jiwanya.
Sikapnya berubah labil. Dia memuja Baridin dan berjalan cepat sembari
mengundang nama Baridin. Ia menjadi tertawaan anak-anak, ia membiarkan
anak-anak itu melemparinya, karena dia layak disebut Wong Edan.
Bapak Dam pun serentak jatuh miskin. Uangnya habis
dihambur-hamburkan memberi upah pada tetangga dan orang-orang yang mengaku bisa
menyembuhkan Ratminah bahkan bisa mencari kemana Suratminah pergi. Namun uang
terus terbuang, semua nihil tiada hasil. Sampai suatu hari ia mengalami rugia
yang besar, karena orang yang mengira bisa mengembalikan Suratminah dengan
ciri-ciri rambut terurai dengan pakaian rombeng yang setiap kali menyebut kata
Baridin ternyata salah. Ia bukan Ratminah. Perempuan yang juga terlunta-lunta
terus mencari-cari Baridin itu adalah
Mbok Wangsih. Ia depresi karena terus terobsesi, akibat salah persepsi, Bapak
Dam yang telah melarat, akhirnya pergi meninggalkan rumah, entah kemana ia
berjalan. Ia tertatih-tatih menahan malu dan sejuta penyesalan. Ia terus
berjalan mencari anaknya sembari menangis perlahan.
Mbok wangsih kondisi tubuhnya terikat, dalam kekuasan Bapak
Damiri, keluhnya dipenuhi isak tangis. Ia berteriak memohon pertolongan. Dalam
jeritnya ia berjanji pada siapa saja yang mau menolong. Jika ia seorang lelaki
maka ia bersedia menjadi suaminya. Sumpahnya terdengar terdengar seperti petir
di telinga Gemblung Binulung. Pucuk dicinta ulam tib, demikian Ia selamatkan
Mbok Wangsih dan ia pula yang memberi petunjuk di mana Baridin berad. Mbok Wangsih tertolong namun
ia bengong, bingung untuk menolak sumpahnya. Bagaimana ia bisa kawin dengan
Gemblung Binulung. Selain masih sangat muda, Gemblung adalah sahabat karib
anaknya. Bagaimana ia menjelaskan pada Baridin. Lebih-lebih karena gemblung itu
ya memang gemblung. Tapi mbok Wangsih tak kuasa menerima kebaikan Gemblung
binulung. Ia pun mbuyar gelung ngrangkul
gunung.
Jagapura suatu siang. Suara keciprak bongkahan tanah basah
di lahan pesawahan. Burung-burung jalak bersiul diantara keramaian gelatik,
kutilang dan prenjak. Baridin tak lelah bekerja membajak sawah, sembari
menghentakkan pecul ke tubuh kerbaunya. Sembari bernyanyi perih dan lirih,
Baridin mengenangkan hati sanubarinya yang merana. Ia masih belum melunaskan
puasa dan belum juga berbuka, sebelum melihat dengan kepala sendiri, atas apa
yang telah dilakoni. Berkat jasa persahabatan gemblung Binulung disaat linglung
itulah ia ditulung.
Sampai kemudian datang Suratminah mencapai puncak kelelahan
atas perjalanan perih dan gairah cintanya yang meledak-ledak, dan ia terus
mencari, memanggil Baridin hingga kini ia temui. Di pinggir sawah yang tengah
dibajak. Baridin menyaksikan wanita yang dikenalnya menangis. Wajahnya yang
cantik terbaur debu-debu jalanan. Bajunya compang- camping dilabur noda hitam
dan bau lumpur sebab terlalu banyak mencatat perjalanan jauh. Suaranya memekak
kian lama kian serak, karena terus memanggil-manggil namanya. Perempuan itu menangis
di kaki Baridin yang terdiam laksana patung, lirih sekali mulut kecilnya
bersuara, meminta maaf. Namun Baridin tetap tegar tak berdenyar, hanya diam dan
ia terus terdiam. Belum lagi ia keluarkan kata maaf, Baridin malah mbongganaken sikap buruk dan kesombongan
Suratminah serta Bapaknya yang telah mencaci dan menghina Mbok wangsih, ibu
yang sangat dicintainya.
Ratminah tak kuat
menahan pendaman rasa cinta dan kasihnya yang berlepasan. Ia peluk tubuh
Baridin dengan sisa-sisa tenaganya. Ratminah pun roboh diremas kakunya
persendian dan darah di tubuh tersumbat niatan berucap. Tubuhnya lemas. Ia
tinggalkan dunia yang melilit seluruh isi kepalanya. Baridin tersentak
memandang mata Suratminah wewalangen.
Orang-orang bersijingkat mengangkatnya di atas pembaringan sebuah rumah.
Penduduk tak sempat tahu apa yang terjadi. Siang hari itu matahari meredup,
pelangi membayang diantara gerimis. Airmata mengucur di pipi Baridin. Ia
mengebumikan jenajahnya di area Pekuburan Desa Jagapura.
Sore menjelang datang waktu magrib, usai jamiyah tahlil
menerbangkan doa pada almarhum Suratminah, Baridin mendadak terjatuh, tak kuat
menahan letih. Tubuhnya nempuruk lemah. Niatnya berbuka atas tirakat yang
panjang pun gagal. Jiwa terlepas di senjakala. Ia mememnjamkan matanya dengan tubuh
meluruk di atas tanah di hadapan majelis tahlil.
Hari-hari masyarakat Panguragan dicekam awan hitam dan suara
gagak memekak telinga. Jenajah Baridin esoknya di persanding di samping kubur
Suratminah. Mereka memasang cinta yang agung di alam kubur. Sedang airmata
kedua orang tua, sahabat-sahabat terdekat yang dicintainya dan juga aku yang
menonton dari jarak 20 meter, hanya bisa tertunduk haru di makam pasangan yang
gagal mengenakan gaun pengantin dunianya, Semua ikut dililit ketakberdayaan
memaknai perbedaan status sosial dan ekonomi yang poranda. Jerit tangis dan
airmata berjatuhan seperti hujan di setiapa akhir pentasmu, dimana-mana. Bahkan
di saat ku tulis kembali kisah ini. Isak tangis memilukan tak tertahankan. Kita
menangisi, kemiskinan demi kemiskinan yang selalu saja menjadi jarak
berlakunya tatanan hukum dan kehidupan
kita. Selalu itu jadi sumber petaka kehidup manusia.***
*Disari dari kisah drama tarling “Baridin” Karya Karya H.
Abdul Ajib,
Cirebon -Indramayu 2011
Komentar