ETINSITAS DALAM SASTRA Oleh Nurochman Sudibyo YS.

Dalam Saresehan Santai di Kongres Sastra Jawa 3 di Bojonegoro Oktober 2011 lalu Budayawan Arswendo Atmowiloto, menegaskan tidak ada sastra Indonesia klau tidak ada sastra Jawa, dan sastra-sastra daerah lainnya seperti Bugis, Sunda, Batak, Minang, Papua dll. Baik puisi, cerpen maupun novel dan karya naskah drama dari berbagai daerah itu merupakan kekayaan Sastra Indonesia. Karena variannya latar budaya masyarakat Indonesia itulah tak heran jika Ssatra Indonesia dikenal di dunia dengan kekhasan muatan etnisnya.

Kekuatan Etisitas sastra Indonesia baik yang dibuat oleh para seniman, sastrawan di berbagai daerah di wilayah nusantara ini tak bisa ditutup-tutupi karena memiliki kekhasan tersendiri sebagai kekayaan budaya negeri ini. Saat penyair Madura Zawawi Imron menceritrakan laut madura tidak akan sama suasana dan bangunan puisinya dengan penyair lain yang jga memiliki latar laut dalam karyanya sebagaimana ditulis para penyair di Bali, di Lombok, di Pantura Indramayu, Cilacap, Yogyakarta , Palembang dan Sukabumi.

Hal itu selain dapat dibedakan dari bangunan setiap puisinya pilihan diksi yang ditulis oleh setiap penyair atau sastrawan dalam karyanya pun pasti berbeda. Nuansa etnik atau etnisitas yang memberi kekentalan dalam karya sastra Indonesia tak bisa dipilah sebagai genre sastra tersendiri. Dan itu juga berlaku pada sastra jawa atau sastra daerah lainnya. Disebut sastra Jawa karena proses penulisannya menggunakan bahasa ibu jawa. Diberi nama sastra minang karena ditulisnya karya sastra dalam bahasa dan esensi nuansa etis minang. Jadi sangatlah naif jika ada pencetusan sastra etnik dalam geregap sastra di Indonesia.

Sebuah karya sastra entah itu puisi, cerpen novel atau naskah drama saat didalam teks nya diungkapkan nuansa daerah baik itu, jawa, sunda, melayu atau daerah apapun tidak serta merta disebut etik. Hal ini dikarenakan sastra Indonesia tidak mengenal esensi etnisitas secara khusus hanya karena sebuah puisi yang dibubuhi selarik tembang sebagai pemanis , atau dilakukan tehnik pembacaan sebagaimana melakukan tembang dalam lagu jawa yang diserehkan sehingga mengambang dari unsur suluk, tembang pakem jawa maupun sekedar teriakan yang melengking sebagai ciri khas pembaca puisi tersebut.

Pementasan, atau pemanggungan karya sastra baik itu pembacaan puisi, cerpen, naskah drama atau cuplikan novel, meski diiringi musik jawa, sunda atau jenis etisitas lain serta ditunjang dengan kostum batik, tenunan, dilatarbelakangi rumput, daun jati, sampah, kayu, pawon atau appun yang merupakan simbol etisitas bangsa indonesia tetap saja sastra Indonesia apabila itu dibuat dengan teks bahasa Indonesia. Begitu juga ketika ditulis dan dibacakan dengan bahasa ibu jawa tetap saja disebut sastra Jawa dan tak bisa disebut sastra etnik atau sastra jawaan, tegalan, pekalonganan, pemalangan atau brebesan.

Upaya yang dilakukan penggiat seni baca puisi yang kemana-mana digembar-gemborkan Aryoko asal Bojonegoro sebagai Sastra Etik meski memperoleh dukungan finansial dari Anisa Afsal Pebisnis Berlian asal Sukabumi yang juga istri pengusaha kondang Herman Banser nampaknya akan putus diperjalanan apabila masih tetap mengibarkan simbol Sastra Etnik sebagai kekuatan yang ingin ditopang. Pasalnya selain dalam kamus besar sastra Indonesia tidak dikenal juga dalam mata kuliah sastra di berbagai perguruan tinggi di manapun. Namun demikian saya selaku pengamat dan pelaku seni merasa salut dan hormat pada pasangan "Pejuang" Sastra Etnik ini yang hingga perhelatan di Taman Budaya Yogyakarta 12 Mei malam minggu kemarin berhasil mempersembahkan acara dengan tajuk yang sama Panggung Sastra Etnik. Bhakan memperoleh dukungan Hery Leo pengasuh Taman Budaya Yogya dan Kantor Pusat Bahasa di Yogyakarta.

Selama kegiatan berlangsung Pembawa acara Penyair Hamdi Salad, nampak mencoba berkelakar dan memaklumi saja judul ini sekedar untuk melengkapi keramaian atau hiruk pikuk sastra sebagai imbas dari sastra fesbook. Yang aneh dan lucu lagi hampir semua pendukung dalam acara tersebut memahami apa sastra Indonesia dan bagaimana itu sastra Etnik yang tengah diperjaungkan Aryoko. Mereka perwakilan dari bali ternyata pembaca puisi asal bali yang tinggal di Jakarta yang notabenenya juga komunitas baru yang ingin eksis melalui Isue Sastra Etnik.

Ada sederet nama yang juga menambah acara malam mingguan di Taman Budaya Yogyakarta semakin dicatat sebagai hura-hura pembacaan puisi. Sebut saja ada Syam Candramanik yang membaca puisi pendek diulang-ulang sembari menebar bunga, uang dan sepasang ayam putih dan hitam. Ada Kyai Budi dari Semarang yang melafadkan kata seperti puisi dengan tarian gaya rumi. Ada juga penyair murni yang diundang membaca untuk ikut berbungah hati seperti Wijang warek dan Dyah Setyawati. Malam itu pasangan Aryoko dan Anisa Afsal diberi latar dekorasi yang meriah dengan simbol wayang Limbuk berspatu jingjit bergaun merah dengan lelaki berkulit belang berwajah merah menoleh ke kanan dan kekiri seperti tengah bermain warna dalam kehidupan. Ya betul saja Malam itu Anisa Afsal menghadiahi tumpeng untuk ulang tahun Aryoko. Tak pelak Aryoko pun menghadiahi Anisa dua ciuman hangat yang membuat mata publik Yogyakarta semakin terang benderang memandang apa yang dipandang. Dan di sudut panggung seekor kucing belang mencuri ikan penghias tumpeng pemberian Anisa untuk Aryoko. Kucing itu tak bisa lari. Kemana ia pergi membawa ikan ia celingak celinguk seperti maling. Tak berani melewati rintangan. Akhirnya ia dihardik penonton dan pergi tapa ikan curiannya. Anisa memang harus jujur selama ini banyak disuport untuk eksis menulis dan melakukan pembacaan puisi di berbagai kota dengan tajuk Sastra Etnik oleh Aryoko, sehingga kian cantik memetik jentik-jentik kritik yang mempertanyakan sastra Etnik itu apanya sastra Indonesia, sastra kolaborasi, atau sejenis pementasan berkekuatan potensi lokal yang hendak dikentalkan?. Mari kita lihat saja sampai kapan isyue ini akan terus kuat bertahan. ***





SUSUNAN ACARA ‘Gelar Sastra Etnik’
Sabtu, 12 Mei 2012, jam 19.30, Taman Budaya Yogya

1. Pembukaan (MC SPS - Dinar) - Jam 20.00
2. Bambang Nursinggih (Yogya) - Macapat Pembuka.
3. Arieyoko dan Hari Leo - Selamat datang
4. Hari Leo (1 Gurit)
5. Anisa Afzal (1 Puisi )
-----------------------------------------------------

MC : Hamdy Salad :
-----------------------
1. Slamet Riyadi Sabrawi (penyair kelahiran Pekalongan)
2. Ratu Ayu (Penyair Cirebon)
3. Dedek Witranto (Penyair Taman Budaya Solo)
4. Bustan Basir Maras (Penyair Mandar, mukim di Yogya)
5. Syam Chandra Mathiek (Penyair Yogya kelahiran Wonogiri)
------------------------------------------------------

MC : Herlina Van Tojo :
---------------------------
1. Ajie S Mukhsin (penyair Yogya)
2. Dhenok Kristianti (penyair Bali)
3. Ragil Sukriwul (penyair Kupang NTB, mukim di Malang, Jatim)
4. Wijang Wharek (penyair dan dedengkot Taman Budaya Solo)
5. Dyah Setyawati dan Nurochman Sudibyo (penyair Tegal – Indramayu)
-------------------------------------------------------

MC : Hamdy Salad :
-----------------------
1. Putri Suastini (seniman tradisi Bali)
2. Sitoresmi Prabuningrat (Yogya)
3. Kiai Budi (sastra Rumi, Semarang)
4. Anis Sholeh Ba’asin (penyair Pati)
----------------------------------------------------------

MC - Closed - Dinar SPS

==================================
MOHON DOA RESTU SEMUA KAWAN,
AGAR ACARA SWADAYA MURNI ini
DAPAT BERJALAN LANCAR dan SUKSES, amien yra....
==================================

Komentar