MENGENANG LAKU LAMPAH , MENDULANG SPIRIT RASINAH



--INDRAMAYU, Saya mengenal Mimi, demikian selalu aku menyebut Ibu Rasinah yang kemanapun pergi selalu bersama suaminya Pak Amat. Pengalaman ini kurasakan sejak tahun 70 an. Sebagai anak-anak yang dibesarkan di keluarga Perwira Tentara, sudah barangtentu kami memiliki jadwal kegiatan ekstrakurikuler selain aktif di Sekolah madrasah, kepramukaan juga kesenian bersama keluarga para pejabat yang tinggal di Kota Indramayu. Salah satunya saya punya kewajiban untuk rutin mengikuti pembinaan seni tari dan gamelan. Satu-satunya sarana pendidikan seni tari dan gamelan yang khusus untuk anak-anak pejabat di Kota Indramayu adanya di Sanggar Seni Pak Murba, Di Jl. MT.Haryono Karangturi tak jauh dari Kalen Tahu atau sungai kecil tempat pembuangan pabrik tahu.Saat itu Mimi Rasinah yang mengajarkan tari dan Pak Amat mengajarkan cara menabuh gamelan.
Sewaktu usia Sekolah Dasar, Saya tidak mengenal kalau Mimi Rasinah itu Penari Topeng, dan Pak Amat adalah seorang dalang wayang Kulit. Yang saya tahu Mimie selalu mengajarkan dasar-dasar menari untuk anak-anak sesuai dengan usia dan daya tangkapnya. Tak heran jika jenis tarian yang saya terima pun tari tani, tari serimpi, tari merak dan tari kupu-kupu. Pelajaran menabuh gamelan yang diajarkan Pak Amat pun dari mulai tingkat dasar hingga ke tingkat lagu dan laras yang sulit. Mungkin sore hari dan malamnya ada beberapa prifat tari topeng atau tari tradisi dan jenis tarian pendidikan (kursus) lainnya.
Dari pengalaman saya mengikuti pendidikan seni dari Mimi Rasinah dan Bapak Amat, kami lebih dominan diajarkan nilai-nilai spirit yang ditumbuhkan dari kemampuan menari dan menabuh gamelan. Selanjutnya kami pun diajarkan keberanian membuat gagasan pentas baik secara berkala di sanggar maupun di kantor pemerintah dan di sekolah-sekolah. Beliau berdua juga selalu bercerita tentang kesederhanaan dalam hidup meski tidak memiliki seorang anak pun. Dan terakhir saat saya sudah menginjang usia SLA Pak amat diangkat sebagai pengelola gamelan di Pendopo Indramayu. Di saat itulah saya mulai mengetahui beliau mulai menjadi PNS dan melatih putra-putri pegawai Pemda setiap sore hari.
Ketika di pertengahan tahun 80-an hingga puncaknya di tahun 95-an jagat sastra di Indramayu mengalami kemajuan, karena dapat melahirkan banyak kegiatan penting yang diekspos ke luar daerah, bahkan Indramayu pun berkali menyelenggarakan pertemuan sastrawan setingkat Jawa Barat dan nasional. Hadirnya kepemimpinan H. Ope Mustofa dan direnovasinya Pendopo Indramayu membuat dua perangkat gamelan di situ terbengkalai dan satu-satu kemudian hilang entah kemana tak tentu rimbanya.
Sementara pihak dinas Pendidikan dan Kebudayaan kemudian berinisiatif agar pengelola gamelan di Pendopo dalam hal ini Pak Amat agar difungsikan di  Gedung atau aula Dinas Pendidikan dan Kebudayaan yang berada di Jalan RA Kartini, depan Polres Lama Kota Indramayu. Dari sinilah kemudian saya tahu hamper seluruh kegiatan seni budaya di pusatkan. Dari situ pula saya mengetahui bahwa Bapak Amat dan Mimi Rasinah pun getol melatih putra-putri pilihan dari Keluarga besar Dinas Pendidikan dan Kebudayaan untuk dilatih sebagai nayaga dan penari  Topeng. Tokohnya saya lihat ada ibu Carimah kepala SD Negeri Paoman 4. Semenjak itu pelatihan seni tari topeng pun kemudian marak dan jadi trend di Indramayu. Karena hampir setiap acara dan kegiatan apapun baik dipemerintah maupun swasta selalu dibuka dengan pertunjukan seni tari topeng garapan Mimi Rasinah.
Di pertengahan awal tahun 90-an atau sejak bapak Amat pension, kegiatan pelatihan seni karawitan dan tari topeng pun kemudian mulai diramiakan di rumah kediaman Pak Amat dan Mimi Rasinah di Pekandangan. Puluhan bahkan ratusan generasi penari topeng Indramayu punlhir dari tangan mimi Rasinah. Begitu juga perkembangan seni topeng di sanggar Mulya Bhakti desa Tambi yang ditangani Mbak Wangi Indria mengalami perkembangan yang signifikan. Demikian pula seni topeng yang ada di Juntinyuat yang dipelopori keluarga pewaris wayang golek cepak yaitu Ki Dalang Taram. Meski tidak melakukan pembinaa
n dan kaderisasi, meninggalnya Dalang Taram memunculkan eksistensi Dalang wayang Cepak Ahmadi, Asmara Taram dan Tarjaya. Hingga pada suatu hari aku dibukakan jalan untuk terus mencatat perkembangan seni budaya yang sebegitu marak di Indramayu kembali hidup setelah hadirnya Mas Arif Yudi dan Didi Junaedi Kijun melakukan pendataan guna kepentingan Lembaga Kebudayaan Indonesia. Tergerak dengan semangat kawan-kawan luar kota Indramayu yang menunjukkan kecintaan pada kekayaan seni budaya daerah, maka sayapun tak kalah mulai berkeliling mengakrabi potensi besar itu sembari ikut mencatat secara bertahap.
Baru pada pertengahan tahun 90-an ketika saya pun berkali dipercaya untuk membantu setiap proses pembuatan film yang ada di daerah Indramayu, baik ketika era  kejayaan Festifal Film TVRI, hingga era festival Film di RCTI. Saya yang dipercaya sebagai manager lokasi diminta membuat sebuah perencanaan matang penggarapan Film berjudul “Kupu-kupu Ungu” garapan sutradara Hani R Saputra di Indramayu selama 2 bulan. Alhamdulillah apa yang dituntut kebutuhan sutradara dapat terpenuhi semua. Mulai dari lokasi shoting, hotel dan penginapan yang representative yang saya pilihkan Di Wiwi Perkasa. Dan, saat itu prmohonan saya untuk menampilkan 70-90 persen pemain pendukung utama sampai figurn berasal dari Indramayu disetujui sutradara dan manager produksi.
Sesuai dengan tuntutan cerita maka saya pun kemudian berhasil menempatkan para seniman Indramayu sejajar bermain peran di film tersebut bersama artis handal sekelas Nurul Arifin, Gito Gilas. Tak pelak Mimi Rasinahpun ditarik untuk mendukung film tersebut. Begitu juga Ki Dalang Ta’ham, Bapakku Yusuf Sugiyono, Sinden Kondang Nyi Sidem meski awlnya tidk boleh oleh suami dengan keyakinan saya pun kemudian bersedia untuk ikut mendukung film ini, begitu juga Wangi Indria yang berpasangan dengan seniman indramayu yang baru lulus dari ISI Yogyakarta Wergul W Darkum dan Yuli Adam Panji Purnama sebagai actor yang paling menonjol di penggarpn film ini. Di beberapa adegan kami pun menggunakan berates masyarakat desa Tegur Pabean ilir untuk ikut serta mendukungnya. Bahkn ketika ada adegan wartawan, maka Agung Nugroho, Supali Kasim dan saya sendiri pun ikut berperan dalam mendukung film besar berkekuatan seni budaya Indramayu itu. Bahkan seorang Syajidin sarjana seni Rupa yang baru saja lulus dari ISI Yogyakarta pun saya rekrut untuk ikut dalam mendukung garapan ini sebagai bagian dari peƱata artistic. Aku semakin senang bisa menunjang garapan sutradara Hani R. Saputra dengan asisten sutradara Kang Asep dan kamermen Mas Monot yang biasa menggarap film-film documenter Garin Nugroho.
Tak tanggung-tanggung sebulan setelah proses terakhir penggarapan Film Kupu-kupu Ungu itu ditayangkan di RCTI. Publik seni di Indonesia pun kemudian mulai membaca potensi besar seniman Indramayu baik yang ada dilapisan tradisi, otodidak dan seniman hasil pendidikan. Dan dari sini pulalah saya kemudian tau bahawa masa Mimi Rasinah 20 tahun tidak menari Topeng dan Pak Aat tidak mendalang itu dari tahun 60-80 an dikarenakan sanggarnya mengalami kemunduran jumlah panggungan hingga beberapa perangkat gamelan dan group sandiwaranya sempat dijual. Mulai saat itulah Pak Amat dan Mimi Rasinah mengabdikan diri pada pemerintah sebagai guru gamelan dan tari tradisional termasuk tari topeng.                       
Pasca dari aktifitas dan eksistensi seniman Indramayu kemudian berdampak pada kemajuan mereka untuk kemudian berkali-kali muncul atas nama diri pribadiya sebagai seniman berpotensi asal Indramayu. Dan sayapun kemudian mengethui kehadiran Bapak Endo Suwondo dan pak Toto Amsar yang selain melakukan penelitian juga memenuhi tuntutan disertasinya dalam bidang seni tradisi dan tari di Indramayu membuahkan panggung-panggung besar Mimi Rasinah ke berbagai pentas tunggal dan vestifan di berbagai kota bahkan Negara di belahan dunia.
Sampai pula kemudian terdengar lahirnya karya masterpiece dari Bapak Syaiful Halim yang menggarap film dokumenter  berjudul “Selamanya Mutiara (Forever A Pearl)”. Film ini disutradarai langsung Bapak Syaiful Halim. Hebatannya lagi film ini mengangkat kisah seorang maestro penari topeng asal Indramayu, Jawa barat. Mimi Rasinah. Diceritakan dalam film tersebut; Mimi Rsinah seorang wanita yang usianya sudah manula, namun ia tetap berusaha melestariakan kebudayaan daerahnya yaitu tari topeng khas Pekandangan. Keahlian Mimi Rasinah memang tidak hanya dikenal di daerah atau pun di Indonesia saja. Ia juga dikenal di luar negeri seperti di Negara Prancis dan Belanda.
Konon bakat menari yang dimiliki Mimi Rasinah terlihat sejak beliau masih kecil. Berdasarkan pengakuannya, ketika umurnya 5 tahun ia sudah diajarkan tari oleh Ayahnya yang juga seorang seniman tari bernama Lastra. Baru ketika Rasinah berumur  7 tahun, ia mulai dapat membantu usaha menambah penghasilan orang tuanya dengan menari. Saat itu Mimi Rasinah dibesarkan dalam ruang lingkup keluarga yang keras dan memiliki kedisiplinan yang tinggi. Ayahnya menerapkan pola disiplin tersebut semata untuk melatih Mimi Rasinah agar menjadi penari yang handal. Untuk itu ayahnya pun tidak segan memukul kaki Rasinah, jika kedapatan ia melakukan kesalahan. Sikap keras ayahnya ini dilakukan agar Rasinah kecil dapat menari dengan sempurna. Konon ketika Mimi Rasinah berusia 9 tahun, dia pun harus menjalani beberapa ritual tirakat gaya seniman tradisi, agar dia bisa menguasai beberapa jenis tari topeng. Tirakatnya selain senen kemis, juga dilatih puasa khas seniman; meliputi puasa sedawuh (buka setelah matahari di tengah hari), puasa mutih (buka hanya makan nasi putih), ngetan (berbuka hanya maka sekepal nasi ketan),  ngasrep (berbuka hanya makan rebusan ubi), nggedang (puasa berbuka sebiji pisang), ngrawit (berbuka hanya makan cabe rawit)  dan ngeblong (tidak makan tidak minum dan tidak tidur untuk beberapa hari berjumlah ganjil).

Oleh karena itu berkat kerja keras dan kedisiplinannya, Mimi Rasinah pun berhasil meraih predikat seorang maestro tari yang terkenal, baik di dalam negeri maupun juga diluar negeri. Dan berkat berkat jasanya dalam menari saat itu Mimi Rasi nah bisa mengembalikan pamor sanggarn dan rumahnya. Ia pun kemudian dapat hidup berkecukupan dan mengidupi keluarga panjak atau nayaga yang sudah dianggap sebagai bagian penting dari keluarganya. Meskipun sudah sedemikian berubah taraf hidupnya, ia tidak segan menerima panggilan menari di beberapa tempat kecil seperti hajatan, Unjungan, nadran, kaulan dll. Tujuan utamanya tidak semata untuk mengumpulkan pundi – pundi rupiah, tetapi untuk melestarikan budaya tari topeng agar tidak hilang ditelan jaman.
Selain itu, Mimi Rasinah yang sudah kian sepuh itu tetap piawai pula dalam  memainkan alat musik gamelan.Kemampuan yang diajarkan almarhum suaminya Dalang Amat, ini pula yang kemudian menginspirasikan berdirinya sebuah sanggar tari topeng. Di sanggar yang digagasnya ini hanya ia sendiri yang melatih generasi muda yang dating dan berminat menjadi penerus dirinya untuk melestarikan seni tari topeng. Hebatnya lagi Mimi Rasinah pun berjanji bahwa ia tidak akan berhenti menari sampai ajal menjemputnya diatas panggung. Tekadnya ini memang patut dijadikan tauladan yang baik untuk kita semua khususnya para seniman dan generasi seni di masa depan.

Dalam film documenter tersebut, bisa dilihat teknik pembuatan filmnya, dengan sengja pengambilan gambar yang dilakukan ingin menunjukan runutnya kegiatan yang dilakukan Mimi Rasinah.Melalui film ini pula ada pemeberian pesan bagaimana perjuangan Mimi Rasinah dalam melestarikan budaya seni tari topeng. Selain itu film ini menjadi menjadi menarik untuk dilihat karena didukung oleh artistik yang menambah keindahan. Hal itu Nampak saat adegan Mimi Rasinah menari dalam  kegelapan,  hanya diterangi oleh cahaya lampu obor yang menyala redup di sekelilingnya. Film penting ini juga didukung dengan musik pengiring yang ritmis, sehingga  dapat menarik siapapun untuk masuk kedalam suasananya yang penuh spirit.

Film dokumenter ini sengaja mengangkat kisah seorang maestro penari topeng Mimi Rasinah yang sangat inspiratif, dan dapat dijadikan pembelajaran yang berharga bagi kehidupan kita. Adapun beberapa nilai yang bisa kita ambil adalah kesemangatan agar kita mampu bekerja keras guna memperoleh sesuatu. Kitapun diajarkan hidup dalam tradisi disiplin sehingga saat melakukan prosesnya bisa fokus terhadap apa yang menjadi tujuan kita. Selain kita dapat ikut serta menjaga dan melestarikan budaya yang ada, kita pun memiliki kesempatan ikut berjuang jangan sampai budaya kita yang adiluhung itu hilang ditelan jaman. Atau dengan semena-mena diambil/diakuai oleh bangsa lain. Untuk itu kita harus selalu bersyukur dengan apa yang telah kita miliki dan dapatkan setelah mengapresiasi langkah dan laku-lampah Mimi Rasinah. Karena sekecil apapun dari apa yang diajarkannya merupakan titik tolak sebuah nilai spiritual bagi siapapun mencapai puncak pencerahan. ***
  


Komentar