SONG FOR TOGETHER, oil on canvas 120 x 150 Cm. By Nurochman
Frice : 20.000.000,-
Anak
Buaya Laut Utara
Cerpen : Nurochman
Sudiyo YS.
Semua
mata bersaksi atas peristiwa pagi poranda di pantai purwa. Ada 150 gubug atap rumbia rusak parah.
Jembatan bambu perantara pusat desa dengan padukuhan lainnya, semalam hilang terbawa arus. Tak ada sisa
pohon yang tegak untuk menahan amuk laut
yang setiap waktu bisa datang kembali. Di sana sini kumuh, rungseb dan
berantakan. Suasana padukuhan sangat kotor, dan menjijikan.
Entah
dari mana datangnya ratusan burung pemakan bangkai. Mereka serbu, desa tua itu.
Warna sayapnya hitam, berputar-putar di langit sepanjang pantai. Mata dan
cucuknya mengancam, serasa ada nyawa yang dinanti. Hawa dingin, amis laut dan
bau karat merekat disana-sini. Siapapun orangnya tak bakal mampu menghindar,
kontan dalam perutnya muncul rasa enek kepingin muntah. Hanya hidung orang yang
disumpal atau yang sudah terbiasa menghisap bau bangkai yang tidak bisa mual
dan tidak ingin muntah, jika
berlama-lama di tempat sekarat seperti ini.
Udara
di atas bumi Muara Angin tetap dingin, peristiwa semalam menjadi pengalaman
yang dahsyat dalam hidupnya. Diantara mereka mengira telah datang kiamat. Tak
ada seorangpun yang luput jadi korban bencana. Kalaulah diri mereka selamat,
tubuhnya penuh luka, patah tulang, dan rasa sakit yang amat dalam. Belum lagi
harta benda yang ditimbun sepanjang usia, sirna hilang tanpa krana. Padahal
waktu itu warga tengah nyenyak bermimpi dalam tidurnya. Malam gaduh petaka itu
dihentak rasa sakit, Tubuh mereka yang
renta dipermainkan bagaikan dolanan anak-anak.
Berdasarkan pengakuan saksi mata atas kejadian tersebut,
diantara mereka ada yang terbawa ombak, bahkan lebih tinggi lagi seperti
diterbangkan angin. Kesadaraan pun muncul setelah badai besar itu dengan
sekejap pergi. Kala itu menjelang datang subuh setelah potongan pohon-pohon di
pesisir menghantam satu persatu dan mengenai tubuh warga Muara Angin. Mereka
bergantian tersadar oleh peristiwa yang menimpa dirinya.
“Phuah,
hoook,….. wbhoooohokkkk, bbbbwah……., och….., och….!” Suara lelaki dengan usia
diatas 70 an tahun, menunggingkan wajahnya di bawah pohon bakau. Ia seperti
tak kuat mengangkat tubuhnya. Bau amis
darah, karat laut, dan kotoran menyiksa tubuhnya. Hingga isi perutnya pun
kekeluar. Namapak dari mulutnya keluar cairan kuning, ikan pingsan, daun bakau,
potongan kayu mangrouf, dan uang recehan….baunya sampai menyengat hidung.
“Bangun,
kek! Cepat minum air ini, hangat kok. Lumayan untuk memulihkan tenagamu,”
Seorang lelaki muda dengan pakaian seragam organisasi kasih sayang, berusaha
membangunkannya. Si kakek renta itu pun terbangun dari tindihan bongkahan
ikatan bambu.
“Och…..
den, kau!, och……ini, . Och….oooo…. sakit sekali, badanku!,” Si kakek pun terbangun dari reruntuhan
rumahnya sendiri. Untung ada sisa tenaga yang membantu pak tua agar selamat
dari sisa petaka semalam.
“Kami
membawa bala bantuan dan sumbangan untuk mengembaikan kondisi masyarakat di
sini, termasuk bapak,” ucap Anak muda berpakaian putih bersih didampingi
dua pengawalnya yang garang.
Pak
tua diam saja. Dia tak mampu berkata kata lagi, selain tertunduk, bisu. Lalu ia
pergi tertatih, tatih, meninggalkan pria perlente yang berusaha menjelaskan
duduk pesoalan atas kehadirannya di desa tersebut.
Sejak
hari itu, Muara Angin menjadi desa yang sibuk. Di sana-sini didirikan tenda
darurat. Cukup banyak anak wanita berpakaian putih-putih mondar-mandir,
menolong warga yang sakit. Sementara di pojok lain kalangan pandu dan kelompok
pemuda sukarelawan memasak makanan, semacam memperlihatkan kelompok muda yang
menjadi pusat pengelolaan bantuan pangan. Sebuah tenda besar dijadikan arena
makan bareng mereka.
Para
tamu, pemerhati, dan yang bermaksud mengunjungi tempat bencana melakukan
pertemuan dan bertransaksi secara administrasi di tempat ini. Hampir tak
melibatkan seorang pun anggota masyarakat yang terkena bencana, padahal bencana
yang menimpa mereka adalah penyebab hadirnya pihak luar di desa tersebut.
Laksana
pasukan yang dipimpin Arjuna dan Srikandi, para ksatria berbahagia menjadi
warga pendatang dengan bendera “Sang jiwa Kasih Sayang P enolong yang
Menyokong”.
Hari
itu juga, Truk-truk besar berdatangan mengangkut bahan bangunan. Pemandangan
ini selain banyak mengundang perhatian penguasa setempat, juga warga kampung
lain. bahkan yang jauh dari kampung bencana tersebut. Berikutnya bantuan datang
dari berbagai daerah lain sebagai bentuk solidaritas dan bela sungkawa.
Banyak
perusahaan makanan dan penerbitan turun tangan langsung membagikan makanan
ringan, bahan makanan pokok, pakaian dan selimut. Wartawan televisi
memanfaatkan momen penderitaan rakyat itu untuk promo perusahaannya. Tokoh
masyarakat pun bermunculan datang dengan airmata, serta armada dukungan dana
dan bahan makanan bawaannya. Semua bantuan terkumpul di kepanitiaan yang
spontan terbentuk. Semua tokoh politik negeri memanfaatkan peristiwa tersebut
sembari memesan acara di stasiun-tv
swasta.
*
Sementara
warga nelayan Muara Angin yang selamat dari bencana semalam, justru asyik
dengan kebisuan mereka sembari membangkitkan kembali rumah hunian dan pagar
pekarangan mereka yang rusak berat.
Gara-gara peristiwa kemarin, mereka menjadi masyarakat pendiam. Sulit
diajak bicara bahkan sepertinya sangat trauma. Berkali pihak pamong desa
memberikan penjelasan. Tapi tidak ada senyum di wajah mereka, kecuali pandangan
yang kosong. Matanya melolong ke arah depan. Lalu mereka pergi membisu dan
pergi kembali ke halaman rumah mereka yang tengah dibenahi. Sesekali nampak
oleh kita warga yang nampak apatis itu
memandang ke arah laut. Entah apa yang disampaikan. Kekecewaan atau ketakutan
yang tak terungkap. Nyatanya mereka enggan mengungsi. Mereka tetap setia
berdiri di atas tanah pesisir.
“Pak
Dawud, sudahlah tak perlu kita sesali peristiwa yang terjadi. Mari kita bersama
benahi apa yang rusak, dan kita tata kembali agar di waktu yanga akan datang
tidak terjadi banyak korban seperti bencana sekarang ini,” ujar Lurah Parto.
Lelaki
bernama Dawud itu hanya menundukkan kepala. Ia mendengar semua yang dipaparkan
Pak lurah Parto. Berkali ditanya, berkali pula ia tak menjawab sepatah kata
pun. Matanya justru seperti terganggu dengan pemandangan baru di desanya yang
telah hancur. Dimana banyak anak-anak muda dari kota dan luar desa yang
mondar-mandir seperti terlihat sangat sibuk, namun entah apa yang disibukkan
oleh mereka.
Pa
Dawud pun semakin jelas dan banyak tahu apa yang telah dilakukan orang-orang
kota. Mereka telah memberikan keajaiban pada desanya. Mereka membuat tenda
untuk diri mereka sendiri. Mereka menghimpun seluruh bantuan yang dating dan
mengaturnya sendiri. Muara Angin serentak jadi sebuah kota darurat. Ada semacam
perkantoran yang membawahi datangnya semua bantuan. Tentu saja yang terlibat
adalah para sukarelawan dan petugas pamong. Ada pula divisi yang menangani
perbaikan jalan dan jembatan. Ada juga yang membuat dapur umum yang
mengintruksikan jadwal makan sehari tiga kali.
Lagi-lagi
tidak ada warga setempat yang terlibat. Mereka saling berkenalan satu dengan
lainnya. Tekadnya Cuma satu peduli pada bencana. Tak ada yang mengira kalau
diatara mereka tak seorangpun warga setempat dilibatkan. Atau selaku subyek
dari korban bencana yang memilukan itu sebagai sasaran utamanya.
Dalam
seminggu seluruh perkampungan Muara Angin berubah menjadi pedukuhan baru. Kendaraan dari kampung pedalaman
pesisir menuju kota masih terlihat ramai. Antara pengelola lahan bencana, pihak
penguasa dan para sukarelawan silih berganti datang dan pergi.
“Sudahlah
jagan dipikirkan apa yang mereka lakukan . mari kita manfatkan bantuan ini demi
kemaslahatan,” suatu malam dalam perbincangan antara petugas penerima dana
bantuan korban bencana. Keduanya sukarelawan yang beda pemahaman beda juga
tujuan.
“Maksud anda Apa? Kemaslahatan yang bagaimana? bukankah
sebaiknya kita bagi saja pada para penduduk korban bencana, dan kita lebihkan
sedikit untuk jasa jerih payah kita, dengan begitu kan cepat beres,”
“Mereka
tidak mau bos. Mereka menolak bantuan, menolak rejeki, dan ini fatal,
kalau didengar oleh kalangan pemerhati
sosial atau pihak yang telah menyumbang, kita selaku panitia, atas nama korban
bencana, hemmmmm ,,,artinya nama baik
panitia bisa tercemar. “
Lebih
baik kita manfaatkan saja demi kemaslahatan. Kitakan tahu mengurus negeri ini
tidak sendirian, jadi jangan takutlah degan berbagai praduga yang belum tentu
datangnya. Kini nikmati saja kopi luak ini. Sebentar lagi dari dapur umum kirim
makanan. Malam ini mereka akan menyajikan menu ala spageti. Kita kebanjiran mie
instan. Dan semua itu bisa kita sajikan dalam berbagai jenis masakan untuk
kerja kita melakukan upaya pemulihan bencana sampai kemudian pemerintah
mengumumkan batas akhirnya. Selesai bukan?”
“Sudahlah
kau nikmati semua itu, aku mau pergi sebentar. Ada yang perlu kupertimbangkan
untuk soal bagi hasil ini,’ lelaki sukarelawan muda ini agak ragu untuk terus
menerus menikmati makanan bantuan, sementara penduduk yang perlu dibantu malah
belum mau menerima bantuan makanan.
Mereka
berpisah di ujung malam. Kayu bakar masih menyala di tungku unggun. Beberapa
tenda masih bercahaya. Dikejauhan ada suara televisi mini yang dihidupkan.
Kalaupun suara yang dominan selain desir angin adalah jenset yang sudah cukup
lama digunakan sebagai pengganti listrik negara.
Lelaki
muda itu terus berjalan masuk ke kampung pasir Muara Angin, ia kembali mencoba
mengajak bicara masyarakat setempat yang sepertinya tak pernah tidur, selain
memandangi samudra semalam suntuk. Tangannya memang tidak diam. Mereka terus
menerus membenahi jaring dan alat tangkap ikan di laut yang masih tersisa.
Ketika ku ajak bicara soal laut dan ikan mereka tetap tak mau merespon.
Kalaupun kemudian mereka mau melirik, justru karena aku mulai menyalakan rokok
dan seperti biasa kutawari orang didekatku untuk mengambilnya. Ia ternyata mau
menerima tawaranku. Kunyalakan saja rokok yang sudah ada di bibirnya. Mereka
mulai memberi sedikit senyuman. Tapi bukan pula jawaban atas segala jenis
pertanyaan.
Pengalaman
semalam tentang rokok kuceritakan pada teman-teman sesama sukarelawan. Namun
sampai datang harinya, berita perkembangan psihis masyarakat korban bencana
yang mulai membaik, tak ada seorangpun peduli dengan kebutuhan pokok mereka.
Mereka diam karena panitia dan para sukarelawan asyik dengan kesibukannya.
Mereka tak tahu ada senyum yang tersembunyi dari apa yang dibutuhkan dan yang
tak pernah terpikirkan oleh masyarakat luar dan pemerintah sekalipun yang konon
peduli pada kondisi mereka.
Hari
berikutnya lelaki sukarelawan muda bernama Joko Singkir itu mulai mendapat
banyak pengetahuan dari keteguhan dan kesabaran masyarakat Muara Angin. Ia juga
diberi tahu perihal rusaknya biota laut juga sungai-sungai, karena sudah
terlalu banyak yang tak peduli dengan filosofi sungai. Menurut Pak Dawud
ikan-ikan di sungai telah mati. Nyawa kura-kura, lele, kutuk, betik, salem,
nila dan mujair sudah berpindah ke daratan. Begitu juga ular, lingsang, landak,
musang, biawak dan buaya yang biasanya masih bisa tertahan di sekitar muara
kini anak-anak mereka sudah bisa melaut dan menguasai Pantai Utara. ***
.
Nurochman Sudibyo YS.
Sekretariat Komunitas Asah Manah & Rumah Baca
& Menuis Kreatif di Gang Sadewo No.22 Rt 02 RW.04,Dukuh Sabrang, Kelurahan
Pangkah Kec. Pangkah Kabupaten Tegal: Mobile: HP.085224507144 – 087828983673.
E-mail: nurochmansudibyoys@yahoo.co.id, Rekening :
a/n Diah Setyowati, BANK MANDIRI KCP TEGAL SUDIRMAN 13901. No. 139-00-1063776-1
Komentar