ADA BANYAK BEDA PADA KREATIFITAS SENI OBROG RAMADHAN.
Suasana gayeng di Kota Yogyakarta jika ditilik selintas memang sama-sama tengah mendendangkan sebuah lagu. Dengan iringan musik sebagaimana seniman-seniwati di Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal dan Slawi, seniman di kota merekapun melakukannya. Persoaan yang menjadi pembeda adalah bagaimana para kreator menyajikan bentuk kreasinya itu.
Masyarakat Yogyakarta itu sebagian besar memiliki naluri kebersamaan dalam menjaga kota dan daerahnya menjadi bersih, indah dan begitu peduli pula menata lingkungannya masing-masing dengan nuansa artistik. Di Yogya untuk laku mengamen tidak perlu berkeliling muter-muter desa. Yang muter bertugas menentukan waktu itu boleh saja petugas siskamling yang memukul kentongan atau memukul tiang listrik dengan batu, sesuai jarum jam yang ada di pergelangan tangannya sebagai penanda waktu jelang sahur.
Di Kota Yogyakarta kita bisa menikmati musik sembari makan gudeg, minum teh manis dan nyeruput semangkuk dawet dengan nyaman dan aman. KIta bisa meliarkan mata clingak-clinguk ke berbagai arah melihat panorama malam yang sealu berubah. Suasana enjoy itu tidak ada yang mengganggu kenyamanan kita semisal ada tangan yang nyadong 'NGEMIS' atau tangan-tangan pengamen jalanan di kota lain. Yang disebut Pengamen di sana adalah seniman profesional yang berkarya dengan menunjukkan kemampuan dan karyanya itu di depan halayak orang bayak. Jadi bukan sembarang ngamen dan bukan sekedar ngamen.
Karena bentuk penyajiannya menempatkan diri seniman yang tertib dan bersih serta menghormati audien dengan bebas, otomatis dengan kesadaran penuh pula khalayak atau audiens yang menikmati sajian musik malam itu dengan suka rela memberikan tips untuk pertunjukannya. Jadi tidak ada unsur meminta dan memberi dengan terpaksa. Di Yogya pelaku seni dan penikmatnya sama-sama diuntungkan dan merasa puny posisi penting. Untuk itu Jangan disamakan dengan ngobrog yang dilakukan secara berkeliling sebagaimana yang terjadi d beberapa kota di daerah pantura. Jenis penampilan kreatifitas seni obrog di malam bulan puasa di Indramyu --sebagai contoh saja, adalah sesuatu yang khas dan memiliki kemenarikannya sendiri. Mereka para seniman berkreasi sepanjang malam dari setiap blok dan saling bertemu di jalanan, tanpa perseteruan. Mereka pun memang tidak langsung memperoleh bayaran. Namun akan dilakukan "acara ngunduh kasilan" itu pada saat jelang lebaran dan persis di hari rayanya. Kegiatannya berupa 'ngobrog' akhir dan secara sukarela masyarakat memberi beras, uang dan jaburan--jajanan. Kegiatan itu juga berbeda jika dibanding obrog itu pemusik yang berkeliling membangunkan sahur pada masyarakat Brebes, Tegal, Pemalang da Slawi Mereka degan kesadaran penuh melakukan ibadah bermusik berkeliling setiap jelang sahur dan murni tak pernah menagih janji apapun pada masyarakat yang dikelilinginya. Demikian perbedaan suasana Ramadhan di berbagai kota di Pantur dan di Togyakarta.*** Nurochan Sudibyo YS.
Suasana gayeng di Kota Yogyakarta jika ditilik selintas memang sama-sama tengah mendendangkan sebuah lagu. Dengan iringan musik sebagaimana seniman-seniwati di Indramayu, Cirebon, Brebes, Tegal dan Slawi, seniman di kota merekapun melakukannya. Persoaan yang menjadi pembeda adalah bagaimana para kreator menyajikan bentuk kreasinya itu.
Masyarakat Yogyakarta itu sebagian besar memiliki naluri kebersamaan dalam menjaga kota dan daerahnya menjadi bersih, indah dan begitu peduli pula menata lingkungannya masing-masing dengan nuansa artistik. Di Yogya untuk laku mengamen tidak perlu berkeliling muter-muter desa. Yang muter bertugas menentukan waktu itu boleh saja petugas siskamling yang memukul kentongan atau memukul tiang listrik dengan batu, sesuai jarum jam yang ada di pergelangan tangannya sebagai penanda waktu jelang sahur.
Di Kota Yogyakarta kita bisa menikmati musik sembari makan gudeg, minum teh manis dan nyeruput semangkuk dawet dengan nyaman dan aman. KIta bisa meliarkan mata clingak-clinguk ke berbagai arah melihat panorama malam yang sealu berubah. Suasana enjoy itu tidak ada yang mengganggu kenyamanan kita semisal ada tangan yang nyadong 'NGEMIS' atau tangan-tangan pengamen jalanan di kota lain. Yang disebut Pengamen di sana adalah seniman profesional yang berkarya dengan menunjukkan kemampuan dan karyanya itu di depan halayak orang bayak. Jadi bukan sembarang ngamen dan bukan sekedar ngamen.
Karena bentuk penyajiannya menempatkan diri seniman yang tertib dan bersih serta menghormati audien dengan bebas, otomatis dengan kesadaran penuh pula khalayak atau audiens yang menikmati sajian musik malam itu dengan suka rela memberikan tips untuk pertunjukannya. Jadi tidak ada unsur meminta dan memberi dengan terpaksa. Di Yogya pelaku seni dan penikmatnya sama-sama diuntungkan dan merasa puny posisi penting. Untuk itu Jangan disamakan dengan ngobrog yang dilakukan secara berkeliling sebagaimana yang terjadi d beberapa kota di daerah pantura. Jenis penampilan kreatifitas seni obrog di malam bulan puasa di Indramyu --sebagai contoh saja, adalah sesuatu yang khas dan memiliki kemenarikannya sendiri. Mereka para seniman berkreasi sepanjang malam dari setiap blok dan saling bertemu di jalanan, tanpa perseteruan. Mereka pun memang tidak langsung memperoleh bayaran. Namun akan dilakukan "acara ngunduh kasilan" itu pada saat jelang lebaran dan persis di hari rayanya. Kegiatannya berupa 'ngobrog' akhir dan secara sukarela masyarakat memberi beras, uang dan jaburan--jajanan. Kegiatan itu juga berbeda jika dibanding obrog itu pemusik yang berkeliling membangunkan sahur pada masyarakat Brebes, Tegal, Pemalang da Slawi Mereka degan kesadaran penuh melakukan ibadah bermusik berkeliling setiap jelang sahur dan murni tak pernah menagih janji apapun pada masyarakat yang dikelilinginya. Demikian perbedaan suasana Ramadhan di berbagai kota di Pantur dan di Togyakarta.*** Nurochan Sudibyo YS.
Komentar