SEMBAHYANG ILALANG
Sekumpulan Puisi Nurochman Sudibyo YS 2011 ,
Proses kreatif
Rindu dendam dan kecemasan jadi kesatuan konflik yang terus menyapa kesadaran bumi, udara, bara, dan juga penempatan air. itulah kehidupan yang sesungguhnya. Meski setiap kali muncul semudah itu dipadamkan. Karenanya keselarasan diwujudkan. Sedang rasa yang sama itu cuma ada pada keheningan semata. 08/11
Song For Solitude
:Balada Baridin-Suratminah
Usai pesta kebun, daun-daun rontok rimbun menepis belantara embun. Hingga halimun tersikap, matahari tak henti menyerap pori-pori bumi, mengguris jejak gemulai. Perempuan menari sembari berlari di antara desa-desa yang terus berjalan. Meniti ke puncak pendakian, hingga lampaui jalanan berlumpur. Tarian lulur dari tanah berkubang. Ladang pencerahanmu duhai gadis kemayu. Di gubuk beratap ijuk, dengan tegalan berumput, kau olah cinta jadi bantalan kereta, hingga tanah membekas tapak kerbau. Di bajak seharian, ditebari benih kasih bertabur pupuk, lalat dan kotoran hewan. Aku suka bau tanah sawahmu. Wahai Ratminah gadis kemayu. Aroma jerami membusuk juga asap batang padi yang sangar terbakar. Menyatu dengan kearifan suaramu, saksofoun berbisik unik, meliuk seksi. Seperti ani-ani yang tak henti menyulutkan asmara di lumbung yang membara, memanen seluas ladang-ladang cinta. Serasa mempertemukan bapak Dam dan mbok Wangsih melepas kesadaran. Sampai Baridin lunglai di puncak peribadatan. Gelinjang elok tarianmu serasa gairah bahasa sunyi, didera nafas panjang yang tak juga berhenti bernyanyi. Ingin rasanya segera merubahmu jadi bermilyar cahaya, agar ikut gemerlapan sebagaimana jalan-jalan yang kau layari dengan taburan selendang dan sepasang kembar mayang. Bunga melati, bertautnya hati dipenuhi warna-warni sesaji sanubari. Kembali kubalut tubuhmu dengan bermilyar warna. Sedang aku melilitkan diri pada kanvas dunia dan kefanaanmu, sembari terus berputar-putar mencaricari keheningan ritual Ajian Kemat Jaran Guyang mengusir marah, benci, dendam dan cinta. Laksana hujan cahaya di Jagapura, dupa-dupa wangi kesturi berdenyar jadi kubur yang kembar.
2011.
Nurochman Sudibyo YS
Sembahyang Ilalang
Sembahyangku ilalang di padang yang terbentang. Seperti bisik angin mengusik gemerisik dzikir dan doa-doa panjangku. Merebah dalam sujud khusuk, serasa menari dibuai cahaya maha cahaya yang terang benderang. Jiwa pun melayang dalam liukan selendang gairah peribadatan. Rebah dan bangkit di kerumunan jemaat ritmik dan wisik. Itulah sembahyangku. Ilalang yang kadang vertical seperti pedang, ilalang yang kadang melilit bagai tambang, ilalang yang mengikat pertalian jiwa untuk kebesaran sang maha agung pemilik laut darat dan gunung. Kelak datang pagi ilalang menari, disaat datang bentangan siang ilalang tak luput berkalang selendang, di saat malam kelam ilalang pun menganyam mimpi dengan dzikir yang sunyi.
Sembahyangku ini ilalang di lautan savanna, berlarian seperkasa kuda troya, bersemedi sekekal batu yang sunyi, bersinar sebagaimana mustika mutiara dengan cahaya berpendar, berpeci rembuan malam, bertopi matahari siang, bersarung lembutnya udara gunung, bersajadah darat dan lautan, Sujudku ilalang bergoyang, semediku ilalang bertapa. Mengelana jagat fana dan dunia maya
Sembahyangku ini ilalang di riung gunung, menenung malam meredam tenung, meraja siang di kala murung, melayarkan sayap burung jadi kalung dan biji tasbih itu berbutir menyuarakan mendung yang melengkung di rasa laksana lembayung mengkelung sampai ke jantung.
2011.
Nurochman Sudibyo YS
Menghitung Siang Menjumlah Petang
Menghitung siangmu serasa dibawa terbang oleh angin. Matahari terus menyered bayangmu perlahan, namun sore itu kucoba menjumlah petang dimana diammu. Semasih ada senyum kekal di setiap perbincangan dan cinta kasih itu bukanlah transaksi jual beli atau semacam reinkarnasi hati
Menghitung siang pun terasa abu-abu diantara panas yang menyerbu dedaunan ragu dimakan hasrat pilu merayu apa yang kau mau. Kekecewaan selalu datang menjelang sabtu dan kembali berminggu-minggu berikutnya sesobek catatan membuatku pilu. Padahal tak ada keraguan atau keniscayaan yang harus dibangkitkan satu-satu
Menghitung Siangmu terbayang amuk dan kecemasan yang diramu syahwat juga cinta yang amblas di seduh susu coklat dan segelas es kopi di tenggorokan sunyi. Jika saja dibiarkan berkelebat maka seperti kembali mengingat awal kita bertemu tak ada kesepakatan yang harus disudahi atau memulai pengingkaran yang tak ditawar
Menghitung Siang pun tak seharusnya menggunakan takaran kasih dan sayang, apalagi jika diperbandingkan dengan gerak sepatu atau suara kendaraan yang pecah di pekak telinga yang membuncah. Bukankah balon-balon keceriaan yang kau tiup setiap datang kasih sayang itu sudah cukup bagimu untuk tidak selalu menitipkan pesan dan alamat pendek di jerat cinta dan belenggu dosa-dosa yang tak mudah terhapus dengan sengaja
Menghitung siang menjumlah petang seperti menerima cinta dalam ampunan semua dusta juga semua impian yang poranda karena kita tak mampu menjaganya seperti menimang bayi-bayi kecemasan, setiap kali datang pagi dan siang menjeritkan terror juga informasi yang mengagetkan perasaan kita sebagaimana suara bom atau petasan yang dibunyikan di hari lebaran sehingga mencipta berjuta terror dan kecemasan.
Agustus 2011.
Nurochman Sudibyo YS
Gemerisik Dedaunan
Setiap kali membuka pintu di pagi gulita, setiap kali itu juga kusaksikan daun-daun jatuh dari pohon besar yang membuat rindang rumahmu. Namun seluruh daun-daun kering itu mengusik kegelisahanku akan peristiwa demi peristiwa yang datang dan pergi selama aku menyatu dengan kehidupanmu. Daun-daun kering coklat dan kekuningan itu seperti menari di udara dingin yang tak menyimpan ingin. Berserakan di lantai pelataranmu yang acak menyimpan bunga-bunga Kamboja kerdil juga sirih gading, lidah mertua, sancivera, gelombang cinta dan kemuning yang lara. Sebab tangan mungilmu jarang menyentuhnya dengan siraman teduh atau cukilan hangat mengolah tanah. Tak ada taburan pupuk. Padahal sudah berkali daun-daun berserakan menggemerisik di plataran, disapu ke sisi tembok luar pagar cintamu. Lalu kau bakar hingga bersisa abu singit dan kepul asap yang pengak. Rumahmu memang hanya jadi surga bagi tetanggamu yang mencinta buah rambutan, sawo kecik. Meski kadang harus mengusir daun-daun kering dengan serta merta mengundang gemerisik igauan juga sapaan penuh misteri.
Setiap kali membuka pintu di pagi ceria kugapai sapu lidi dan menggiringmu ke panas api pembakaran. Sesudah kukumpulkan gemerisiknya di plataran hunian rumah dan istanamu yang kelabu. Di sini tak lagi kutemui kilatan cahaya di lantai, atau indahnya mutiara di kamar mandi atau di kamarmu yang dipenuhi puisi juga lukisan masa lalu yang meneriakkan kasih sayang, cemburu dan kecemasan. Aku bukan pembasmi. Sebagai asesoris yang tengah dipajang untuk menyulut setiap kali sampah gemerisik itu terkumpul. Lalu kita bareng menyemprot abunya untuk disimpul jadi pupuk di antara kumpulan koleksi bunga-bunga yang dipajang sebahgai mahkota cintamu.
Gemerisik daunan mengusir anak-anak ayam, kucing juga tikus dan cerurut menerobos batas pengandaian agar kian terpagar jadi pembatas duka lara ini.
Agustus 2011.
Nurochman Sudibyo YS
Oh, Sahur Malam
Jika saja bosan dengan menu yang diulang bangkitlah lalu bersihkan muka dengan kesiapan doa-doa jelang lanjutan pertapaan siang nanti. Maka nikmati makan malam ini usah dikunyah dalam hati, karena setiap hadiah yang diturunkan Allah lewat tangan-tangan tengadah, merupakan anugrah bagi cinta. Selayaknya manusia yang sedang mencoba-coba mempertimbangkan sakit dan sehatnya. Demikian juga nikmat makan syahur malam ini juga bukan sekedar peribadatan yang dironce seperti tasbih atau doa-doa seusai diberangkatkan.
Oh, Sahur malam kini mengulang hari-hari tahun lalu dimana kita bersama merayakannya sebagai waktu yang tak Cuma datang tiba-tiba atau dengan tujuan menyiksa batin untuk meraba sejauh mana kasih sayang yang tengah dipertimbangkan untuk sebuah pengabdian dan sembahyang kita yang timbul tenggelam. Karena setiap makan malam juga syahur yang dipertautkan adalah juga sebuah perjuangan mencapai cita-cita atas kegagalan demi kegagalan juga timbunan dosa-dosa yang tak luput dari hisab untuk diperhitungkan kelak amal baiknya.
Jia saja bosan dengan menu yang disajikan malam ini, maka berfikirlah dengan tenang. Sudah seberapa banyak jalan yag dilalui atau kemampuan memori kita mencatat pahala yang sulit realitanya untuk didiskusikan dalam mickrofon atau melalui wacana diam di kesunyian. Sekalipun Allah tahu tak berteriak pun Ia malah tahu segala yang sedikit kita ketahui. Hari penuh nikmat dan kasih sayang. Oh, Syahur nikmat dan pahalanya juga Puasa keberanian menahan atau menguji jiwa untuk tidak lagi-lagi mengingkari KaruniaNya.
Agustus 2011.
Nurochman Sudibyo YS
Maafkan Anakku Roomy
Maafkan anakku Roomy, jika bapakmu tak bisa menjahit sarung yang mulai sobek, sedang Ramadhan belum berakhir dan mungkin tak ada akhir selain dengan ungkapan dzikir. Apalagi baju koko dan kopyah yang dulu aku belikan sudah tak cukup lagi di badan. Sendal jepit yang biasa kau kenakan sudah berkali keluar masuk jahitan. Mungkin sampai lebaran tak akan ada baju baru untukmu. Sebab ayahmu masih tinggal di sebuah negeri yang kelam, dan mungkin juga tenggelam. Hanya karena doamu yang bisa menyelamatkan aku. Sehingga tiap kali berbuka bisa kembali kukirim es kelapa muda untuk kalian bertiga. Atau kukirim juga beberapa kilo ikan segar hadiah dari kawanku untuk menambah protein kalian sehingga semakin getol untuk belajar. Memaknai hidup juga kefanaan yang diotak-atik laku lampah kita sendiri yang harus kita sadari sebagai sebuah catatan sejarah yang dipertuan sisa-sisa makanan dan racun sandakala.
Maafkan Anakku Roomy jika bapakmu tak bisa lagi mengajakmu memilih celana jeans dan kaos juga baju, kopyah baru dan sajadah di hari lebaran. Karena aku masih belum tuntas menyelesaikan ruas-ruas perjalanan yang mesti dilewati dalam hitungan hari, tanggal bulan dan tahunnya. Namun setiap kali sembahyangku ini mengulum doa untuk kebahagiaanmu, sebab setiap bait doa ini kuyakini ada banyak harapan tersimpan dan kupahami kelak dapat jadi sebuah pintu kebahagiaan dimana semua keinginan dapat terwujud untuk apa yang disebut rasa takut dan kalut sengkarut sebelum kemudian aku menghadapi syakratul maut.
Agustus 2011.
Nurochman Sudibyo YS
Manisnya Gerimis Parang Tritis
Suatu senja di kotamu Yogyakarta, kenangan manis mengenang perjalanan spiritual yang tak mudah dilupakan. Apalagi selain cukup banyak desir angin dan pasir berpindah yang membuatmu gundah. Mengantar gelisah Koran-koran menulis puisi untuk kemudin diterbangkan dalam emosi pertautan angin dan mega-mega.
Suatu hari ku kembali menyapa pantaimu Yogyakarta, karena ada cukup banyak cerita memendam hasratku untuk menulis puisi di sendang dan batu-batu. Tapi pantaimu menyuarakan cerita yang dikafankan kematian demi kematian atas kesalahan warna atau curamnya lapisan bumi di batu karang atau ritmis gerimismu yang menyisakan tangis dan airmata.
Manisnya gerimis Parang Tritis seperti juga kisah tragis hilangnya penyair dan penari kata-kata yang pergi dari kota tua untuk kemudian lenyap atau dilenyapkan selama-lamanya.
2011.
Nurochman Sudibyo YS
Semedo Suatu Hari
Suatu hari sebelum bulan puasa kau ajak aku menyaksikan keperkasaan lembaga sosial yang hendak menancapkan bendera kemanusiaan di sebuah desa dengan pasukan serdadu dan puluhan pasang mata simbol kesaksian di tengah kebisuan yang mungkin saja memunculkan ketidakpahaman akan lembaga yang kau banggakan benderanya. Padahal sudah setengah tiang aku kibarkan benderaku sendiri namun nasib menempatkan kami di sebuah tempat yang tidak mungkin disejajarkan dalam barisan sang penerima. Bahkan sebagai lapisan pemberi pun bukan disitu tempatnya. Karena Jujur saja apa yang kami punya hanya doa dan upaya untuk tetap hidup berdampingan denganmu.
Semedo suatu hari, harus jujur kukatakan. Kami hanya berhasil memotretmu menjadi semacam Diary. Sedang kemampuanku ini tak lagi bisa mengurai dahaga dan kelaparan yang menunggu di sebalik pintu. Sedang wajah-wajah renta yang berjejer menanti belas kasih itu tak cukup bias diajak menikmati segelas teh atau sepincuk ponggol dan mengunyak kerupuk.
Semedo anak-anakmu begitu lucu bisa berbaris menyatu padu untuk antri menerima uang baru dua ribu rupiah setelah bernyanyi dan bermain kereta atau ular-ularan di situ aku mengenang tupukan tulang batu jutaan tahun lalu yang dikumpulkan oleh pak tua yang tak sengaja mengakrabi sungai mengolah batu koral menjadi materi penukar nasi dan berupaya agar mengepul sepanjang waktu dapur pawonmu.
Semedo suatu hari aku tak cuma ingin berziarah tak tentu arah di dua pusara yang dikafani dan dijadikan rumah semedi namun juga memberi senyum ceria untuk anak-anak yang berkejaran menyambut kami menuruni batu undakan limaratus meter dari rumah jurukunci yang pernah tercatat sebagai kepala desa di Semedo yang bersejarah namun tak memberi ruang untuk dijadikan realita bagi sejuta tahun dalam catatan budaya mausia Jawa dengan penuh tanda tanya. Semua ditemukan dan mencoba diselamatkan lelaki tua bukan untuk dipajang, namun terus dinantikan menjadi museum sembari menghormati jasa Semedo suatu hari nanti.
2011.
Nurochman Sudibyo YS
Tusuk Saja Mata Ini
Tusuk saja mata ini jika berat membiarkan jalan lempang untuk kehidupanku yang sederhana ini. Sudah lelah kubaca semua buku catatan harianmu yang penuh ragu dan mengalirkan kecemasan yang lain. Padahal sudah cukup banyak kutarikan cerita bahkan puisi untuk menjadi catatan baru untuk perjalananmu yang tak lagi diiringi kesunyian.
Tusuk saja mata Ini kalau memang tak bisa menghalau kecemasan yang dikelabang kisah pedihmu bertahun lalu, atau mungkin Cuma ini yang kau maui dan memang Cuma itu yang aku punyai. Jadi puaskan saja hasrat cintamu untuk kemudian menjadi segelas agur yang memabukkan impianmu akan beruas harapan juga impian tentang kisah yang harus dipertanggungjawabkan
Tusuk saja mata ini apabila tak lagi kau percaya setiap apa yang terucap bahkan diperbuat setiap saat dimana awal dan akhir pertemuan bukan lagi kita yang membuat narasinya seperti juga belati yang pernah ditancapkan di betismu mungkin sudah tak lagi menyisa sakit bila kau turutkan kata hati juga keinginan yang satu ini tak terpuaskan
Tusuk saja mata ini apa bila menurut perhitunganmu akan merusak bangunan yang sedang kau susun secara acak sebagaimana kontruksi dan keberadaannya. Lalu sudahi semua ketakutan dan kecamasan yang meraja di lubuk hatimu yang katanya sudah sebegitu berat menimbun pasir luka, batu-batu kesakitan juga tak berhasil kau jadikan semen perekat untuk kekuatan cintamu yang penuh misteri dan haru biru itu.
Agustus 2011.
Nurochman Sudibyo YS
Sebatang Rokok, Juga Sebilah Golok
:Bagi Nazaruddin
Ingin kubunuh gelisah di ruang tanpa dinding seperti ini dengan menyelesaikan pesta amuk atas keliaran di benakmu yang tertimbun. Berbungkus-bungkus rasa sudah kuselesaikan mengawali album perjalanan ini, dengan nikmat. Sebatang rokok, dan sebilah golok terhunus di pojok pagar rumahmu. Tanpa jendela dan genteng yang rontok dilanda panas kemarau tahun ini. Karena setiap menepis lapis gelisah, anganku tersingkap, cahaya rembulan terhalang pedang di balik topi hitammu. Tak henti menyelesaikan catatan tentang perilakumu di bumi, menurutkan hati juga gairah ini. Lelaki muda dengan kumis dan janggut dikerok itu bermimpi jadi polisi. Berlari mengendap-endap di antara pepohonan di batas negeri yang terus jadi pusat sembunyi. Kubiarkan saja atau segera menangkapmu seperti nyamuk yang diintrograsi. Mempertanyakan pernyataan lama dengan janji membongkar semua rahasia yang selama ini misteri. Hari-hari dinanti jadi puncak kenikmatan yang tersedu di setiap perjumpaan. Berlalu di tiap sedotan atau hisapan mencapai titik kulminasi kejenuhan. Menanti dan terus menanti. Hingga sampai waktu harus dilampaui untuk dilaksanakan. Serasa menyaksikan sebuah pertunjukan teater di panggung kerbau berkubang. Mana janjimu wahai lelaki dengan istri berperan ganda. Di negeri yang banyak dihuni masyarakat berotot kawat ini, tidak bisalah kau bagi sedikit saja informasi acak meski hanya selarik puisi atau sandi yang selama ini kau yakini akan membuatmu terbebas dari kutukan anak negeri ini. Atau akan kau teruskan dengan menggurat sejarah kebusukan. Lalu mana cinta putih kebanggaanmu itu. Jika bisa kau selesaikan untuk sebuah menu pesta olah raga. Mengapa tanah yang diprakarsai jadi ladang persoalan itu juga jadi medan pertumpahan darah. Sedang kau masih kerbau yang meninggalkan tapak perjalanan. Jujur, aku suka caramu berganti baju, manglih rupa kolaborasi uang dan paspor. Wahai aktorku, Aroma wangi permainan yang kau bangun di negerimu sudah tercium seluruh mesin pembau manca Negara yang tak pernah segan terbakar semangat mencari dan terus menahanmu kembali meski dengan tawar menawar. Satukan saja sisa kearifan jabatanmu, karena senar gitar sudah disetel untuk melantunkan lagu rok umpet dan suara bisik-bisik di telinga tetangga itu mungkin saja bisa jadi penjara. Seperti borgol dan ancaman hukuman yang tak henti mengancam kisah asmaramu di lumbung rakyat membara, sementara kisah panen raya dihimpun dalam kelompok berbendera biru itu terus diperketat untuk tidak dibuka kran ledengnya. Sulit kah mempertemukan baik buruk melepas kesadaran dan keringanan yang dijanjikan. Sampai tersedia berlapis surat ancaman dijadikan alat peribadatan. Atas semangat keaktoranmu memaknai bahasa sunyi. Kucoba menarik nafas panjang, namun tak juga berhenti membungkam. Bernyanyilah karena ingin rasanya aku merubahmu jadi aktor terbaik tahun ini, agar bermunculan peran lain yang mampu membuka jalan bagi layar pertautan tentang kisah kembar yang terbakar. Kami Cuma mampu memanggul cangkul dan memainkan ani-ani untuk memperoleh sedikit bau melati, sepenuh sesaji nurani. Kembali kubalut tubuhmu dengan mantel tikar pandan juga seragam biru di ruang berterali ini. Akan kulilitkan tubuh dengan ikat pinggang di lubang paling asing di celana panjang ini, sembari melabuhkan subuh di atas kefanaanmu. Berputar-putar mencari dan meredam kemarahan maha dahyat untuk memasang granat di tubuhmu kemudian diledakkan sebagai barometer atas keangkuhanmu selalu memanfaatkan peluang atas kerakusan menyantap kelezatan milik rakyat sepanjang zaman.
Agustus 2011.
Nurochman Sudibyo YS.
Song For Solitude
:Balada Baridin-Suratminah
Usai pesta kebun, daun-daun rontok rimbun menepis belantara embun. Hingga halimun tersikap, matahari tak henti menyerap pori-pori bumi, mengguris jejak gemulai. Perempuan menari sembari berlari di antara desa-desa yang terus berjalan. Meniti ke puncak pendakian, hingga lampaui jalanan berlumpur. Tarian lulur dari tanah berkubang. Ladang pencerahanmu duhai gadis kemayu. Di gubuk beratap ijuk, dengan tegalan berumput, kau olah cinta jadi bantalan kereta, hingga tanah membekas tapak kerbau. Di bajak seharian, ditebari benih kasih bertabur pupuk, lalat dan kotoran hewan. Aku suka bau tanah sawahmu. Wahai Ratminah gadis kemayu. Aroma jerami membusuk juga asap batang padi yang sangar terbakar. Menyatu dengan kearifan suaramu, saksofoun berbisik unik, meliuk seksi. Seperti ani-ani yang tak henti menyulutkan asmara di lumbung yang membara, memanen seluas ladang-ladang cinta. Serasa mempertemukan bapak Dam dan mbok Wangsih melepas kesadaran. Sampai Baridin lunglai di puncak peribadatan. Gelinjang elok tarianmu serasa gairah bahasa sunyi, didera nafas panjang yang tak juga berhenti bernyanyi. Ingin rasanya segera merubahmu jadi bermilyar cahaya, agar ikut gemerlapan sebagaimana jalan-jalan yang kau layari dengan taburan selendang dan sepasang kembar mayang. Bunga melati, bertautnya hati dipenuhi warna-warni sesaji sanubari. Kembali kubalut tubuhmu dengan bermilyar warna. Sedang aku melilitkan diri pada kanvas dunia dan kefanaanmu, sembari terus berputar-putar mencaricari keheningan ritual Ajian Kemat Jaran Guyang mengusir marah, benci, dendam dan cinta. Laksana hujan cahaya di Jagapura, dupa-dupa wangi kesturi berdenyar jadi kubur yang kembar.
2011.
”KEMAT JARAN GUYANG”
Oleh: Nurochman Sudibyo YS.
Dari 6 potongan adegan yang kusimpan dalam folder. Naskah terbukukan, “Migrasi dari Gamelan ke Gitar dan Suling”. Agak lama tertata di lemari tua. Tarling dan muasalnya dalam sampul coklat tua nan lusuh. Belum bisa dikatakan sebagai sinopsis. Cerita mitologi masyarakat Pantura; Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu dan entah merambah pula ke seantero nusantara. Tiba-tiba ingin sekali meringkasnya jadi drama yang menegangkan. Kisah masyarakat petani dan nelayan. Serasa mengalirkan sungai dengan komposisi dawai dan liukan seruling di panggung legenda yang dikemas tragis semalam suntuk.
Aku teringat kisah Shakesphiere dengan Romeo dan Yulietnya. Saat mana pesta tasyakuran menjadi ajang pentasmu. Di panggung berpuluh tahun lalu, untuk kedua kalinya saksikan malam purnama. Di bawah rindang pisang, dibatas pagar bambu antara 70-80an dibumbui tarian atraksi lokal gadis bergoyang tari jaipong.
Kudengar malam menyebutkan tajuk acara, Ajian Kemat Jaran Guyang. legenda Baridin dan Suratminah, dan aku menyebutnya cinta yang kandas. Namun ingatan itu semakin menempatkan aku jadi "BARIDIN" , menembangkan puisi berirama gitar dan suling.
Aku jejaka tua, penunda lajang. Bergaris ekonomi yang menjepit, karena ayah tak lagi mengenal pulang dan pailit. Kupilih berteman dengan ibu. Mbok Wangsih, buruh tani dan penjual pisang. Aku Baridin. Kepada Mbok Wangsih di gubuk bambu yang sederhana. Di pinggiran bengawan dengan sepuluh pohon pisang juga nangka welanda. Satu tandan masak di pohon. Ibuku janda yang mendidikku hidup. Aku si tukang mluku, petani pembajak sawah. dan kau tau kerbau penariknya, kupinjam dari Pak Haji Darkum.
Sapai suatu hari Mang Bunawas beri tugas membajak sawah di batas desa. Secepon tumpeng dan bekakak ayam, untuk pengikat, juga wang bayaran. Upah kuterima padahal kerja belum kulakukan. Pagi melepas sarapan. Weluku kupanggul menuju lahan tujuan. Sebuah desa pinggiran kota sumber Bawang, Bapak Dam saudagar kaya raya, dengan modal kesombongan, sikap angkuh dan pelit jadi modus berkelit, hidup bersama anak gadisnya. Perempuan bermata teduh, cantik dan tubuh yang sempurna. Suratminah sebutan kesehariannya. Rumah besar berhiaskan taman, arsitektur mewah, dan Bapak Dam, pagi itu melepas putrinya ke pasar, memenuhi kebutuhan hidup. Sebagai keluarga tanpa ibu, tanpa pembantu, sudah terbiasa pula dengan kewajibannya.
Sepeninggal sang anak, Haji Damiri berkelakar diantara tetangganya. Seperti kebiasaan buruk memamerkan harta benda, namun giliran menugaskan apa saja, baqhil pula ulahnya. Begitu pula saat tukang ramal mompar mampir, Bapak Dam tak mau membayar jasanya, karena dalam ramalannya ia akan jatuh melarat dan anak perempuan satu-satunya diprediksi bakal gila. Ia usir sang peramal sembari mengumpat dan terus mengumpat sampai bersijingkat.
Di pinggir jalan sebelum masuk pasar Brebes, Ratminah digoda pemuda brandalan yang memuji kecantikannya dengan harapan disambut baik, Tapi Suratminah malah menghardik. Dengan angkuh sebagai wanita anak orang terkaya di kotanya. Ratminah pun berhasil melawan. Namun niat berbelanjanya tertunda. Hari itu ia dikesalakan meladeni kekurangajaran para brandal dan munculnya Baridin yang mengajak berkenalan, menemani kencan dengan weluku sebagai andalan.
Pertemuan Suratminah timbulkan gejolak asmara, Baridin pun jatuh cinta. Ia merayu dengan tembang penuh sanjungan dan bunga-bunga. Namun suratminah dengan seenaknya membolak-balikkan kata, berkelakar pada Baridin sembari terus mengejeknya. Baridin dianggap tak bercermin. Dirinya hanya pemuda miskin. Dengan pakaian compang camping, celana rombeng berhiaskan tambalan dan bau tubuh pengak sebagaimana harum keringat para petani di siang hari.
Lalu datang anak-perempuan bertubuh kecil teman bermain Suratminah ikut mengejek Baridin. Mereka bucahkan perhatian Baridin yang asik merayu Suratminah. dengan tembang klasik yang membuatnya berisik
Gara-gara pertemuannya itu dan kesannya pada Baridin, Suratminah gagal belanja. Ia kesal dan pulang. Begitu juga Baridin. Ia gagal berangkat ke sawah Mang Bun ia kembali dengan wluku yang masih kering. Di punggung tubuhnya yang kurus kering.
Mbok Wangsih kaget bukan kepalang, hari masih siang, anak semata wayang yang selalu dikudang malah pulang dengan berdendang. persoalannya karena uang bayarannya dan brekat tumpeng sudah habis dimakan. Sementara Weluku milik Baridin tak berbau lumpur. Baridin terdiam dikebisuan, ia asyik melamun. Membayangkan pertemuannya dengan Suratminah. Ia lupa apa yang ditanyakan ibunya. Bahkan saat Mang Bun datang menanyakan gagalnya Baridin menggarap sawah. Dengan santai ia mengucap. “Kalau masih ada esok kenapa harys ada marah?,”
Mang Bun meminta uang dan Brekatnya dikembalikan. Baridin dengan santai meminta agar ibunya menyerahkan apa yang Mang Bun pinta. Mbok Wangsih gelisah, bagaimana harus mengembalikannya. Brekat sudah habis dimakan, Uang telah ludes dibelanjakan. Baridin pun dengan santai menjawab ; “kalau tak ada, ya gunakan saja sarungku sebagai jaminan”. Mang Bun akhirnya menerima saja Sarung kebanggan Baridin, meski sudah bau apek dan buluk dimakan lapuknya usia.
Mbok wangsih malu pada ulah anaknya yang cepat sekali berubah. Namun ia menjadi girang manakala Baridin berterus terang. Diceritakan kalau dirinya tengah jatuh cinta pada seorang wanita. Dan, ia menginginkan gadis pujaannya itu menjadi teman hidupnya. Bayangan Mbok wangsih, akan punya menantu, selanjutnya kelak akan menimang cucu dan rumahnya bakal diramaikan suara bayi. Namun ia menjadi kaget bukan kepalang manakala perempuan yang dicinta anaknya adalah gadis kaum berada. Suratminah anak saudagar kaya kota Brebes pula. Tapi karena saking cinta dan sayangnya pada Baridin, Mbok Wangsih tak kuasa menolak permintaan untuk melamar Suratminah binti Haji Damiri.
Berbekal setandan pisang imbuhan, dari pohon samping rumahnya. Mbok wangsih berangkat menuju Brebes dengan petunjuk arah putra terkasihnya.
Di rumah H. Damiri, di pinggir utara Kali Pemali kota Berbes. Rasa bingung mengiang dikepala Bapak Dam. Anak perempuannya pulang dengan wajah cemberut sembari memulangkan uang belanja. Saat ditanya berbagai hal Ratminah yang masih kesal dengan anak-anak pemuda tak menjawab. Apalagi jika mengenang Baridin yang tiba-tiba jatuh cinta dan mengutarakan hasrat hatinya. Ratminah pusing karena menyimpan kesan tersendiri pada Baridin yang lucu, lugu dan konyol itu. Namun dia harus tetap angkuh untuk menunjukkan status sosialnya sebagai anak saudagar kaya.
Bapak Dam mengingatkan Suratminah untuk menikah, ketimbang sering kali digoda pemuda. Harapannya Suratminah menerima lamaran siapapun dari pemuda yang dicintainya. Bapaknya ingin isi rumahnya ada tangisan anak manusia yang lain, tidak seperti hari-harinya yang senyap. Kalaupun ada suara cuma kicau burung, salak Si Bopi, anjing peliharaan dan suara Tokek menghiasi rumahnya. Ratminah diam membukam saat ditegur ayahnya. Dia bingung, siapa yang kelak harus dipilih sebagai suaminya. Sejujurnya ia malas ke sekolah. Namun begitu ia belum mengerti soal cinta.
Sampai kemudian Datang bergantian para pelamar yang disambut keceriaan Bapaknya. Sayangnya setiap kali datang pelamar setiap kali itu juga Ratminah menolak. Sampai kemudian semua pelamar yang di tolak berkumpul, diantaranya Seniman tarling, Saudagar, Juragan, dan seorang kondektur bus. Secara bersama-sama melakukan penyerangan mengejek dan menghujat Ratminah dan bapa Dam. Dasar orang kaya berkuasa pula. Bapak Dam dan Suratminah, berhasil mengusir lelaki gagal melamar itu. Namun baru saja hendak masuk ke ruang tengah, rumah kembali bergetar, diketuk seorang wanita yang datang sembari terheran-heran menyaksikan kemewahan rumah bapak Dam. Suara Bopi tak henti menyalak, ia mengira perempuan itu pengemis tak diundang.
Saat dibuka pintu Ratminah langsung beri sedekah. Perempuan itu menolak. Aku Mbok Wangsih, Ibunya Baridin. Dan Ia kembali tertegun dengan kecantikan Suratminah. Pantaslah jika Baridin terpesona ingin meminangnya. Suratminah memanggil bapaknya mendengar perempuan itu punya tujuan bukan hendak mengemis. Bapak Dam bertambah kesal. Baru saja ia dipusingkan ulah arogan para pelamar yang ditolak Suratminah, datang lagi perempuan aneh. Semakin mangkel pula manakala Mbok Wangsih mengutarakan hasratnya melamar Suratminah untuk Baridin, putra yang dicintainya.
Mendengar itu Bapak Dam serta merta menghina, mengejek kemiskinan mbok Wangsih. Hanya pisang setundun, hendak melamar anaknya. Selain tertawa, bapak Dam, dengan keras menolak dan mengumpat kelancangan Mbok Wangsih. Namun Mbok Wangsih justru memaksa minta lamaranya diterima, demi anak lelakinya Baridin. Mbok Wangsih meminta Surtaminah untuk menjawabnya.
Manakala Bapak Dam menolak dan menghina dirinya, Mbok Wangsih masih maklum. Namun mendengar Suratminah menolak lamaran, bahkan dengan keras ia menendang, dan meludahi mukanya sembari melemparkan pisang bawaan ke tubuhnya. Hati Mbok wangsih sakit perasaannya terkoyak. Ia menyalahkan Baridin yang tak bercermin dahulu sebelum menentukan keinginannya. Dengan tubuh lunglai dan hati yang robek Mbok wangsih meninggalkan rumah bapak Dam. Kesal dan marah pada Baridin.
Di gubug bambu beratap rumbia, Baridin menatap langit bercahaya rembulan dengan keindahan semburat merah yang memancar bagai impian dan harapannya yang berpendaran di kepala. Sedang asyik melamun hingga ke puncak harapannya dapat menikahi gadis pujaannya Suratminah berkat usaha ibunya yang kini tengah seharian melamar dan belum pulang. Baridin dikejutkan dengan kedatangan Ibunya yang datang dengan wajah sedih dan buntelan pisang yang masih utuh.
Baridin pun bertanya, barangkali saja ibunya kecapean karena tidak berhasil menemukan rumah Suratminah. Namun apa yang dikiranya justru terbalik. Ibunya gagal melamar Suratminah menjadi istrinya. Baridin tertegun dengan apa yang diceritakan ibunya.
Marah dan keperihan hati ibunya masih bisa diterima oleh Baridin, karena ia mengakui kemiskinan yang selama ini menjerat hidupnya. Namun sikap angkuh Bapak Dam dan Suratminah yang tak disangka dengan begitu berani menghina dan meludahi wajah ibunya, justru yang membuat Baridin menjadi sakit dan mendadak sontak ia robah cintanya menjadi benci, kemarahan dan dendam pun tak tertahankan.
Ditambah lagi manakala mbok Wangsih mengusirnya, karena merasa dipermalukan oleh sikap tolol Baridin. Mbok wangsih dengan kemarahan yang meluap, malam itu mengusir Baridin dari rumahnya sendiri. Mbok Wangsih malu dengan sikap anaknya yang tak mempertimbangkan kemelaratan yang melanda keluarganya.
Baridin, sembari menahan tangis dan batin yang tersayat, terus berjalan di kegelapan malam. Baridin berjalan sampai jauh ke arah Kulon, sembari mengumbar dendamnya. Sampai kemudian ia bertemu sahabat karibnya.
Gemblung Binulung. Teman dengan wajah gemblung tapi suka menolong. Gemblung prihatin atas nasib Baridin. Kembali berniat menolong meredakan api cinta Baridin pada Suratminah. Baridin tidak percaya kalau Gemblung yang berwajah bloon itu mampu memberi pertolongan atas nasib sialnya. Tapi setelah gemblung menunjukkan ajian peninggalan mendiang bapaknya, dan Baridin mencoba membaca rapalan dari kertas tua berjudul Ajian Kemat Jaran Guyang, ia pun lalu percaya.
Atas nasehat sahabatnya Baridinpun kemudian mandi bersuci, melakukan niat berpuasa pati geni selama 40 hari empat puluh malam, dengan membaca niat di malam kelahirannya sekitar pukul 12 malam. Malam itu dalam keremangan, suasana yang wisik. Baridin Merapalkan Ajian Kemat Jaran Guyang.
"niat isun arep ngemat...dudu ngemt-ngemat tangga dudu ngemat wong balik pasar, sig tak kemat bocah wadon sing gembleng, ayu rupane, anake bapa Dam, wong sugih ning kota Brebes. Yen lagi turu gage nglilira, yen wis nglilir gage tangia, njenggeleka, mlakua lan brebngenea karo mlayu-mlayu kaya jaran guyang........."
Alam pun tiba-tiba bergetar. Langit memunculkan udara panas. Bau kemenyan yang lemah merambah ke mana-mana. Ratminah yang merasa baunya terbangun dari tidur. Ia yang lemah imannya dan yang dalam hidupnya selalu sombong bahkan kerap berlaku angkuh, malam itu dibangunkan dari tidur.
Di rumah Bapak Dam, menjelang jam satu pagi. Dikesalkan dengan bunyi tokek yang berulang-ulang. Kekesalan Bapak Dam dikarenakan saat dihitung suara tokek itu, jatuhnya selalu pada hitungan miskin. Begitu juga saat dibalik tetap saja pada hitungan miskin. Begitu juga disaat penabuh Tongprek lewat tengah malam. Yang aneh dengan belum tidurnya bapak Dam. Saat ditanya soal Bunyi Tokek pun Bapak Dam malah kecewa dan ngedumel sendiri.
Pagi hari kekesalan pun terus bermunculan. Bapak Dam kaget dengan ulah Ratminah yang malas-malasan dan sedikit-sedikit tertawa dan cengengesan sendiri sambil mengucap dan menyebut-nyebut Kang Baridin. Sementara Bapak Dam tak mengerti siapa itu Baridin.
Kekesalan Bapak Dam, semakin bertambah saat meminta Ratminah nggodog Wedang, setelah ditunggu lama ia muncul membawa golok. Saat disuruh mandi dia malah diam sendiri. Lagi-lagi Ratminah menyebut kata Kang Baridin secara berulang-ulang. Bapak Dam tambah bingung manakala anaknya berdandan dengan pakaian yang jelek dengan rambut diuraikan tak teratur lalu keluar rumah sembari bertanya pada tetangga tetangganya; ‘dimana ya Kang Baridin?
Ratminah terus berjalan dan semakin jauh meninggalkan rumah serta bapaknya. Ia berjalan dengan cepat, berlari seperti kuda yang tak kenal lelah. Ia berteriak-teriak seperti jeritan kuda kesakitan sembari menyebutkan nama; Kang Baridin. Ratminah lupa makan lupa minum. Ia teriakkan keinginannya untuk bertemu kang Baridin. Ratminah terguncang jiwanya. Sikapnya berubah labil. Dia memuja Baridin dan berjalan cepat sembari mengundang nama Baridin. Ia menjadi tertawaan anak-anak karena dia layak disebut Wong Edan.
Bapak Dam pun secara serentak jatuh miskin. Uangnya dihambur-hamburkan untuk memberi upah pada tetangga dan orang-orang yang mengaku bisa menyembuhkan Ratminah dan siap mencari Suratminah. Namun tidak ada yang berhasil. Sampai suatu hari ia mengalami kerugian besar, karena orang yang mengira berhasil mendapatkan Ratminah dengan ciri-ciri rambut Terurai dan pakaian rombeng dan setiap kali menyebut kata Baridin ternyata salah. Bukan Ratminah. Perempuan yang juga menjadi terlunta-lunta mencari Baridin adalah Mbok Wangsih. Akibat salah persepsi itu, Bapak Dam akhirnya pergi meninggalkan rumah, entah kemana ikut berjalan tertatih-tatih mencari anaknya sembari menangis.
Mbok wangsih dalam kondisi terikat, dalam kekuasan Bapak Dam akhirnya menangis dan berteriak memohon pertolongan. Dalam teriakannya ia berjanji jika yang menolong seorang laki-laki maka ia bersedia menjadi suaminya. Sumpahnya terdengar oleh Gemblung Binulung. Ia lah yang menyelamatkan Mbok Wangsih dan memberi petunjuk keberadaan Baridin di Desa Jagapura. Namun Mbok Wangsih menolak diajak kawin Gemblung Binulung. Selain usianya masih sangat muda, Gemblung sahabat akrab Baridin. Lebih-lebih lagi karena gemblung itu orangnya ya memang gemblung. Tapi mbok Wangsih tak kuasa menerima kebaikan Gemblung binulung.
Di Desa Jagapura suatu siang. Baridin tengah bekerja membajak sawah sembari menggerakkan Kerbaunya, Baridin bernyanyi mengenang hati sanubarinya yang perih dan merana. Ia masih juga puasa dan belum mau berbuka, sebelum melihat dengan kepala sendiri hasil ajian yang dilakoni atas petunjuk sahabatnya gemblung Binulung. Sampai kemudian Suratminah datang. Di pinggiran sawah yang tengah digarap Baridin wanita itu menangis. Wajahnya yang cantik terbaur debu jalanan. Bajunya compang camping noda hitam dan bau lumpur akibat perjalanan jauh. Suaranya kian serak, karena tersus memanggil-manggil nama Kang Baridin. Ia menangis di kaki Baridin, sembari meminta maaf. Namun Baridin dengan tegar, hanya terdiam. Belum mengeluarkan kata maaf, Baridin malah mbongganaken (menyalahkan) sikap buruk dan kesombongan Suratminah dan Bapaknya yang menghina Mbok wangsih, ibu yang sangat dicintainya.
Ratminah tak kuat lagi menahan cinta dan kasihnya. Ia peluk Baridin dengan sisa tenaganya. Saat itu juga Ratminah roboh. Tubuhnya lemas. Ia meninggal dunia. Baridin tersentak. Penduduk setempat mengebumikan jenajahnya di Pekuburan Desa Jagapura.
Sore harinya menjelang magrib usai tahlillan almarhum Suratminah, Baridin mendadak terjatuh tak kuat dengan kondisi tubuhnya yang lemah. Niatnya hendak berbuka puasa selepas magrib gagal. Ia pun meninggal dengan tubuh meluruk di atas tanah di hadapan majelis tahlil.
Esok harinya masyarakat Desa Panguragan menguburkan jenajah Baridin di samping kuburan Suratminah. Mereka menjadi pasangan cinta yang agung di alam kubur. Sedang kedua orang tua dan sahabat-sahabat yang dicintainya hanya bisa tertunduk haru di makam kedua pasangan yang gagal menyatu menjadi pasangan cinta didunia, akibat dari perbedaan status ekonomi yang berbeda. Tangisan dan airmata berjatuhan dimana-mana. Bahkan saat ku tulis kembali kisah ini. Saya menangis. Menangis, kenapa kemiskinan selalu saja menjadi sumber petaka atas kehidupan manusia di dunia.***
*Disari dari kisah drama tarling “Baridin” Karya Karya H. Abdul Ajib,
Cirebon -Indramayu 2011
Sekumpulan Puisi Nurochman Sudibyo YS 2011 ,
Proses kreatif
Rindu dendam dan kecemasan jadi kesatuan konflik yang terus menyapa kesadaran bumi, udara, bara, dan juga penempatan air. itulah kehidupan yang sesungguhnya. Meski setiap kali muncul semudah itu dipadamkan. Karenanya keselarasan diwujudkan. Sedang rasa yang sama itu cuma ada pada keheningan semata. 08/11
Song For Solitude
:Balada Baridin-Suratminah
Usai pesta kebun, daun-daun rontok rimbun menepis belantara embun. Hingga halimun tersikap, matahari tak henti menyerap pori-pori bumi, mengguris jejak gemulai. Perempuan menari sembari berlari di antara desa-desa yang terus berjalan. Meniti ke puncak pendakian, hingga lampaui jalanan berlumpur. Tarian lulur dari tanah berkubang. Ladang pencerahanmu duhai gadis kemayu. Di gubuk beratap ijuk, dengan tegalan berumput, kau olah cinta jadi bantalan kereta, hingga tanah membekas tapak kerbau. Di bajak seharian, ditebari benih kasih bertabur pupuk, lalat dan kotoran hewan. Aku suka bau tanah sawahmu. Wahai Ratminah gadis kemayu. Aroma jerami membusuk juga asap batang padi yang sangar terbakar. Menyatu dengan kearifan suaramu, saksofoun berbisik unik, meliuk seksi. Seperti ani-ani yang tak henti menyulutkan asmara di lumbung yang membara, memanen seluas ladang-ladang cinta. Serasa mempertemukan bapak Dam dan mbok Wangsih melepas kesadaran. Sampai Baridin lunglai di puncak peribadatan. Gelinjang elok tarianmu serasa gairah bahasa sunyi, didera nafas panjang yang tak juga berhenti bernyanyi. Ingin rasanya segera merubahmu jadi bermilyar cahaya, agar ikut gemerlapan sebagaimana jalan-jalan yang kau layari dengan taburan selendang dan sepasang kembar mayang. Bunga melati, bertautnya hati dipenuhi warna-warni sesaji sanubari. Kembali kubalut tubuhmu dengan bermilyar warna. Sedang aku melilitkan diri pada kanvas dunia dan kefanaanmu, sembari terus berputar-putar mencaricari keheningan ritual Ajian Kemat Jaran Guyang mengusir marah, benci, dendam dan cinta. Laksana hujan cahaya di Jagapura, dupa-dupa wangi kesturi berdenyar jadi kubur yang kembar.
2011.
Nurochman Sudibyo YS
Sembahyang Ilalang
Sembahyangku ilalang di padang yang terbentang. Seperti bisik angin mengusik gemerisik dzikir dan doa-doa panjangku. Merebah dalam sujud khusuk, serasa menari dibuai cahaya maha cahaya yang terang benderang. Jiwa pun melayang dalam liukan selendang gairah peribadatan. Rebah dan bangkit di kerumunan jemaat ritmik dan wisik. Itulah sembahyangku. Ilalang yang kadang vertical seperti pedang, ilalang yang kadang melilit bagai tambang, ilalang yang mengikat pertalian jiwa untuk kebesaran sang maha agung pemilik laut darat dan gunung. Kelak datang pagi ilalang menari, disaat datang bentangan siang ilalang tak luput berkalang selendang, di saat malam kelam ilalang pun menganyam mimpi dengan dzikir yang sunyi.
Sembahyangku ini ilalang di lautan savanna, berlarian seperkasa kuda troya, bersemedi sekekal batu yang sunyi, bersinar sebagaimana mustika mutiara dengan cahaya berpendar, berpeci rembuan malam, bertopi matahari siang, bersarung lembutnya udara gunung, bersajadah darat dan lautan, Sujudku ilalang bergoyang, semediku ilalang bertapa. Mengelana jagat fana dan dunia maya
Sembahyangku ini ilalang di riung gunung, menenung malam meredam tenung, meraja siang di kala murung, melayarkan sayap burung jadi kalung dan biji tasbih itu berbutir menyuarakan mendung yang melengkung di rasa laksana lembayung mengkelung sampai ke jantung.
2011.
Nurochman Sudibyo YS
Menghitung Siang Menjumlah Petang
Menghitung siangmu serasa dibawa terbang oleh angin. Matahari terus menyered bayangmu perlahan, namun sore itu kucoba menjumlah petang dimana diammu. Semasih ada senyum kekal di setiap perbincangan dan cinta kasih itu bukanlah transaksi jual beli atau semacam reinkarnasi hati
Menghitung siang pun terasa abu-abu diantara panas yang menyerbu dedaunan ragu dimakan hasrat pilu merayu apa yang kau mau. Kekecewaan selalu datang menjelang sabtu dan kembali berminggu-minggu berikutnya sesobek catatan membuatku pilu. Padahal tak ada keraguan atau keniscayaan yang harus dibangkitkan satu-satu
Menghitung Siangmu terbayang amuk dan kecemasan yang diramu syahwat juga cinta yang amblas di seduh susu coklat dan segelas es kopi di tenggorokan sunyi. Jika saja dibiarkan berkelebat maka seperti kembali mengingat awal kita bertemu tak ada kesepakatan yang harus disudahi atau memulai pengingkaran yang tak ditawar
Menghitung Siang pun tak seharusnya menggunakan takaran kasih dan sayang, apalagi jika diperbandingkan dengan gerak sepatu atau suara kendaraan yang pecah di pekak telinga yang membuncah. Bukankah balon-balon keceriaan yang kau tiup setiap datang kasih sayang itu sudah cukup bagimu untuk tidak selalu menitipkan pesan dan alamat pendek di jerat cinta dan belenggu dosa-dosa yang tak mudah terhapus dengan sengaja
Menghitung siang menjumlah petang seperti menerima cinta dalam ampunan semua dusta juga semua impian yang poranda karena kita tak mampu menjaganya seperti menimang bayi-bayi kecemasan, setiap kali datang pagi dan siang menjeritkan terror juga informasi yang mengagetkan perasaan kita sebagaimana suara bom atau petasan yang dibunyikan di hari lebaran sehingga mencipta berjuta terror dan kecemasan.
Agustus 2011.
Nurochman Sudibyo YS
Gemerisik Dedaunan
Setiap kali membuka pintu di pagi gulita, setiap kali itu juga kusaksikan daun-daun jatuh dari pohon besar yang membuat rindang rumahmu. Namun seluruh daun-daun kering itu mengusik kegelisahanku akan peristiwa demi peristiwa yang datang dan pergi selama aku menyatu dengan kehidupanmu. Daun-daun kering coklat dan kekuningan itu seperti menari di udara dingin yang tak menyimpan ingin. Berserakan di lantai pelataranmu yang acak menyimpan bunga-bunga Kamboja kerdil juga sirih gading, lidah mertua, sancivera, gelombang cinta dan kemuning yang lara. Sebab tangan mungilmu jarang menyentuhnya dengan siraman teduh atau cukilan hangat mengolah tanah. Tak ada taburan pupuk. Padahal sudah berkali daun-daun berserakan menggemerisik di plataran, disapu ke sisi tembok luar pagar cintamu. Lalu kau bakar hingga bersisa abu singit dan kepul asap yang pengak. Rumahmu memang hanya jadi surga bagi tetanggamu yang mencinta buah rambutan, sawo kecik. Meski kadang harus mengusir daun-daun kering dengan serta merta mengundang gemerisik igauan juga sapaan penuh misteri.
Setiap kali membuka pintu di pagi ceria kugapai sapu lidi dan menggiringmu ke panas api pembakaran. Sesudah kukumpulkan gemerisiknya di plataran hunian rumah dan istanamu yang kelabu. Di sini tak lagi kutemui kilatan cahaya di lantai, atau indahnya mutiara di kamar mandi atau di kamarmu yang dipenuhi puisi juga lukisan masa lalu yang meneriakkan kasih sayang, cemburu dan kecemasan. Aku bukan pembasmi. Sebagai asesoris yang tengah dipajang untuk menyulut setiap kali sampah gemerisik itu terkumpul. Lalu kita bareng menyemprot abunya untuk disimpul jadi pupuk di antara kumpulan koleksi bunga-bunga yang dipajang sebahgai mahkota cintamu.
Gemerisik daunan mengusir anak-anak ayam, kucing juga tikus dan cerurut menerobos batas pengandaian agar kian terpagar jadi pembatas duka lara ini.
Agustus 2011.
Nurochman Sudibyo YS
Oh, Sahur Malam
Jika saja bosan dengan menu yang diulang bangkitlah lalu bersihkan muka dengan kesiapan doa-doa jelang lanjutan pertapaan siang nanti. Maka nikmati makan malam ini usah dikunyah dalam hati, karena setiap hadiah yang diturunkan Allah lewat tangan-tangan tengadah, merupakan anugrah bagi cinta. Selayaknya manusia yang sedang mencoba-coba mempertimbangkan sakit dan sehatnya. Demikian juga nikmat makan syahur malam ini juga bukan sekedar peribadatan yang dironce seperti tasbih atau doa-doa seusai diberangkatkan.
Oh, Sahur malam kini mengulang hari-hari tahun lalu dimana kita bersama merayakannya sebagai waktu yang tak Cuma datang tiba-tiba atau dengan tujuan menyiksa batin untuk meraba sejauh mana kasih sayang yang tengah dipertimbangkan untuk sebuah pengabdian dan sembahyang kita yang timbul tenggelam. Karena setiap makan malam juga syahur yang dipertautkan adalah juga sebuah perjuangan mencapai cita-cita atas kegagalan demi kegagalan juga timbunan dosa-dosa yang tak luput dari hisab untuk diperhitungkan kelak amal baiknya.
Jia saja bosan dengan menu yang disajikan malam ini, maka berfikirlah dengan tenang. Sudah seberapa banyak jalan yag dilalui atau kemampuan memori kita mencatat pahala yang sulit realitanya untuk didiskusikan dalam mickrofon atau melalui wacana diam di kesunyian. Sekalipun Allah tahu tak berteriak pun Ia malah tahu segala yang sedikit kita ketahui. Hari penuh nikmat dan kasih sayang. Oh, Syahur nikmat dan pahalanya juga Puasa keberanian menahan atau menguji jiwa untuk tidak lagi-lagi mengingkari KaruniaNya.
Agustus 2011.
Nurochman Sudibyo YS
Maafkan Anakku Roomy
Maafkan anakku Roomy, jika bapakmu tak bisa menjahit sarung yang mulai sobek, sedang Ramadhan belum berakhir dan mungkin tak ada akhir selain dengan ungkapan dzikir. Apalagi baju koko dan kopyah yang dulu aku belikan sudah tak cukup lagi di badan. Sendal jepit yang biasa kau kenakan sudah berkali keluar masuk jahitan. Mungkin sampai lebaran tak akan ada baju baru untukmu. Sebab ayahmu masih tinggal di sebuah negeri yang kelam, dan mungkin juga tenggelam. Hanya karena doamu yang bisa menyelamatkan aku. Sehingga tiap kali berbuka bisa kembali kukirim es kelapa muda untuk kalian bertiga. Atau kukirim juga beberapa kilo ikan segar hadiah dari kawanku untuk menambah protein kalian sehingga semakin getol untuk belajar. Memaknai hidup juga kefanaan yang diotak-atik laku lampah kita sendiri yang harus kita sadari sebagai sebuah catatan sejarah yang dipertuan sisa-sisa makanan dan racun sandakala.
Maafkan Anakku Roomy jika bapakmu tak bisa lagi mengajakmu memilih celana jeans dan kaos juga baju, kopyah baru dan sajadah di hari lebaran. Karena aku masih belum tuntas menyelesaikan ruas-ruas perjalanan yang mesti dilewati dalam hitungan hari, tanggal bulan dan tahunnya. Namun setiap kali sembahyangku ini mengulum doa untuk kebahagiaanmu, sebab setiap bait doa ini kuyakini ada banyak harapan tersimpan dan kupahami kelak dapat jadi sebuah pintu kebahagiaan dimana semua keinginan dapat terwujud untuk apa yang disebut rasa takut dan kalut sengkarut sebelum kemudian aku menghadapi syakratul maut.
Agustus 2011.
Nurochman Sudibyo YS
Manisnya Gerimis Parang Tritis
Suatu senja di kotamu Yogyakarta, kenangan manis mengenang perjalanan spiritual yang tak mudah dilupakan. Apalagi selain cukup banyak desir angin dan pasir berpindah yang membuatmu gundah. Mengantar gelisah Koran-koran menulis puisi untuk kemudin diterbangkan dalam emosi pertautan angin dan mega-mega.
Suatu hari ku kembali menyapa pantaimu Yogyakarta, karena ada cukup banyak cerita memendam hasratku untuk menulis puisi di sendang dan batu-batu. Tapi pantaimu menyuarakan cerita yang dikafankan kematian demi kematian atas kesalahan warna atau curamnya lapisan bumi di batu karang atau ritmis gerimismu yang menyisakan tangis dan airmata.
Manisnya gerimis Parang Tritis seperti juga kisah tragis hilangnya penyair dan penari kata-kata yang pergi dari kota tua untuk kemudian lenyap atau dilenyapkan selama-lamanya.
2011.
Nurochman Sudibyo YS
Semedo Suatu Hari
Suatu hari sebelum bulan puasa kau ajak aku menyaksikan keperkasaan lembaga sosial yang hendak menancapkan bendera kemanusiaan di sebuah desa dengan pasukan serdadu dan puluhan pasang mata simbol kesaksian di tengah kebisuan yang mungkin saja memunculkan ketidakpahaman akan lembaga yang kau banggakan benderanya. Padahal sudah setengah tiang aku kibarkan benderaku sendiri namun nasib menempatkan kami di sebuah tempat yang tidak mungkin disejajarkan dalam barisan sang penerima. Bahkan sebagai lapisan pemberi pun bukan disitu tempatnya. Karena Jujur saja apa yang kami punya hanya doa dan upaya untuk tetap hidup berdampingan denganmu.
Semedo suatu hari, harus jujur kukatakan. Kami hanya berhasil memotretmu menjadi semacam Diary. Sedang kemampuanku ini tak lagi bisa mengurai dahaga dan kelaparan yang menunggu di sebalik pintu. Sedang wajah-wajah renta yang berjejer menanti belas kasih itu tak cukup bias diajak menikmati segelas teh atau sepincuk ponggol dan mengunyak kerupuk.
Semedo anak-anakmu begitu lucu bisa berbaris menyatu padu untuk antri menerima uang baru dua ribu rupiah setelah bernyanyi dan bermain kereta atau ular-ularan di situ aku mengenang tupukan tulang batu jutaan tahun lalu yang dikumpulkan oleh pak tua yang tak sengaja mengakrabi sungai mengolah batu koral menjadi materi penukar nasi dan berupaya agar mengepul sepanjang waktu dapur pawonmu.
Semedo suatu hari aku tak cuma ingin berziarah tak tentu arah di dua pusara yang dikafani dan dijadikan rumah semedi namun juga memberi senyum ceria untuk anak-anak yang berkejaran menyambut kami menuruni batu undakan limaratus meter dari rumah jurukunci yang pernah tercatat sebagai kepala desa di Semedo yang bersejarah namun tak memberi ruang untuk dijadikan realita bagi sejuta tahun dalam catatan budaya mausia Jawa dengan penuh tanda tanya. Semua ditemukan dan mencoba diselamatkan lelaki tua bukan untuk dipajang, namun terus dinantikan menjadi museum sembari menghormati jasa Semedo suatu hari nanti.
2011.
Nurochman Sudibyo YS
Tusuk Saja Mata Ini
Tusuk saja mata ini jika berat membiarkan jalan lempang untuk kehidupanku yang sederhana ini. Sudah lelah kubaca semua buku catatan harianmu yang penuh ragu dan mengalirkan kecemasan yang lain. Padahal sudah cukup banyak kutarikan cerita bahkan puisi untuk menjadi catatan baru untuk perjalananmu yang tak lagi diiringi kesunyian.
Tusuk saja mata Ini kalau memang tak bisa menghalau kecemasan yang dikelabang kisah pedihmu bertahun lalu, atau mungkin Cuma ini yang kau maui dan memang Cuma itu yang aku punyai. Jadi puaskan saja hasrat cintamu untuk kemudian menjadi segelas agur yang memabukkan impianmu akan beruas harapan juga impian tentang kisah yang harus dipertanggungjawabkan
Tusuk saja mata ini apabila tak lagi kau percaya setiap apa yang terucap bahkan diperbuat setiap saat dimana awal dan akhir pertemuan bukan lagi kita yang membuat narasinya seperti juga belati yang pernah ditancapkan di betismu mungkin sudah tak lagi menyisa sakit bila kau turutkan kata hati juga keinginan yang satu ini tak terpuaskan
Tusuk saja mata ini apa bila menurut perhitunganmu akan merusak bangunan yang sedang kau susun secara acak sebagaimana kontruksi dan keberadaannya. Lalu sudahi semua ketakutan dan kecamasan yang meraja di lubuk hatimu yang katanya sudah sebegitu berat menimbun pasir luka, batu-batu kesakitan juga tak berhasil kau jadikan semen perekat untuk kekuatan cintamu yang penuh misteri dan haru biru itu.
Agustus 2011.
Nurochman Sudibyo YS
Sebatang Rokok, Juga Sebilah Golok
:Bagi Nazaruddin
Ingin kubunuh gelisah di ruang tanpa dinding seperti ini dengan menyelesaikan pesta amuk atas keliaran di benakmu yang tertimbun. Berbungkus-bungkus rasa sudah kuselesaikan mengawali album perjalanan ini, dengan nikmat. Sebatang rokok, dan sebilah golok terhunus di pojok pagar rumahmu. Tanpa jendela dan genteng yang rontok dilanda panas kemarau tahun ini. Karena setiap menepis lapis gelisah, anganku tersingkap, cahaya rembulan terhalang pedang di balik topi hitammu. Tak henti menyelesaikan catatan tentang perilakumu di bumi, menurutkan hati juga gairah ini. Lelaki muda dengan kumis dan janggut dikerok itu bermimpi jadi polisi. Berlari mengendap-endap di antara pepohonan di batas negeri yang terus jadi pusat sembunyi. Kubiarkan saja atau segera menangkapmu seperti nyamuk yang diintrograsi. Mempertanyakan pernyataan lama dengan janji membongkar semua rahasia yang selama ini misteri. Hari-hari dinanti jadi puncak kenikmatan yang tersedu di setiap perjumpaan. Berlalu di tiap sedotan atau hisapan mencapai titik kulminasi kejenuhan. Menanti dan terus menanti. Hingga sampai waktu harus dilampaui untuk dilaksanakan. Serasa menyaksikan sebuah pertunjukan teater di panggung kerbau berkubang. Mana janjimu wahai lelaki dengan istri berperan ganda. Di negeri yang banyak dihuni masyarakat berotot kawat ini, tidak bisalah kau bagi sedikit saja informasi acak meski hanya selarik puisi atau sandi yang selama ini kau yakini akan membuatmu terbebas dari kutukan anak negeri ini. Atau akan kau teruskan dengan menggurat sejarah kebusukan. Lalu mana cinta putih kebanggaanmu itu. Jika bisa kau selesaikan untuk sebuah menu pesta olah raga. Mengapa tanah yang diprakarsai jadi ladang persoalan itu juga jadi medan pertumpahan darah. Sedang kau masih kerbau yang meninggalkan tapak perjalanan. Jujur, aku suka caramu berganti baju, manglih rupa kolaborasi uang dan paspor. Wahai aktorku, Aroma wangi permainan yang kau bangun di negerimu sudah tercium seluruh mesin pembau manca Negara yang tak pernah segan terbakar semangat mencari dan terus menahanmu kembali meski dengan tawar menawar. Satukan saja sisa kearifan jabatanmu, karena senar gitar sudah disetel untuk melantunkan lagu rok umpet dan suara bisik-bisik di telinga tetangga itu mungkin saja bisa jadi penjara. Seperti borgol dan ancaman hukuman yang tak henti mengancam kisah asmaramu di lumbung rakyat membara, sementara kisah panen raya dihimpun dalam kelompok berbendera biru itu terus diperketat untuk tidak dibuka kran ledengnya. Sulit kah mempertemukan baik buruk melepas kesadaran dan keringanan yang dijanjikan. Sampai tersedia berlapis surat ancaman dijadikan alat peribadatan. Atas semangat keaktoranmu memaknai bahasa sunyi. Kucoba menarik nafas panjang, namun tak juga berhenti membungkam. Bernyanyilah karena ingin rasanya aku merubahmu jadi aktor terbaik tahun ini, agar bermunculan peran lain yang mampu membuka jalan bagi layar pertautan tentang kisah kembar yang terbakar. Kami Cuma mampu memanggul cangkul dan memainkan ani-ani untuk memperoleh sedikit bau melati, sepenuh sesaji nurani. Kembali kubalut tubuhmu dengan mantel tikar pandan juga seragam biru di ruang berterali ini. Akan kulilitkan tubuh dengan ikat pinggang di lubang paling asing di celana panjang ini, sembari melabuhkan subuh di atas kefanaanmu. Berputar-putar mencari dan meredam kemarahan maha dahyat untuk memasang granat di tubuhmu kemudian diledakkan sebagai barometer atas keangkuhanmu selalu memanfaatkan peluang atas kerakusan menyantap kelezatan milik rakyat sepanjang zaman.
Agustus 2011.
Nurochman Sudibyo YS.
Song For Solitude
:Balada Baridin-Suratminah
Usai pesta kebun, daun-daun rontok rimbun menepis belantara embun. Hingga halimun tersikap, matahari tak henti menyerap pori-pori bumi, mengguris jejak gemulai. Perempuan menari sembari berlari di antara desa-desa yang terus berjalan. Meniti ke puncak pendakian, hingga lampaui jalanan berlumpur. Tarian lulur dari tanah berkubang. Ladang pencerahanmu duhai gadis kemayu. Di gubuk beratap ijuk, dengan tegalan berumput, kau olah cinta jadi bantalan kereta, hingga tanah membekas tapak kerbau. Di bajak seharian, ditebari benih kasih bertabur pupuk, lalat dan kotoran hewan. Aku suka bau tanah sawahmu. Wahai Ratminah gadis kemayu. Aroma jerami membusuk juga asap batang padi yang sangar terbakar. Menyatu dengan kearifan suaramu, saksofoun berbisik unik, meliuk seksi. Seperti ani-ani yang tak henti menyulutkan asmara di lumbung yang membara, memanen seluas ladang-ladang cinta. Serasa mempertemukan bapak Dam dan mbok Wangsih melepas kesadaran. Sampai Baridin lunglai di puncak peribadatan. Gelinjang elok tarianmu serasa gairah bahasa sunyi, didera nafas panjang yang tak juga berhenti bernyanyi. Ingin rasanya segera merubahmu jadi bermilyar cahaya, agar ikut gemerlapan sebagaimana jalan-jalan yang kau layari dengan taburan selendang dan sepasang kembar mayang. Bunga melati, bertautnya hati dipenuhi warna-warni sesaji sanubari. Kembali kubalut tubuhmu dengan bermilyar warna. Sedang aku melilitkan diri pada kanvas dunia dan kefanaanmu, sembari terus berputar-putar mencaricari keheningan ritual Ajian Kemat Jaran Guyang mengusir marah, benci, dendam dan cinta. Laksana hujan cahaya di Jagapura, dupa-dupa wangi kesturi berdenyar jadi kubur yang kembar.
2011.
”KEMAT JARAN GUYANG”
Oleh: Nurochman Sudibyo YS.
Dari 6 potongan adegan yang kusimpan dalam folder. Naskah terbukukan, “Migrasi dari Gamelan ke Gitar dan Suling”. Agak lama tertata di lemari tua. Tarling dan muasalnya dalam sampul coklat tua nan lusuh. Belum bisa dikatakan sebagai sinopsis. Cerita mitologi masyarakat Pantura; Tegal, Brebes, Cirebon, Indramayu dan entah merambah pula ke seantero nusantara. Tiba-tiba ingin sekali meringkasnya jadi drama yang menegangkan. Kisah masyarakat petani dan nelayan. Serasa mengalirkan sungai dengan komposisi dawai dan liukan seruling di panggung legenda yang dikemas tragis semalam suntuk.
Aku teringat kisah Shakesphiere dengan Romeo dan Yulietnya. Saat mana pesta tasyakuran menjadi ajang pentasmu. Di panggung berpuluh tahun lalu, untuk kedua kalinya saksikan malam purnama. Di bawah rindang pisang, dibatas pagar bambu antara 70-80an dibumbui tarian atraksi lokal gadis bergoyang tari jaipong.
Kudengar malam menyebutkan tajuk acara, Ajian Kemat Jaran Guyang. legenda Baridin dan Suratminah, dan aku menyebutnya cinta yang kandas. Namun ingatan itu semakin menempatkan aku jadi "BARIDIN" , menembangkan puisi berirama gitar dan suling.
Aku jejaka tua, penunda lajang. Bergaris ekonomi yang menjepit, karena ayah tak lagi mengenal pulang dan pailit. Kupilih berteman dengan ibu. Mbok Wangsih, buruh tani dan penjual pisang. Aku Baridin. Kepada Mbok Wangsih di gubuk bambu yang sederhana. Di pinggiran bengawan dengan sepuluh pohon pisang juga nangka welanda. Satu tandan masak di pohon. Ibuku janda yang mendidikku hidup. Aku si tukang mluku, petani pembajak sawah. dan kau tau kerbau penariknya, kupinjam dari Pak Haji Darkum.
Sapai suatu hari Mang Bunawas beri tugas membajak sawah di batas desa. Secepon tumpeng dan bekakak ayam, untuk pengikat, juga wang bayaran. Upah kuterima padahal kerja belum kulakukan. Pagi melepas sarapan. Weluku kupanggul menuju lahan tujuan. Sebuah desa pinggiran kota sumber Bawang, Bapak Dam saudagar kaya raya, dengan modal kesombongan, sikap angkuh dan pelit jadi modus berkelit, hidup bersama anak gadisnya. Perempuan bermata teduh, cantik dan tubuh yang sempurna. Suratminah sebutan kesehariannya. Rumah besar berhiaskan taman, arsitektur mewah, dan Bapak Dam, pagi itu melepas putrinya ke pasar, memenuhi kebutuhan hidup. Sebagai keluarga tanpa ibu, tanpa pembantu, sudah terbiasa pula dengan kewajibannya.
Sepeninggal sang anak, Haji Damiri berkelakar diantara tetangganya. Seperti kebiasaan buruk memamerkan harta benda, namun giliran menugaskan apa saja, baqhil pula ulahnya. Begitu pula saat tukang ramal mompar mampir, Bapak Dam tak mau membayar jasanya, karena dalam ramalannya ia akan jatuh melarat dan anak perempuan satu-satunya diprediksi bakal gila. Ia usir sang peramal sembari mengumpat dan terus mengumpat sampai bersijingkat.
Di pinggir jalan sebelum masuk pasar Brebes, Ratminah digoda pemuda brandalan yang memuji kecantikannya dengan harapan disambut baik, Tapi Suratminah malah menghardik. Dengan angkuh sebagai wanita anak orang terkaya di kotanya. Ratminah pun berhasil melawan. Namun niat berbelanjanya tertunda. Hari itu ia dikesalakan meladeni kekurangajaran para brandal dan munculnya Baridin yang mengajak berkenalan, menemani kencan dengan weluku sebagai andalan.
Pertemuan Suratminah timbulkan gejolak asmara, Baridin pun jatuh cinta. Ia merayu dengan tembang penuh sanjungan dan bunga-bunga. Namun suratminah dengan seenaknya membolak-balikkan kata, berkelakar pada Baridin sembari terus mengejeknya. Baridin dianggap tak bercermin. Dirinya hanya pemuda miskin. Dengan pakaian compang camping, celana rombeng berhiaskan tambalan dan bau tubuh pengak sebagaimana harum keringat para petani di siang hari.
Lalu datang anak-perempuan bertubuh kecil teman bermain Suratminah ikut mengejek Baridin. Mereka bucahkan perhatian Baridin yang asik merayu Suratminah. dengan tembang klasik yang membuatnya berisik
Gara-gara pertemuannya itu dan kesannya pada Baridin, Suratminah gagal belanja. Ia kesal dan pulang. Begitu juga Baridin. Ia gagal berangkat ke sawah Mang Bun ia kembali dengan wluku yang masih kering. Di punggung tubuhnya yang kurus kering.
Mbok Wangsih kaget bukan kepalang, hari masih siang, anak semata wayang yang selalu dikudang malah pulang dengan berdendang. persoalannya karena uang bayarannya dan brekat tumpeng sudah habis dimakan. Sementara Weluku milik Baridin tak berbau lumpur. Baridin terdiam dikebisuan, ia asyik melamun. Membayangkan pertemuannya dengan Suratminah. Ia lupa apa yang ditanyakan ibunya. Bahkan saat Mang Bun datang menanyakan gagalnya Baridin menggarap sawah. Dengan santai ia mengucap. “Kalau masih ada esok kenapa harys ada marah?,”
Mang Bun meminta uang dan Brekatnya dikembalikan. Baridin dengan santai meminta agar ibunya menyerahkan apa yang Mang Bun pinta. Mbok Wangsih gelisah, bagaimana harus mengembalikannya. Brekat sudah habis dimakan, Uang telah ludes dibelanjakan. Baridin pun dengan santai menjawab ; “kalau tak ada, ya gunakan saja sarungku sebagai jaminan”. Mang Bun akhirnya menerima saja Sarung kebanggan Baridin, meski sudah bau apek dan buluk dimakan lapuknya usia.
Mbok wangsih malu pada ulah anaknya yang cepat sekali berubah. Namun ia menjadi girang manakala Baridin berterus terang. Diceritakan kalau dirinya tengah jatuh cinta pada seorang wanita. Dan, ia menginginkan gadis pujaannya itu menjadi teman hidupnya. Bayangan Mbok wangsih, akan punya menantu, selanjutnya kelak akan menimang cucu dan rumahnya bakal diramaikan suara bayi. Namun ia menjadi kaget bukan kepalang manakala perempuan yang dicinta anaknya adalah gadis kaum berada. Suratminah anak saudagar kaya kota Brebes pula. Tapi karena saking cinta dan sayangnya pada Baridin, Mbok Wangsih tak kuasa menolak permintaan untuk melamar Suratminah binti Haji Damiri.
Berbekal setandan pisang imbuhan, dari pohon samping rumahnya. Mbok wangsih berangkat menuju Brebes dengan petunjuk arah putra terkasihnya.
Di rumah H. Damiri, di pinggir utara Kali Pemali kota Berbes. Rasa bingung mengiang dikepala Bapak Dam. Anak perempuannya pulang dengan wajah cemberut sembari memulangkan uang belanja. Saat ditanya berbagai hal Ratminah yang masih kesal dengan anak-anak pemuda tak menjawab. Apalagi jika mengenang Baridin yang tiba-tiba jatuh cinta dan mengutarakan hasrat hatinya. Ratminah pusing karena menyimpan kesan tersendiri pada Baridin yang lucu, lugu dan konyol itu. Namun dia harus tetap angkuh untuk menunjukkan status sosialnya sebagai anak saudagar kaya.
Bapak Dam mengingatkan Suratminah untuk menikah, ketimbang sering kali digoda pemuda. Harapannya Suratminah menerima lamaran siapapun dari pemuda yang dicintainya. Bapaknya ingin isi rumahnya ada tangisan anak manusia yang lain, tidak seperti hari-harinya yang senyap. Kalaupun ada suara cuma kicau burung, salak Si Bopi, anjing peliharaan dan suara Tokek menghiasi rumahnya. Ratminah diam membukam saat ditegur ayahnya. Dia bingung, siapa yang kelak harus dipilih sebagai suaminya. Sejujurnya ia malas ke sekolah. Namun begitu ia belum mengerti soal cinta.
Sampai kemudian Datang bergantian para pelamar yang disambut keceriaan Bapaknya. Sayangnya setiap kali datang pelamar setiap kali itu juga Ratminah menolak. Sampai kemudian semua pelamar yang di tolak berkumpul, diantaranya Seniman tarling, Saudagar, Juragan, dan seorang kondektur bus. Secara bersama-sama melakukan penyerangan mengejek dan menghujat Ratminah dan bapa Dam. Dasar orang kaya berkuasa pula. Bapak Dam dan Suratminah, berhasil mengusir lelaki gagal melamar itu. Namun baru saja hendak masuk ke ruang tengah, rumah kembali bergetar, diketuk seorang wanita yang datang sembari terheran-heran menyaksikan kemewahan rumah bapak Dam. Suara Bopi tak henti menyalak, ia mengira perempuan itu pengemis tak diundang.
Saat dibuka pintu Ratminah langsung beri sedekah. Perempuan itu menolak. Aku Mbok Wangsih, Ibunya Baridin. Dan Ia kembali tertegun dengan kecantikan Suratminah. Pantaslah jika Baridin terpesona ingin meminangnya. Suratminah memanggil bapaknya mendengar perempuan itu punya tujuan bukan hendak mengemis. Bapak Dam bertambah kesal. Baru saja ia dipusingkan ulah arogan para pelamar yang ditolak Suratminah, datang lagi perempuan aneh. Semakin mangkel pula manakala Mbok Wangsih mengutarakan hasratnya melamar Suratminah untuk Baridin, putra yang dicintainya.
Mendengar itu Bapak Dam serta merta menghina, mengejek kemiskinan mbok Wangsih. Hanya pisang setundun, hendak melamar anaknya. Selain tertawa, bapak Dam, dengan keras menolak dan mengumpat kelancangan Mbok Wangsih. Namun Mbok Wangsih justru memaksa minta lamaranya diterima, demi anak lelakinya Baridin. Mbok Wangsih meminta Surtaminah untuk menjawabnya.
Manakala Bapak Dam menolak dan menghina dirinya, Mbok Wangsih masih maklum. Namun mendengar Suratminah menolak lamaran, bahkan dengan keras ia menendang, dan meludahi mukanya sembari melemparkan pisang bawaan ke tubuhnya. Hati Mbok wangsih sakit perasaannya terkoyak. Ia menyalahkan Baridin yang tak bercermin dahulu sebelum menentukan keinginannya. Dengan tubuh lunglai dan hati yang robek Mbok wangsih meninggalkan rumah bapak Dam. Kesal dan marah pada Baridin.
Di gubug bambu beratap rumbia, Baridin menatap langit bercahaya rembulan dengan keindahan semburat merah yang memancar bagai impian dan harapannya yang berpendaran di kepala. Sedang asyik melamun hingga ke puncak harapannya dapat menikahi gadis pujaannya Suratminah berkat usaha ibunya yang kini tengah seharian melamar dan belum pulang. Baridin dikejutkan dengan kedatangan Ibunya yang datang dengan wajah sedih dan buntelan pisang yang masih utuh.
Baridin pun bertanya, barangkali saja ibunya kecapean karena tidak berhasil menemukan rumah Suratminah. Namun apa yang dikiranya justru terbalik. Ibunya gagal melamar Suratminah menjadi istrinya. Baridin tertegun dengan apa yang diceritakan ibunya.
Marah dan keperihan hati ibunya masih bisa diterima oleh Baridin, karena ia mengakui kemiskinan yang selama ini menjerat hidupnya. Namun sikap angkuh Bapak Dam dan Suratminah yang tak disangka dengan begitu berani menghina dan meludahi wajah ibunya, justru yang membuat Baridin menjadi sakit dan mendadak sontak ia robah cintanya menjadi benci, kemarahan dan dendam pun tak tertahankan.
Ditambah lagi manakala mbok Wangsih mengusirnya, karena merasa dipermalukan oleh sikap tolol Baridin. Mbok wangsih dengan kemarahan yang meluap, malam itu mengusir Baridin dari rumahnya sendiri. Mbok Wangsih malu dengan sikap anaknya yang tak mempertimbangkan kemelaratan yang melanda keluarganya.
Baridin, sembari menahan tangis dan batin yang tersayat, terus berjalan di kegelapan malam. Baridin berjalan sampai jauh ke arah Kulon, sembari mengumbar dendamnya. Sampai kemudian ia bertemu sahabat karibnya.
Gemblung Binulung. Teman dengan wajah gemblung tapi suka menolong. Gemblung prihatin atas nasib Baridin. Kembali berniat menolong meredakan api cinta Baridin pada Suratminah. Baridin tidak percaya kalau Gemblung yang berwajah bloon itu mampu memberi pertolongan atas nasib sialnya. Tapi setelah gemblung menunjukkan ajian peninggalan mendiang bapaknya, dan Baridin mencoba membaca rapalan dari kertas tua berjudul Ajian Kemat Jaran Guyang, ia pun lalu percaya.
Atas nasehat sahabatnya Baridinpun kemudian mandi bersuci, melakukan niat berpuasa pati geni selama 40 hari empat puluh malam, dengan membaca niat di malam kelahirannya sekitar pukul 12 malam. Malam itu dalam keremangan, suasana yang wisik. Baridin Merapalkan Ajian Kemat Jaran Guyang.
"niat isun arep ngemat...dudu ngemt-ngemat tangga dudu ngemat wong balik pasar, sig tak kemat bocah wadon sing gembleng, ayu rupane, anake bapa Dam, wong sugih ning kota Brebes. Yen lagi turu gage nglilira, yen wis nglilir gage tangia, njenggeleka, mlakua lan brebngenea karo mlayu-mlayu kaya jaran guyang........."
Alam pun tiba-tiba bergetar. Langit memunculkan udara panas. Bau kemenyan yang lemah merambah ke mana-mana. Ratminah yang merasa baunya terbangun dari tidur. Ia yang lemah imannya dan yang dalam hidupnya selalu sombong bahkan kerap berlaku angkuh, malam itu dibangunkan dari tidur.
Di rumah Bapak Dam, menjelang jam satu pagi. Dikesalkan dengan bunyi tokek yang berulang-ulang. Kekesalan Bapak Dam dikarenakan saat dihitung suara tokek itu, jatuhnya selalu pada hitungan miskin. Begitu juga saat dibalik tetap saja pada hitungan miskin. Begitu juga disaat penabuh Tongprek lewat tengah malam. Yang aneh dengan belum tidurnya bapak Dam. Saat ditanya soal Bunyi Tokek pun Bapak Dam malah kecewa dan ngedumel sendiri.
Pagi hari kekesalan pun terus bermunculan. Bapak Dam kaget dengan ulah Ratminah yang malas-malasan dan sedikit-sedikit tertawa dan cengengesan sendiri sambil mengucap dan menyebut-nyebut Kang Baridin. Sementara Bapak Dam tak mengerti siapa itu Baridin.
Kekesalan Bapak Dam, semakin bertambah saat meminta Ratminah nggodog Wedang, setelah ditunggu lama ia muncul membawa golok. Saat disuruh mandi dia malah diam sendiri. Lagi-lagi Ratminah menyebut kata Kang Baridin secara berulang-ulang. Bapak Dam tambah bingung manakala anaknya berdandan dengan pakaian yang jelek dengan rambut diuraikan tak teratur lalu keluar rumah sembari bertanya pada tetangga tetangganya; ‘dimana ya Kang Baridin?
Ratminah terus berjalan dan semakin jauh meninggalkan rumah serta bapaknya. Ia berjalan dengan cepat, berlari seperti kuda yang tak kenal lelah. Ia berteriak-teriak seperti jeritan kuda kesakitan sembari menyebutkan nama; Kang Baridin. Ratminah lupa makan lupa minum. Ia teriakkan keinginannya untuk bertemu kang Baridin. Ratminah terguncang jiwanya. Sikapnya berubah labil. Dia memuja Baridin dan berjalan cepat sembari mengundang nama Baridin. Ia menjadi tertawaan anak-anak karena dia layak disebut Wong Edan.
Bapak Dam pun secara serentak jatuh miskin. Uangnya dihambur-hamburkan untuk memberi upah pada tetangga dan orang-orang yang mengaku bisa menyembuhkan Ratminah dan siap mencari Suratminah. Namun tidak ada yang berhasil. Sampai suatu hari ia mengalami kerugian besar, karena orang yang mengira berhasil mendapatkan Ratminah dengan ciri-ciri rambut Terurai dan pakaian rombeng dan setiap kali menyebut kata Baridin ternyata salah. Bukan Ratminah. Perempuan yang juga menjadi terlunta-lunta mencari Baridin adalah Mbok Wangsih. Akibat salah persepsi itu, Bapak Dam akhirnya pergi meninggalkan rumah, entah kemana ikut berjalan tertatih-tatih mencari anaknya sembari menangis.
Mbok wangsih dalam kondisi terikat, dalam kekuasan Bapak Dam akhirnya menangis dan berteriak memohon pertolongan. Dalam teriakannya ia berjanji jika yang menolong seorang laki-laki maka ia bersedia menjadi suaminya. Sumpahnya terdengar oleh Gemblung Binulung. Ia lah yang menyelamatkan Mbok Wangsih dan memberi petunjuk keberadaan Baridin di Desa Jagapura. Namun Mbok Wangsih menolak diajak kawin Gemblung Binulung. Selain usianya masih sangat muda, Gemblung sahabat akrab Baridin. Lebih-lebih lagi karena gemblung itu orangnya ya memang gemblung. Tapi mbok Wangsih tak kuasa menerima kebaikan Gemblung binulung.
Di Desa Jagapura suatu siang. Baridin tengah bekerja membajak sawah sembari menggerakkan Kerbaunya, Baridin bernyanyi mengenang hati sanubarinya yang perih dan merana. Ia masih juga puasa dan belum mau berbuka, sebelum melihat dengan kepala sendiri hasil ajian yang dilakoni atas petunjuk sahabatnya gemblung Binulung. Sampai kemudian Suratminah datang. Di pinggiran sawah yang tengah digarap Baridin wanita itu menangis. Wajahnya yang cantik terbaur debu jalanan. Bajunya compang camping noda hitam dan bau lumpur akibat perjalanan jauh. Suaranya kian serak, karena tersus memanggil-manggil nama Kang Baridin. Ia menangis di kaki Baridin, sembari meminta maaf. Namun Baridin dengan tegar, hanya terdiam. Belum mengeluarkan kata maaf, Baridin malah mbongganaken (menyalahkan) sikap buruk dan kesombongan Suratminah dan Bapaknya yang menghina Mbok wangsih, ibu yang sangat dicintainya.
Ratminah tak kuat lagi menahan cinta dan kasihnya. Ia peluk Baridin dengan sisa tenaganya. Saat itu juga Ratminah roboh. Tubuhnya lemas. Ia meninggal dunia. Baridin tersentak. Penduduk setempat mengebumikan jenajahnya di Pekuburan Desa Jagapura.
Sore harinya menjelang magrib usai tahlillan almarhum Suratminah, Baridin mendadak terjatuh tak kuat dengan kondisi tubuhnya yang lemah. Niatnya hendak berbuka puasa selepas magrib gagal. Ia pun meninggal dengan tubuh meluruk di atas tanah di hadapan majelis tahlil.
Esok harinya masyarakat Desa Panguragan menguburkan jenajah Baridin di samping kuburan Suratminah. Mereka menjadi pasangan cinta yang agung di alam kubur. Sedang kedua orang tua dan sahabat-sahabat yang dicintainya hanya bisa tertunduk haru di makam kedua pasangan yang gagal menyatu menjadi pasangan cinta didunia, akibat dari perbedaan status ekonomi yang berbeda. Tangisan dan airmata berjatuhan dimana-mana. Bahkan saat ku tulis kembali kisah ini. Saya menangis. Menangis, kenapa kemiskinan selalu saja menjadi sumber petaka atas kehidupan manusia di dunia.***
*Disari dari kisah drama tarling “Baridin” Karya Karya H. Abdul Ajib,
Cirebon -Indramayu 2011
Komentar