Cerpen MASALAH RUMAH, YA SALAM Karya: Nurochman Sudibyo YS.

Three Horse Energic, acrilic on canvas,
45 x 45 Cm. by . Nurochman.

MASALAH RUMAH, YA SALAM
Cerita pendek: Nurochman Sudibyo YS.

“Gara-gara pindah rumah, rumah tangga Pak Harjo jadi berantakan. Kebahagiaan yang diimpikannya di hari tua pupus  sudah. Tiga anak gadisnya memang sudah beranjak dewasa. Tapi tak satupun membuat penyakit sesak nafasnya sembuh. Mereka tak semua mengenyam pendidikan SLTA. Dua diantaranya sudah menikah.Semuanya bermasalah. Yang bungsu belum selesai sekolah sudah bikin masalah. Ia terpikat lelaki berseragam coklat yang sudah beristri. Dada Pak Harjo pun bertambah sesak saja, karena salah seorang menantunya kedengaran masuk penjara terlibat kasus penipuan. Menantu yang pertama pun menghilang tak tentu rimbanya sewaktu melaut. Di ujung penderitaannya Harjo pun harus menelan sial.  Istrinya menghilang. Konon istrinya pergi bersama lelaki lain pindah rumah ke kota sebelah.”
Lelaki paruh baya itu kini merenung di bengkel sepeda motornya yang tak lagi melakukan aktifitas. Ia membiarkan rambutnya nggimbal dan uban di kepalanya penuh debu juga ketombe. Badannya kian menyusut bertambah kurus. Berkali ia pandangi sepeda motor bekas pakai pembantunya. Meski bermerek, tetap saja tidak bisa dibilang layak tampil. Maklum saja produksi tahun Sembilan puluhan dan sudah sering ikut manjikannya jatuh bangun.
Sembari memegangi dadanya lelaki yang dikenal bernama Harjo itu melirik ke arah rumah baru sebelah bengkel kebanggaannya. “Rumah ini dari luar tampak megah dan mewah. Tapi penghuninya sekarang entah pada kemana. Aku ditinggal sendiri, meratapi nasib yang tak pasti”. Demikian ia terus melamun dan memikirkan nasibnya. Ramadhan tahun ini baginya tidak seindah tahun-tahun yang lalu.
Pak Harjo memang harus menerima nasibnya sendiri. Dalam benaknya memang  masih tumbuh keyakinannya sebagai seorng lelaki. Tentu saja lelaki gagah yang empat puluh tahun lalu dikenal sebagai pemuda perlente, anak orang kaya di kotanya. Ia cukup disegani karena kedua orangtunya memiliki jabatan penting. Ia pun ingat ketika muda hidupnya penuh foya-foya. Jika uang jajannya habis, dan kedua orangtuanya tidak lagi mencukupinya, maka ia tak segan mencuri uang ayahnya di laci meja, atau membongkar isi lemari ibunya. Ia memang gemar sekali mencuri emas permata kesayangan ibunya. Ia pun gembira karena selalu luput dari tuduhan. Hal itu tentu saja karena ia pandai berkilah dan bersumpah. Kalupun sampai  kepergok ia tak segan melempar dosa pada anggota keluarga yang lain. Kalu ibu dan bapaknya tak percaya keduanya dibawa ke seorang  dukun teman dekatnya yang dipasang sebagai mitra sandiwara dalam kehidupannya.
Pengalaman mudanya yang nakal, selalu pongah dan sombong menjadikan kedua orangtuanya kebingungan. Tak pelak muncul gagasan kedua orangtuanya agar Harjo dikawinkan. Dipilihlah anak seorang juragan perahu di sudut desa yang tak jauh dari kota. Wanita pilihan orang tuannya itu memang juga pilihan hatinya. Selain cantik, ia cukup simpatik dan membahagiakan kedua orang tua dan mertuanya. Bagaimana orangtuanya tidak bahagia, punya menantu anak pejabat, meski hnya pegawai negeri rendahan, namun jabatannya tidak kalah penting. Ia sopir pribadi pejabat tinggi negeri bahari.
Melihat perkembangan nasib anaknya yang berubah kedua orang tua Harjo pun  bungah. Mereka kemudian mulai konsentrasi mengembangkan usaha, jabatan dan memperkuat ekonomi keluarganya dengan mengutamakan perkembangan perkuliahan kedua  anaknya di Bandung. Dua adik Pak Harjo ini semula memang tak sempat terpantau karena konsentrasi nya pada kehidupan Harjo.
Buah dari perkawinannya dengan Suminih, Harjo dikaruniai 3 orang anak. Setelah lima belas tahun berkeluarg, Ia memiliki seorang gadis yang manis dan jadi kesayangan ibunya serta  dua orang anak lelaki yang tak kalah gagah dengan bapaknya. Mereka hidup cukup bahagia. Apalagi manakala orangtua Harjo, kemudian memberi dua buah perahu untuk penambah biaya kehidupan mereka. Utamanya guna mencukupi biaya sekolah dan kebutuhan hidup ketiga anaknya.
Dalam pertengahan perjalanan kehidupan rumahtangga Harjo bersama Suminih, tak kuat diterpa badai. Merekapun akhirnya  berpisah. Jika ditimang-timang persoalannya tak jauh-jauh karena rumah. Ya, rumah. Bagaimana pun karena rumah tangga sudah berjalan mendekati dua puluh tahun namun mereka tidak terbetik untuk tinggal mandiri. Keasyikan hidup bersama kedua orangtua mengakibatkan ekonomi Pak Harjo morat-marit. Ia mulai kejepit hutang, hobinya berjudi membuatnya lupa pada pekerjaan kantor. Lama kelamaan ia pun kena skors tidak mendapat jabatan. Karena tak memiliki tugas apapun di kantornya, kebiasaanya semakin menggila. Selain hoby berjudi,  jarang pulang ke rumah pula. Dua perahu pemberian orangtua nya tak lagi diurus. Lama-kelamaan perahu pun dijual oleh mertu lelakinya. Itu karena ia sudah banyak menangung hutang Harjo dan keluarganya. Berkali mertuanya menjadi ujung tombok.
Kondisi Pak Harjo kian parah. Ia tidak berani pulang ke rumah karena telah jatuh miskin dan mulai sakit sesak nafas dan bertambah parah. Konon tiga anaknya pun tak lagi sekolah. Yang perepuan tinggal di rumah. Dua anak lelakinya yang masih kecil mulai ikut melaut belajar mempertahankan hidup bersama kakeknya. Pak Harjo tidak peduli. Ia berusaha bangkit dan berjalan mencari perubahan. Tak disangka dijalan ia bertemu dengan seorang wanita yang tengah menangis di ujung malam. Perempuan itu didekatinya lalu diajaknya bicara. “Kenapa engkau menangis dik?” Tanya Harjo yang langsung  bernafsu mendekati perempuan bertubuh tinggi dan seksi seperti artis di film India.
“Saya Minah mas. Tolong saya ya mas. Saya janji akan berikan apa saja, termasuk harta saya jika mas dapat menolong saya,” ujarnya merajuk.
“Aku harus menolong bagaimana, Minah?”
“Tolong antar aku pulang dan katakan pada kedua orangtuanku kaulah lelaki yang akan mengawiniku, karena aku memang harus segera menikah mas. Jika tidak… “
“Jika tidak, memangnya kenapa, Minah? Dan kenapa harus aku?”
“Jika tidak segera kau kawini aku, maka keluargaku akan mendapat malu. Karena dalam perutku tengah mengandung seorang anak. Aku tak mau menggugurkannya. Aku sudah melewati masalalu yang berdosa, masa aku harus berlaku kejam untuk menggugurkannya, kau pasti tidak setuju janin dalam perut ini mati kan mas…tolong aku ya mas. Aku siap mengabulkan apa saja yang mas mau, asalkan mas juga mau mengatakan pada orangtuaku;  siap mengawiniku sebagai lelaki yang bertanggungawab,” mendengar penuturan Minah, Harjo pun merenung. Satu sisi nasibnya memang sedang tak beruntung, kalau menerima tawaran Minah, ia bakal berhadapan dengan masalah besar pula. Tapi setelah mendengar tawaran bakal diperolehnya uang yang banyak dan dijanjikan bekerja di tempat yang enak, ditambah akan diberi modal untuk usaha sambilan, tawaran inilah yang menggiurkannya. Setelah menimbang-nimbang Harjo pun siap memenuhi apa yang diinginkan Minah. Mereka pun malam itu juga bersama menghadap kedua orang tua Minah.
            Di malam gelap tanpa bayang rembulan, Minah dan Harjo pun menikah secara agama. Pilihan ini karena posisinya sudah memiliki keluarga. Namun demikian Minah ternyata juga tidak bohong. Apa yang dijanjikannya pada Harjo pun direalisasikannya. Selain harta benda berupa kendaraan roda dua terbaru, Harjo dipercaya mengurus kendaraan roda empat bermerek, bahkan jabatan dan kebutuhan uang selalu tercukupi.
Untuk sementara Harjo, bisa kembali ke tengah keluarganya. Suminih yang sudah hampir enam bulan ditinggal suami yang dicintainya, kembali tersenyum, Apalagi setelah melihat kehadiran Harjo dengan tampilan bertambah gagah. Harjo setiap hari hadir dengan mobil mewah, pakaian rapih dan aroma wangi farhumnya bergonta-ganti. Sayangnya kehadiran Harjo tak seperti dulu lagi. Siang hari Harjo menyempatkan bersma Suminih dan anak-anaknya sebagaimana mobil elf yang mampir sebentar di terminal. Malam harinya selalu saja ada alasan tugas keluar atau ada lemburan.
Kondisi seperti itu tidak berlangsung lama. Suminih lama-kelamaan tahu dari berbagai teman dan tetangga yang kerap kali bertemu dengannya. Khabar suaminya telah kawin lagi kian menjadi-jadi. Kekuatan emosinya tak bisa dibendung. Suminih pun akhirnya menerima saja saat dicerai Harjo. Konflik dan posisi ini memang  sangat diharapkan oleh Minah. Karena ia pun  berhasil merebut Harjo, posisinya kini selain menjadi istri resmi Harjo juga kian aman sebagai kekasih gelap pejabat tinggi di kotanya. Dengan perubahan status Harjo ia bisa dengan mudah menentukan arah. Setelah kehamilannya makin tua, Harjo lah yang sibuk mengurus semua itu. Minah senang melihat Harjo bersemangat menerima kehadiran anak yang dilahirkannya. Meski bukan buah dari cintanya, Harjo ingin menunjukkan rasa terima kasihnya pada Minah. Maklum saja, karena selama proses kelahira anaknya,  Minah dipandang telah memperbaiki kondisi ekonominya. Apalagi saat Minah baru saja melahirkan anaknya. Rejekinya kian bertambah.  Banyak  hadiah  di kirim beberapa utusan bermonil mewah dan juga dari berbagai relasi dan pimpinan kantornya.
Harjo-lah orang pertama merasakan kebahagiaan dari limpahan rizki itu. Minah hanya tersenyum saja melihat Harjo tampak bahagia. Dalam hatinya, ia pun berfikir: “Laki-laki ini sungguh dungu sekali. Mana mungkin aku menjadi sumi sungguhanmu. Sudah pemalas, bodoh dan dungu pula. Akan kumanfaatan saja kedunguan lelaki ini sebagai bemper langkahku untuk terus melancarkan dendam kesumatku. Ya aku mendendam pada lelaki kaya. Aaku dan Ibuku perih dan menderita gara-gara pernah menjadi korban kehidupan lelaki kaya. Mereka rata-rata tidak setia dan tega menyakiti kami. Sekarang akan kutundukkan semua lelaki kaya di negeri ini. Dan, akan kukeruk harta bendanya. Sedangkan untuk menjaga semua kekayaanku itu segaja kuperbudak si dungu Harjo,  untuk mengurus anak-anak dan harta bendaku. Sampai kapan? Tentu saja terserah aku mau!” ujar Minah yang masih berlaku sebagaimana ketiga anak perempuannya. Ia selalu tampil cantik, seksi dan berdandan sebagaimana perempuan tak bersuami. Hingga ketiga anak perempuannya dewasa dan Harjo pensiun sebagai PNS.
Pada awalnya Harjo masih bersahaja saat diberi sarana bengkel motor sebagai sarana kegiatan yang pada intinya agar ia  tidak bisa pergi kemana-mana. Namun bertambah hari-Minah kian bertambah kesal saja. Harjo dianggapnya sudah tidak bermanfaat lagi. Kebutuhan obatnya sudah terlampau tinggi. Tidak cukup bisa dibagi dari jumlah sisa pensiunnya. Harjo pun dipandang tak mampu lagi mengerjakan usaha bengkel. Penyakitnya pun bertambah parah.  Minah malas memikirkan Harjo, hanya satu dibenaknya; ingin mengusir Harjo pelan-pelan.
Mka direncanakanlah sandiwara besar jilid akhir. Rumah besar yang dibangun dari penjualan rumah Harjo sudah dilakukan Minah dengan mulus. Alasannya masuk akal; untuk biaya pengobatan dan sisanya guna menambah biaya pembangunan rumah baru yang mewah di kapling sebelah yang sudah bersertifikat atas nama Minah Binti Dulatip. Selanjutnya Harjo hanya berhak  memegang kunci rumah. Kalaupun mau ia boleh menikmati apa saja yang ada di  rumah itu. Memasak sendiri, nonton TV atau duduk menyepi. Tapi itu pun tidak berlangsung lama. Karena rumah baru yang ditempatinya itu kini berubah seperti neraka.
Sejak pindah ke rumah baru, Harjo  tidak  merasakan kebahagiaan. Jangankan tawa- canda, kasih sayangpun sudah hilang. Anak-anaknya kerap datang dan pergi seenak hati sembari bergonta-ganti lelaki. Demikian juga istrinya kini berani terang-terangan di hadapannya membawa macam-macam lelaki, ia diacuhkannya laksana seorang juru kunci. Ya juru kunci rumah yang kian hari kian bertambah parah. Setelah ditinggal anggota keluarganya, Harjo kian parah. Beberapa isi rumah telah dijual untuk makan dan membeli obat penawar sakit nafasnya.   
Dalam lamunannya pak Harjo tertidur di depan begkel yang sudah setengah tahun tutup total. Dalam tidurnya ia bermimpi. Mimpi yang membuat jiwanya tambah terguncang. Ia melihat Mantan Istrinya Suminih tengah bersujud di sebuah masjid yang besar. Dalam sholatnya ia tampak khusu menikmati ibadah sholat subuh bersama suaminya yang shaleh. Sementara ketiga anak-anaknya yang sudah dua puluh tahun tak dipikirknnya itu kini dengan tersenyum bahagia berdoa dibelakangnya. Mereka sepertinya ada di sebuah negeri yang bercahaya. Neneri yang terang benderang dipenuhi suara anak-anak mengaji. Suara takbir, takmid dan tahlil.Sementara Harjo yang tengah tersadar dari lamunannya justru kaget karena di hadapan rumahnya telah berkumpul banyak orang. Aneh ada keranda di samping depan rumah. Harjo terus melangkah dan tak ada yang peduli dengan dirinya. Ia makin  kaget saja karena di dalam rumah mewah miliknya itu ada sesosok tubuh tak bernyawa yang sudah dikafani dan siap disembahyangkan. Ia tidak samar dengan penglihatannya. Ia tahu siapa yang tengah terkujur kaku di pembaringan dengan hidung disumbat kapas putih itu. Wajahnya masih bersedih. Wajah yang selalu ada dalam cermin Harjo. Ia adalah Harjo lelaki naas yang tak kuat lagi membeli obat sesak nafas.
***
           







Nurochman Sudibyo YS.  Sekretariat Komunitas Asah Manah & Rumah Baca & Menuis Kreatif di Gang Sadewo No.22 Rt 02 RW.04,Dukuh Sabrang, Kelurahan Pangkah Kec. Pangkah Kabupaten Tegal: Mobile: HP.085224507144 – 087828983673. E-mail:   nurochmansudibyoys@yahoo.co.id, Rekening :  a/n Diah Setyowati, BANK MANDIRI KCP TEGAL SUDIRMAN 13901.  No. 139-00-1063776-1


Komentar