Sejarah Asal Mula Kain Batik Oleh : NUROCHMAN SUDIBYO YS.

Kapankah dimulainya orang membatik? Pertanyaan ini kerap kali muncul dikalangan orang-orang yang mencintai kain batik dan kaum muda penerus warisan leluhur. Di mulainya orang membatik diperkirakan pertama kalinya dilakukan oleh bangsa china yang memang dikenal memiliki materi malam yang berlimpah. Seni membatik tentu saja dimulai pada jaman produksi kain mori berlimpah, dan manusia mulai bosan menggenakan pakaian yang bermotif serta pewarnaan dalam bentuk yang sederhana dan kurang memiliki nilai artistik. Jadi seni membatik pastinya dimulai oleh para pelukis China yang bosan melukis dengan materi kertas. 

Karena lukisan di kain secara langsung hasilnya kurang halus, maka dicarilah cara lain untuk menghias kain tersebut dengan menggunakan tahapan membuat motif, memberi batas ruang pewarnaan dengan menorehkan malam cair, mencelupkan warna yang diinginkan dan kembali meleburkan malam yang masih menempel dengan cara merebus kain yang sudah terlindung oleh malam tadi dengan warna akhir yang diinginkan.
Karena yang awal membuat motifnya adalah pelukis tradisi di jamannya itu menuntut adanya kesempurnaan pada hasil penghiasan, serta pewarnaan dalam membuat kain maka lahirlah pewarnaan yang menggunakan tehnik menutup pada tempelan malam tersebut. Maka merekapun mulai memberi penanda khusus di bagian yang penting. Sebelum dilebur dalam pewarnaan dengan menggunakan jarum-jarum yang diikat pada kayu atau bambu sebagai alat penindik di bagian motif yang tertutup malam. Dengan begitu disaat proses perebusan menghancurkan malam penutup yang masih menempel. Hasilnya terjadi titik-titik yang menawan dan menambah keindahan dalam seni menghias kain ini. 


Seni hias kain ini kemudian dibawa beratus tahun lalu oleh para pedagang bangsa China ke tanah Jawa, Sumatra dan daerah kepulauan lainnya. Inilah yang kemudian awal berkembang kuatnya seni batik di Indonesia. Karena bangsa kita khususnya masyarakat pantai memiliki waktu yang cukup untuk mengembangkan kesenian ini maka berkembanglah kreatifitas ini secara naluri. Dengan modal muatan esensi seni lokalnya, kerajinan kaum perempuan yang kemudian dikenal sebagai seni membatik ini pun berlanjut menjadi seni yang dikagumi kaum bangsawan juga raja-raja di Jawa dan sekitarnya. Seni melukis di atas kain ini kemudian menjadi seni hias kain amba (lebar) dengan dibubuhi titik-titik yang dibuat dari canting dengan cara nyomplong. Kain amba dan hiasan bertitik-titik atau kain lebar berhias titik inilah kemudian dikenal dengan nama kain batik (Amba lan titik-titik). Demikian seni batik kemudian berkembang dan menunjukan ciri dan bentuk hiasanya masing-masing. Namun pembuatan titik-titik ini hanya dilakukan oleh para pengrajin batik tradisional atau dikenal sebagai batik tulis. Sedang batik cap, printing dan sablon membuat genre hias kain batik yang juga memiliki pasar khusus dan mampu memenuhi kebutuhan dalam jumlah besar dari pemesannya. 


Perkembangan seni batik yang dibuat oleh masyarakat pesisir dengan seni batik yang dipoles oleh konseptor seni kaum bangsawan dan para abdi dalem keraton menghasilkan karya yang beraneka macam jenis dan kwalitas artistiknya. Meski demikian masing-masing sentra batik tulis tradisional ini memiliki nilai yang sama-sama kuat dan memiliki pasar khusus di masyarakat. Begitu juga di pasaran pengguna busana batik di berbagai negara di dunia ini.


Batik tulis yang diprosuksi perempuan bangsawan dan yang berkembang di masyarakat lingkungan kraton dipengaruhi motif dan corak yang disesuaikan dengan kebutuhan serta tingkatan strata sosialnya. Tidaklah heran semakin tinggi jabatan dan tingkat sosialnya akan semangkin rumit dan tinggilah kebutuhan motif dan keunikannya. Sudah barang tentu harganya juga disesuaikan dengan nilai motif serta proses pembuatannya yang lama. Sedang untuk kalangan bawah motif dan corak batik tulis yang dipasarkan tentu saja hanya batik yang bermotif sederhana umum serta mudah dan cepat dalam proses pembuatannya. Tentu saja harganya pun relatif lebih murah. Apalagi bahan morinya pun dibedakan untuk yang kelas tinggi dan yang rendahan.
Berbeda dengan batik tulis tradisional masyarakat pantai. Ibu-ibu istri pelaut dan masyarakat petani yang sedang istirahat atau menanti musim panen serta menanti datangnya suami melaut, biasanya membuat motif berdasarkan naluri dan instingnya masing masing. Selain membuat motif hias berdasarkan pengalaman belajar dari nenek moyangnya, mereka juga kadang menghasilkan motif yang bagus dan bernilai seni tinggi. Mungkin saja hal ini tercipta karena proses berkesenian mereka diungakap dalam situasi tapa, kurang makan, atau sedawuh, melakukan laku prihatin. Sehingga tanpa dinyana pengalaman batin dan nilai-nilai empiriknya tersurah menjadi motif yang spektakuler. Tak bisa dipungkiri jika motif hias batik tradisionil yang dihasilkan oleh ibu-ibu jaman penjajahan, waktu paceklik dan era susah pangan ini menghasilkan motif hias yang hingga kini tak habis menjadi bahan diskusi serta kajian secara keilmuan.***

Komentar