CULTURAL EVEN KOTA CIREBON

Buktikan Konsep Perhelatan Budaya; NITI MANGSANE:
PENGUSAHA KIRIM PROPOSAL PADA SENIMAN
Teropong-News.Com * Catatan Perjalanan Seni Budaya orang Pantura dari sudut Celah Gatungan Goong Sebuah Panggung.

Sore itu selepas Asyar kutata ruang dudukku di deretan panggung berukuran kecil yang berisi tiga perangkat gamelan kraton ditambah seperangkat dari seniman sanggar. Sengaja kupilih duduk di dekat pengendang, agar terdengar lebih jelas suara troktok dan truktuk lirihnya sebagai penanda aku bisa bicara kelak disaat pentas Sendratari Rama-Shinta garapan Sanggar Puser Langit Cirebon, di puncak acara Cultur Even ini. Alhamdulillah kesehatan Dyah Setyawati yang beberapa hari lalu terganggu kini pulih kembali dan bias ikut bolak balik Tegal-Cirebon. Ia sudah mampu menyiapkan olah vokalnya sebagai narator asal Tegal dengan berbahasa Cirebon. Ini tentu saja sangat menantang untuknya. Apalagi pementasan akbar ini dilakukan dengan penuh keseriusan. Utamanya bertujuan sebagai gerakan mendukung kembalinya pamor Keraton Cirebon di mata rakyatnya.

Laptop sudah kusambungkan ke saluran listrik. Begitu juga lampu duduk yang sekali waktu bisa digunakan sebagai tindakan preventif manakala laptop bermasalah dan kami harus membacakan naskah narasi pagelaran tak bakal belepotan. Saat itu tidak ada waktu untuk cek mic yang bakal kami pakai berdua. Mungkin masih dihitung oleh krue sound percaya dengan konsep Gladi bersih kemarin. Meski aku tahu setiap saat akan datang sesuatu yang tak bisa disangka-sangka. Untungnya sudah kusiapkan dua mic yang sejak ‘gladi bersih’ ada di ujung dengkul. Maklum kami harus memposisikan duduk berdesakan dengan nayaga, dan peniup suling. Bahkan malamnya setelah berganti nayaga dari sanggar lain. Posisi kami bertambah sesak karena ada tambahan pesinden. Herannya penambahan ini pun tak dilarifikasikan dengan krue sound sehingga ia berhadapan dengan mic yang mati, setelah dipakai nayaga dari Kraton Kasepuan yang sebelumnya menampilkan Rampak Topeng “Kelana Gandrung”. Wal hasil sajian komposisi music, narasi, suling dan tembang pesinden tersendat oleh mic yang dihitung pas dan terkena pergeseran posisi pengendang yang membuat posisinya “makin lebar” karena menambahkan seorang penabuh genderang di sebelah kami. “Dengan mata melotot si tukang kendang mendesak agar kami berdua semakin minggir —untuk tidak mengtakan mengusir. Mungkin karena takut komposisi musik yang dipandunya terganggu. Dalam situasi hentakan emosi mata dan mulut pengendang yang tidak ada kompromi, apalagi punya kesadaran posisi dan tangungjawab dengan sebuah tujuan bersama itu. Aku hanya bisa berdoa sembari menahan marah besar karena baru mengalami dalam perhelatan ada seorang nayaga yang searogan ini.

Doaku seperti ini: “Ya Allah, aku hanya ingin acara ini sukses dan tak ada aral yang melintang. Tunjukan kesadaran paripurnaku agar diberi kesabaran yang linuwih. Biarkan emosi gasing si tukang kendang itu memelototkan mata setannya padaku —mungkin karena tengah keranjingan genderuwo, atau kurang sajen. Kalau tidak ya entah mengapa. Aku selalu saja dalam hidup mengahadapi cecoba yang aneh-aneh. Ya Allah jika dalam pelaksanaannya nanti terdapat kejanggalan dan gangguan, aku mohon terus diberi kemampuan untuk mengatasinya Ya Allah,” demikian kami berdua hanya ingin semua berjalan dengan semestinya. Kami telah melakukan perjalanan melelahkan ini, karena kami igin menujukan agar peristiwa seni budaya berlabel Cultural Even ini sukses sebagai bentuk kegiatan yang bisa dijadikan contoh. Pertama sebagai Bukti Pengusaha lokal dan nasional mulai mau mentradisikan mengajukan “Proposal” pada kreator, seniman dan para pelaku Seni Budaya yang dinilai mampu menggarap suatu bentuk peristiwa yang memiliki daya kejut dan kemenarikan, serta menguntungkan perusahaannya. Apalagi tempat kegiatan ini dipilih pada lokasi bersejarah seperti Kraton Kanoman sebagai salah satu kraton di Cirebon yang memiliki integritas tinggi memperjuangkan nilai-nilai sejarah, dunia seni budaya dan cagar budaya lainnya. Ini semua dimunculkan kembali dalam bentuk kecintaan warga yang kelak bisa jadi magnit pariwisata sepanjang masa. Jangan sampai ada kesan Kraton Cirebon kumuh, kurang urus, kotor, dan tidak nyaman untuk dikunjungi. Apalagi untuk menjadi obyek pariwisata yang bermuatan sejarah, seni dan budaya.

Benar saja prediksiku. Begitu datang malam harinya, dari bawah gantungan Goong di panggung gamelan yang gelap dan sumpek itu aku meyaksikan peristiwa yang tidak seperti biasanya. Kutulis dan kucatat semua kejadian di situ dalam benakku kelak waktunya kutulis di sini. Sebuah pengamatan sederhana dari sudut seorang yang hanya bias memainkan kameranya dari bawah gantungan goong. Tapi mudah mudahan ada manfaatnya bagi kita semua.

Pentama sekali kusaksikan dari pintu gerbang utama Kraton Kanoman, telah menyala sederet “damar sewu” yang terbuat dari bilah bambu dengan wadah minyak dari batok kelapa utuh. Dari situ cahaya yang mengepulkan aroma minyak tanah mengepul dari sumbu utamanya. Sedang setiap tonggak ‘dammar sewu’ itu berdiri tegak dalam ukuran semester setengahan yang di bagian bawahnya dibanduli pasir batu dalam kantong plastik sebagai pemberat. Sungguh kreatifitas yang mengesankan dan mengingatkan kita pada pesta perhelatan budaya keraton di masa silam.

Beberapa tamu undangan kemudian tampak mulai berdatangan. Diawali degan Hadirnya Sultan Kasepuan bersama keluarga besarnya. Disusul Sultan Kraton Kacirebonan diiring keluarga besarnya. Undangan yang lain mengikuti dari belakang. Setelah menulis di buku tamu mereka disambut para ponggawa dan abdi dalem Kraton Kanoman yang degan setia menjaga kewibawan. Kraton dan suasananya pun malam itu Nampak megah disulap menjadi mewah. Rombongan tamu undangan dipandu memasuki Kraton Kanoman. Sebelum dipersilahkan duduk di ruang bangsal Adiyaksa, mereka menyaksikan pameran foto di bangsal “Gajah Mungkur” dengan music iringan tarling klasik yang membahana. Apalagi iringan sayatan suara seruling dan tembang pesiden kala itu menyentuh rasa yang dalam. Sepertinya semua yang ada saat itu terbangun rasa kangennya pada Cirebon di masa lalu. Aku ikut bangga karena di tengah maju dan berkembangnya Kota Cirebon menjadi Kosmopolitan masih ada anak-anak muda yang dengan apik menjaga dan melestarikan seni Tarling Klasik di tengah hiruk pikuk industri lagu Dangdut Tarling yag dikumandangkan keseluruh negeri ini dengan dijuluki musik Tarling. Padahal itu Dangdut Tarling atau lagu Dangdut berbahasa Cirebon-Indramayu.

Waktu pun bergulir dengan cepat. Para Sultan Kraton Kasepuhan, Sultan Kacerbonan dan Sultan Kanoman melepas kekagenan dan menjalin keakraban dalam sajian jamuan teh dan panganan khas Cirebon. Irama Tembang tarling klasik, semakin menelisik halus dan kemudian menghilang. Dilanjut munculnya suara MC memberi komando dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan oleh Bang Dino Sahrudin dalam tuturan Bahasa Indonesia berlogat Cirebon. Semua hadirin dan para undangan yang tengah menyaksikan pameran foto “Mengenal Lebih Jauh Keberadaan Kraton Kanoman” itu kemudian, dipersilahkan menempati kursi yang dilengkapi meja bundar berhias bunga dengan sajian makanan, minuman juga rangkaian buah-buahan segar. Ada seratus meja bundar berhias dan telah ditata dengan nomor yang sudah dipesan sebelumnya dan diatur oleh panitia sehingga siapa yang duduk di sana sudah tertera dalam undangan secara rapih.

Selain para Sultan dan keluarganya yang duduk dibagian sekitar meja terdepan, duduk pula Ketua Yayasan Prima Ardiyantana; Bapak Imam Taufik dan Ibu Nani Imam Tofiq. Tak jauh dari situ Duduk Wali Kota Cirebon Drs. Ano Sutrisno bersama jajaran pemerintahannya. Hadir mewakili Dirjen Kebudayaan dan Cagar Budaya Kepada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat. Dan, dibelakangnya terdapat 250 lebih Turis mancanegara serta domestik yang hadir dalam acara penuh keakraban, sembari berfoto ria dengan sultan Cirebon, mereka juga dapat merasakan menu makan bareng bersama keluarga Kraton Kanoman dan Tokoh masyarakat Kota Cirebon diantara sajian pentas seni budaya khas Kota Cirebon produksi para seniman Kraton dan karya sanggar-sanggar sahabat Kraton Cirebon.

Malam pun kian larut. Usai foto bersama dan menikmati santap bareng sultan Cirebon, beberapa puluh wartawa elektronik dan fotografer sat itu mulai beraksi dari tempat yang disediakan di bawah rindang Beringin. Sementara pemandu acara telah membuka pagelaran malam itu diawali degan sambutan H. Imam Taufiq selaku Dewan Pembina Yayasan Prima Ardiyantana. Dilanjutkan sambutan tuan rumah dari Sultan Kanoman, Wali Kota Cirebon dan terakhir dri Kepala Dinas Pariwisata Jawa Barat. Diumumkan pula sederet sponsor utama dan pendukung yang telah menyeponsori kegiatan akbar tersebut.

Lampu di bawah tenda agung halaman Kraton Kanoman tiba-tiba redup. Musik dari Sudut panggung membahana. Lamat-lamat kepulan dray ice di panggung menerawang semakin besar ditimpali cahaya gemerlapan dan diatas panggung bermunculan puluhan penari lelaki tegap bersepatu hitam yang khas dengan kostum yang menekankan motif hias Cirebon “Mega Mendung“ sementara wajah mereka dipoles warna merah seperti wajah-wajah topeng penghibur. Lalu terdengar tambur bedug dibunyikan. Serempak gerakkan rampak penabuh bedug kecil yang diputar-putar di atas panggung menampilkan atraksi tersendiri sembari menari dan terus bergerak dalam irama bedug yang disusupi irama seruling juga teriakan kebersamaan. Sementara di atas bedug besar yang berjejer dibelakang diantara bedug paling besar yang menjadi bagaian artistic panggung akbar itu berdiri, sembari menari dan kadang memakai topeng kedok jenaka. Semua menyatu dalam irama RAMPAK BEDUG “OMBAK SEGARA” karya seniman dari Sanggar Sekar Pandan, binaan Elang Herry dan Elang Tomy penggagas kesenian dari keluarga Kraton Kanoman. Tepuk tangan dan sorak sorai hadirin menunjukkan betapa rampak bedug “Ombak Segara” yang dimaknai sebagai semangat menggelora ‘Wong Cerbon’ membangun Kotanya dengan irama pembangunan sosial, politik, juga sentuhan seni budaya. Hal ini menghasilkan garapan yang sangat memukau dan memiliki kekhasan pertunjukan malam itu. Sebagai bentuk kesenian pembuka tentunya menimbulkan keingintahuan audien seperti apa lagi pertunjukan berikutnya.

Usai beberapa acara tambahan yang membuat kesejukan malam itu tak bisa dilupakan, yaitu usai santap malam, pagelaran dilanjutkan dengan pentas “Tari Batik” persembahan dari Kraton Kacirebonan. Sembilan penari putri dari Kraton Kacirebonan bermunculan mengikuti irama suling dan gamelan yang khas. Sembari memamerkan gerak ritmik, mereka mempertunjukkan aktifitas pelestarian seni membatik yang dilakukan para seniman dan budayawan Kraton Kacirebonan. Gadis-gadis cantik ini mempertunjukan gerak para putri yang tengah membatik degan alunan gerak cantik serta komposisi yang indah dan menarik. Diperkuat dengan adegan puncak mereka memamerkan hasil kreatifitasnya saat membatik dengan menunjukkan beberapa motif BATIK CIREBON yang menonjolkan stylasi motif unggulan berupa ikon “Mega Mendung dan Wadasan”. Aneka corak dan warna batik klasik ini tetu saja sangat memukau hadirin. Salah satu bentuk kekayaan yang tiada taranya itu telah diungkap sebagai bagian dari kreatifitas seniman dan para pemikir seni di Cirebon. Utaanya dalam mengaktualisasikan nilai-nilai Batik Cirebon sebagai kerajinan seni yang sangat besar sumbangsihnya sekaligus menjadi magnit Kota Cirebon.

Berikutnya irama gamelan “agung” muncul membagun suasana yang lain. Musik yang digarap oleh nayaga binaan seniman besar Kraton Knoman dibawah asuhan Mama Patih, menghadirkan para penari cantik dan menawan. Gerak Tari “Putri Binangkit” ciptaan Kanjeg Sultan Kanoman ini sangat apik dan tersaji sedemikian mewah. Di atas panggung lebar itu para penari dengan senyum menawan menampilkan keindahan kostum putri kraton laksana “Bidadari yang turun dari lagit”. Sanggul penari yang berhiaskan rangkaian ‘melati merumbai’, malam itu, menaburkan aroma wangi yang khas. Sedang gerakan lembutnya laksana gerak tari “Bedaya Kraton” yang hanya boleh disaksikan dan dipergelarkan di dalam kraton saja. Tari “Putri Binangkit”, memang sengaja diciptakan Kanjeng Sultan Kanoman sebagai tarian yang kapan saja bisa ditunjukkan pada masyarakat banyak. Ini semua memberi makna bahwa putri kraton pun siap mendukung kebangkitan negerinya bersama rakyat. Semua untuk terus memperjuangkan kemakmuran dan kemaslahatan di tlatah Cirebon khususnya, dan untuk Indonesia pada Umumnya. “Putri Binangkit” seakan mencubit para audien yang malam itu tak berkedip menyaksikan cantik dan menariknya kepat lembut dan ukel kedut yang mereka variasikan lewat irama gamelan agung laksana ‘irama pesta’ para pembesar istana. Begitu sangat mengesankan dan tak mungkin terlupakan.

Selepas sajian itu, pemandu acara dalam pengendalian dua bahasa menyampaikan sebentuk pementasan dalam pagelaran Tari Rampak Topeng berjudul “Kelana Gandrung”. Tarian ini konon dikisahkan sebagai bentuk gairah cinta Rahwana yang gandrung pada Dewi Shinta. Tak pelak penonton malam hari itu dihentak semangat gerakan kompak para penari yang terdiri dari laki-laki dan perempuan binaan dari seniman Kraton Kasepuhan. Suara gendang yang menghentak dalam irama Gonjingan, membuat sajian rampak topeng yang ditarikan malam itu menjadi tontonan yag indah. Apalagi taburan lighting yang merah, kuning menyala diantara kepulan dray ice membuat tontonan malam itu menjadi sebentuk sajian yang mengasikkan. Barangali ini jug merupakan penanda sebuah pergerakan seniman Kota Cirebon. Gerakan Kelana yang menyimbolkan kekuasaan, keangkaramurkan dan puncak prestasi serta keberhasilan seseorang itu; diwujudkan dalam visualisasi Tahta, Harta dan wanita. “Kelana Gandrung” adalah puncak segala keimanan seseorang di dalam meraih jabatan. Sungguh bisa jadi simbol penting bagi manusia di dunia ini.

Lepas dari itu kesenyapan pun muncul. Tiba-tiba dari Pemandu acara dalam dua bahasa menuturkan bakal munculnya sajian puncak. Sebuah garapan Seni Drama dan Tari atau sendratari yang mengisahkan cerita RAMA dan SHINTA. Kisah cuplikan dari lakon Ramayana, yang terkenal sebagai epos dari India. Kita mengenal ada cuplikan yang sudah melekat dihati masyarakat Indonesia baik di panggung Wayang Purwa, Wayang Kulit, dan sendratari yang rutin dipentaskan di Prambanan, Bali dan anjungan Taman Mini Indonesia Indah. Jika kita mengenal lakon Rama Tabak, Lakon Anoman Obong, Lakon Kumbakarna Gugur, Lakon Sita Obong, dan Lakon Gugurnya Prabu Dasamuka atau yang dikenal dengan nama Rahwana alias Rahwana Raja sang penguasa Nagari Alengkadirja. Malam itu Sanggar Puser Langit Kota Cirebon Pimpinan sekaligus penyutradara pagelaran akbar ini Ponimin Surya Langit. Telah menyiapkan dengan sungguh-sungguh pagelaran penutup ini sebagai tontonan puncak yang digarap tidak main-main. Tidak heran jika dalam sebulan ia harus bolak-balik Yogya, Bandung, Tegal dan Jakarta untuk mengkoordinasikan garapannya pada semua pendukungnya.
Menurutnya secara konsepsi pagelaran sendratari sudah menjadi ciri khasnya dan dalam dekade sepuluh tahun terakhir ini harus diakui; hanya sanggar Puser Langit satu-satunya yang memiliki porsi pementasan sedratari di Cirebon. Tidaklah heran jika ia selalu memperoleh kepercayaan besar untuk menggarap pementasan ini di beberapa kota. “Konsep saya sederhana saja. Minangkane sebuah sanggar yang bisa dimaknai sebagaimana club sepak bola dunia. Untuk menyajikan suatu karya yang bagus ya sebagaimana Barcelona, Juventus, AC Milan dan lainnya yang didukung oleh para pemain unggulan berkelas nasional. Hal ini tentu saja mahal. Apalagi untuk Sendratari “Rama Shinta” ini, kami menggunakan 3 jenis kostum baik untuk latihan, gladi kotor, gladi bersih dan di saat pementasan. Ini semua berkualitas nasional dan internasioanal. Jadi kami harus menyajikan yang terbaik. Tidaklah mengherankan jika dalam bentuk penampilannya kami mengkolaborasikan warna irama gamelan yang tetap kental gaya Cirebonan, Penuturan vocal narator yang bergaya dalang Cirebon, serta artistik dan gerak yang menunjukkan bahwa sumua itu karya seniman Cirebon yang berkelas Nasional. Apalagi para penari pendukungnya pun semua berkelas nasional,” tuturnya dan semua itu dibuktikan oleh Ponimin hingga usai kegiatan. Ia memperoleh aplaus besar dari berbagai kalangan termasuk Sultan Cirebon, Walikota Cirebon dan Ketua Yayasan Prima Adriantana juga dari para seniman yang dengan guyub malam menyatu padu, mencurahkan perhatian besarnya agar segera kembalinya “Pamor Kraton Cirebon, Khususya Kraton Kanoman, sebagai pusat seni dan kebudayan di Cirebon.

Dari catatan saya yang sekaligus mengantar pagelaran akbar ini, juga dari bawah gantungan sebuah Goong besar, saat itu saya sangat menaruh harapan besar pada sanggar Puser Langit pimpinan Mas Ponimin. Karena setelah Handoyo Yuli, hanya seorang Ponimin di Cirebon yang berani mengaktualkan kembali nilai-nilai sejarah dan cerita legenda juga kisah wayang dalam garapan sendratari. Soal kostumnya ‘tidak nyirebon’ (demikian kritik seseorang penonton) menurutku karena selama ini belum pernah ada sendratari seperti yang digagas di Cirebon sebagai ciri khas. Pasalnya kalau saja dipaksakan menggunakan batik Cirebon ya akan ‘wagu’ --kurangpas. Kecuali Pagelaran sejenis yang dipergelarkan oleh Ponimin ini sudah berjalan beratus kali dan dalam sejarah kesenian Cirebon dibakukan sebagai Bentuk kesenian Rutin yang dipentaskan setiap “Malam Jumat Kliwon” --misalnya. Sebagaimana di Prambanan Yogyakarta dipentaskan setiap malam bulan purnama. Hal itu akan menjadi kewajaran dan mungkin abkal melahirkan perda kostum sendratari di Ranah Cirebon.

Pada intinya pagelaran Sendratari “Rama Shinta” oleh sutradara Ponimin Surya Lagit bersama empat puluh lima personilnya termasuk nayaga. Telah membuktikan bahwa ia adalah sosok seniman paling nyentrik dan menarik serta selalu dinanti kreatifitasnya. Dengan gayanya yang eksentrik itu tentu saja kian memacu berbagai pihak swasta untuk mengajukan proposal padanya agar dibuatkan sajian peristiwa budaya yang berdenyut magnit besar dan membawa kemenarikkan tunggal yang bisa dikenang dan terasa kekal dalam ingatan.

Jerih payah Sutradara sendratari nyentrik Ponimin Surya Langit menghadirkan sederet artis Unggulan berkwalitas nasional seperti; Eko cs dari Yogya, Wergul W Darkum Indramayu, Darto Majalengka, H. Taufiq Belawa Kabupaten Cirebon, Abas Pitulas Kota Cirebon, Dyah Setyawati dan Ki Tapa Kelana dari Tegal beserta puluhan penari dan nayaga juga pesinden kebanggan Cirebon lainnya membuktikan apa yang digagasnya tidak bisa asal ditebak-tebak. Karena bentuk tari yang stagnan itu merupakan karya seni hafalan. Sedang Sendratari meski diperlukan latihan, komposisi, bentuk garapan dan beberapa adegan pendukung lainnya, yang paling penting adalah lahirnya sebentuk kesadaran dari seluruh pendukungnya. Yaitu kesadaran ruang, kesadaran diri kesadaran pada konsekwensi sebuah garapan. Dalam bangunan sebuah cerita yang mengalir memiliki pengaruh, dari berbagai ruang, dimensi, cuaca, sitasi, kondisi dan aspek lainnya selain dari komponen sound, lampu, artistic, kostum, mic up juga unsur music, narasi, tiupan suling penyelaras dan tembang sinden yang antara satu dan lainnya tidak bisa berdiri sendiri. Apalagi ada yang ikut bergaya arogan sebagaimana sutradara mendidik anak binaannya, tanpa dibekali psikologi latar pendidikan dan pergaulan yang sepadan.

Memang tidak tanggung-tanggung Yayasan Prima Adriatana merealisasikan gagasannya ini telah menghabiskan milyaran rupiah. Tak heran jika banyak sponsor yang ikut mendukung di dalamnya. Pihak Kraton Kanoman pun merasabangga dengan perhatian pengusaha daerah seperti Bu Nani Imam Taufik dan suaninya yang peduli pada nilai-nilai budaya luhur kraton juga seni dan budayanya. Bahkan Yayasan tersebut telah menyumbangkan biaya pemugaran Kraton agar ditata menjadi kraton yang representative. Dimana kemudian kapan saja waktunya Kraton Kanoman dapat menyelenggarakan even internasional dan even-even seni budaya local lainnya. Tetu saja selain pengecatan, penambahan artistik, taman serta asesoris di setiap sudut, Kraton Kanoman juga menata ruang toilet dengan fasilitas berkelas iternasional dan gaya kamar mandi lokal. Belum lagi bentuk penataan kebersihan yang ditandai dengan tempat sampah khas dan ruang-ruang lain sebagai penunjang tata pamer sarana seni juga tempat inovasi seni lainnya dengan dibangunnya bangsal baru tempat latihan sanggar, ruang jumpa pers dan bangsal tata rias putri kraton sebelum menari. Semua keindahan dan penataan yang ada di Kraton Kanoman diharapkan akan terus terpelihara sampai muncul aktifitas seni dan budaya berikutnya.

Malam itu perhelatan Gelar Budaya Cirebon “Cultural Even” berakhir dengan hitmat, penuh keringat, semangat dan doa mustajab untuk pembangunan msyarakat seni budaya kota Cirebon. Bersama 3 Kraton yang ada dimasa dating akan dijadikan sebagai pusat kegiatan dan komunikasi seni budaya yang terus terjalin. Sebagaimana tambang yang dililit dan terpilin kuat menjadi semakin bertambah bermartabatlah Kota Cirebon. Karena selain sebagai kota bisnis, kota metropolit, juga kota seni budaya . Akan sangat rugi jika pelancong di dunia ini tidak singgah Di Cirebon yang menyajikan artistektur seni budaya kraton yang legendaris. Semoga selanjutnya akan banyak muncul ide menarik. Dimana bentuk sajian dan peristiwa seni budaya ini kelak bisa jadi agenda Triwulanan yang dapat membanggaan. Kita doakan Wali Kota Cirebon Drs. Ano Sutrisno yang sangat mencintai seni budaya daerahnya itu, bisa berhasil mengusulkan anggaran di dalam jajaran pemerintahannya guna meningkatnya dama untuk pemberdayaan potensi lokal seni budaya adiluhung ini.

“Saya kira orang sakti ini bisa merealisasikannya mas. Maksud saya ia “orang sakti” karena dalam istilah Cirebon ‘Ning endi-endi Ano! Ning kene Ano, Ning kana Ano’ Beliau itu disayang dan dipilih bukan karena partainya itu Golkar, tapi sosoknya yang merakyat dan mampu melakukan pendekatan budaya, itu lah daya tariknya. Dia menjadi sakti sehingga disebut ; ‘Ning endi-endi Ano’ (--dimana-mana selalu ada Ano)” ujar pemuda yang mengaku anak buah Alvin Raja Vespa Kota Cerbon itu.***

Penulis Nurochman Sudibyo YS. Pengamat seni budaya Pantura asal Indramayu kini tinggal di Pangkah Slawi Kabupaten Tegal. Terima kasih Mas Chepy Ketua OI Cirebon , suami Ibu Ratu Raja Arimbi, yang sangat merespon kehadiranku juga tulisan-tulisan ku di FB- Ki Tapa Kelana.

Komentar