Zero, oil on canvas by. Affin R.
Turn Around, oil on canvas, by. Affin R.
Dari dua karya seni lukis Afin Riyanto di Pameran ‘Romantisme Negeri Minyak’ mungkin bisa mewakili suara dari luar dan dalam lorong-lorong pipa baja yang menembus bumi Indramayu. Suara-suara itu telah pula menjulangkan banyak pertanyaan, manakala dibeberapa tempat pipa-pipa itu pun menjulur bagai ular. Ia serasa telah lama menerobos setiap lapisan kulit bumi Wiralodra.
Mungkin saja pemandangan yang pernah mereka saksikan selama bertahun-tahun itu merupakan kebenaran atas sebuah prasasti yang ditoreh di kulit menjangan emas. Yaitu sebagaimana kalimat sastra lama yang secara turun temurun berusaha dimaknai menjadi harapan. Menjadi sebentuk pencapaian atas asa dan cita-cita rakyatnya. Sangatlah wajar jika prasasti yang melegenda itu kemudian menjadi pembenaran atas prasangka-prasangka yang menggumpal menjadi energi dari gumpalan harapan dan harapan itu adalah
"Nanging benjang Allah nyukani
Karahmatan
kang linuwih
Darma
Ayu mulih Harja
Tan
ana sawiji-wiji
Pratelane
yen wonten taksaka
Nyabrang
kali Cimanuk
Sumur
kejayan dres mili
Delupak
murub tanpa patra
Sadaya
pan mukti malih
Somahan
lawan prajurit
Sowan
lawan priagung
Samya
tetrem atine
Sadaya
harja tumuli
Ing
sakehing negara
pada
raharja.
Lalu seperti apa sebenarnya negeri minyak yang menjadi harapan besar masyarakat Bumi Wiralodra? Semua masih menjadi misteri yang dimitoskan sejarah, sebagaimana historiografi negeri minyak yang telah dikenal lewat pelajaran IPA di sekolah-sekolah dasar hingga lebih dalam lagi dipahami anak-anak sekolah didalam pelajaran itu. Benarkah minyak terjadi karena sebuah proses pengendapan dari setiap jaman yang didalamnya berasal dari kekayaan ikan-ikan purba, dan kemudian membatu menjadi fosil hingga mengendap menjadi larutan dan gumpalan minyak, hingga ditempatkan sebegitu jauh di lapisan tanah yang ada di bumi. Bumi yang berlapis fosil itu adalah negeri yang di dalamnya menyimpan kekayaan fosil ikan-ikan purba, juga berjuta harapan untuk kemudian disulap jadi impian tehnologi yang mengekploitasi bumi. Pemotretan dan ekplorasi-ekplorasi itu dimulai dengan memberi penanda, karena suatu saat pasti bisa. Bahkan akan jadi semacam penelitian dan diperuntukan kemudian. Artinya ketika dinyatakan negatif atau dibuplikasikan bahwa potensi itu kurang menguntungkan untuk dilakukan pengeboran.
Maka yang paling efektif adalah melakukan ekplorasi di lepas pantai. Ini sangat menguntungkan dari sisi isyue, dampak dan munculnya banyak permasalahan sosial. Kita ketahui masyarakat negeri minyak selalu mempersoalkan wilayah kepemilikan di daerah daratan. Bahkan penguasa kolonial pun mencoba mengambil keuntungan secara terus menerus dari pajak di wilayah kepemilikan yang bisa diotak atik dari sisi aturan hukum adat, pemerintahan desa, kecamatan bahkan pemerintah pusat. Maka peran Jurutulis, kepala desa dan camat pun menjadi penting selain seorang notaris, dihadapan ahli waris pemalik tanah leluhur. Tak pelak dari tahun ke tahun persoalan tanah dan konfliknya menjadi kekuatan yang manis untuk terus dipelajari dan direkayasa mencapai jalan mengatasinya.
Berbeda lagi dengan laut. Di negeri minyak, laut dimaknai sebagai wilayah milik negara yang memberi kebebasan kepada rakyat untuk sebisa meungkin mengambil kekayaan yang ada di dalamya tanpa harus berebut wilayah, mewariskan lahan, bahkan memeliharanya karena mereka kira laut itu hadiah dari Tuhan semata. Untuk itulah kemudian dari wilayah yang tak berdampak konflik sosial itu dipahami dan dijadikan sederet alasan bahwa negeri minyak itu tak ada di daratan dimana sebuah pabrik besar berkelas kilang minyak akbar itu hanya akan menggodog minyak dari daerah lain. Minyak dari wilayah lain yang kualitasnya jelek itu tentu saja sulit dimasak di wilayah lain. Oleh karenanya menurut alas an mereka Kilang Minyak itu berdiri dan didirikan untuk menjawab semua kekurangan itu.
Isyu tersebut pun kemudian menjadi sasaran jitu. Hingga bertahun lamaya tak ada oaring yang pernah menggugat soal banyaknya titik pengeboran di tengah laut Jawa. Karena er yang mereka kira pipa-pipanya menerobos lurus ke bumi tanah laut itu tidak menyedot gumpalan minyak yang ada di bawah rumah dan pekarangan mereka. Orang-orang pun yang hanya bisa lalu lalang di daratan impian negeri minyak.
Tak pelak akibat termakan isyue kegersangan, isyue kemiskinan, isyue ketakbenaran itu lahan-lahan kering bermunculan sebagai penyebab sirnanya kesuburan dari pemikiran orang-orang yang larut dalam impiannya yang gagal. Tak pelak pula kemudian mereka menjadi petani yang gagal di lahannya sendiri yang sekejap berubah jadi neraka hidupnya. Maka tinggal anak-anak wanitanya yang jadi harapan. Sedang anak-anak laki-laki dari wilayah daratan itu dibiarkan meliar dalam lumpur sungai dan terus bermain pasir diantara tamparan gelombang yang menekan pemahamannya untuk tidak bisa mengecap pemahaman jauh dengan sarana pendidikan yang memadai.
Mereka para wanitanya itu kemudian menjadi masyarakat perantau, pejuang keluarga. Ujung tombak, harapan dan impian indah bagi nasib orang tuanya. Bahkan anak perempuannya sengaja direlakan pergi dari rumah cinta dengan upaya mengembalikan lahan pertanian dan tambak-tambak yang tergadai. Semata untuk tujuan mencipta jalanan yang tepat untuk tujuan menjadi majikan. Bukan buruh tani atau orang-oranng cecunguk yang bertekuk lutut pada tuan tanah juga orang-orang kaya itu. Untuk itu mereka pasrahkan nasib pada gumpalan nasib dan warna-warna minyak yang dibaurkan pada tubuhnya berbaur dalam sejarah panjang. Dari evolusi bumi itu sendiri membentuk sederet perjalanan yang diabadikan dengan sepenuh keprihatianan Ta kepentingan pribadi.
Afin Rianto pun kemudian mencoba mevisualisasikan pengalaman batinnya. Ia memang saksi di kedua wilayah gagas dan arah kamera dirinya itu. Kesadaran diri di dua pintu itu dimaknai sebagaimana warga negeri minyak yang mewakili masyarakat daratan, lalu menyimpannya dalam benak dan fikir. Ia dalam hal ini bisa disebut seorang yang memahami kulit dan isinya. Ia menjadi sangat tahu warna dan filosofinya. Ia Afin Riyanto pemotret lingkungan dengan kekuatan sejarah minyak dan carut marut perkembangan sosial yang menyelimuti pikirannya. Maka munculah duri-duri juga wajah ikan-ikan purba yang penuh misteri dengan pencantuman simbol-simbol waktu, ukuran, bahkan kedalaman makna diluar itu semua.
Afin Riyanto melalui 2 karyanya di Pameran Seni Lukis “Romantisme Negeri Minyak” seperti hendak menjastifikasi semua persoalan yang mencengkeruk pikiran-pikirannya, sehingga bisa mewakili dua kekuatan yang berperang di dalam dirinya. Ia bisa menjadi pemotret diwilayah sosial yang dikorbankan dan ia juga bisa menjadi pelaku yang ada di wilayah kelembagaan yang selalu berusaha semaksimal mungkin bekerja dan berbuat agar terlepas dari semua dampak social. Apalagi jika dampaknya itu bakal meruggikan perusahaan dari wilayah negeri minyak itu sendiri.
Afin Riyanto ada kecendrungan melakukan kesengajaan. Atau setidaknya telah mengawali gagasan menuangkan pipa-pipa yang dipilih sebagai obyek visual itu bermunculan dari pikirannya hingga tertuang di atas kanvas. Namun bukan berarti dari pipa-pipa itu dapat berdiri sendiri. Hal ini karena tanpa melihat perjalanan karyanya yang menceritakan perjalanan panjang proses pembentukan bumi dan evolusi alam, sehingga kemundian terbentuk sejarah miyak yang terpendam dalam lapisan bumi ini.
Lalu ada apakah gerangan dengan pipa-pipa yang divisualan oleh Afin Riyanto dalam kanvasnya yang berukuran 150x 150 cm? Mengapa ada penegasan obyek dan tiba-tiba ‘pelek’ kendaraan itu melintas di derasnya aliran minyak yang suaranya terdengar keras menerobos saluran pipa-pipa(lihat ‘ZERO’). Lalu mengapa ada sebuah kondom yang menggelantung di sebuah pipa yang dibiarkan terbuka di luar lekukan arus deras misterinya (lihat ‘Turn Around’). Dari dua Misteri yang ditawarkan Afin Riyanto nuansa puitika yang kental itu serasa telah mewakili Antologi Puisi “Romantisme Negeri Minyak” dan Pameran Seni lukis yang digelar Formasi dan digagas oleh “Yohanto A Nugraha di perhelatan 8 -11 Juli lalu itu.
Mudah-mudahan perjalanan Panjang Afin Riyanto yang dalam waktu dekat ini juga akan ikut serta meramaikan pameran seni lukis di Yogyakarta dapat semakin mengkristalkan apa dan bagaimana impian masyarakat Negeri Minyak di Bumi Wiralodra ini. Untuk kemudian bisa kita maknai bersama agar kelak lebih menglobal dalam wacan senirupa dunia, tidak sekedar menyuarakan keperihan dan keangkuhan Zaman. ***
NUROCHMAN SUDIBYO YS
Penulis adalah penonton Pameran Seni Rupa Indonesia dan seorang esais.
Komentar