BAHASA JAWA DI PANTURA TAK TERPETA
NAMUN LAGU DAN IRAMANYA MERAMBAH NUSANTARA
Oleh ; Nurochman Sudibyo YS
Ada banyak soal ketika perkembangan bahasa Jawa mengalami hambatan dalam perkembangannya. Disisi lain tuntutan Bahasa Jawa yang diprakarsai sebagai bahasa ibu terus diupayakan menjadi materi pembelajaran, akan tetapi di pinggiran Pantai utara Jawa khususnya daerah sekitar Pemalang, Kabupaten Tegal, Kota Tegal dan Brebes justru mengalami perkembangan tak signifikan, Kecuali semakin suburnya perkembangan dunia sastra jawa khususnya puisi atau geguritan. Padahal pada kenyataannya Bahasa Jawa di wilayah pinggiran Pantai Utara Jawa ini tidaklah terpeta sebagaimana perkembangan Bahasa Jawa di tempat lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain termasuk kategori udik, ngapak, dialek Bahasa Jawa di berbagai daerah kulon ini dikalangan pendidikan dikenal sebagai Bahasa Jawa yang terpinggirkan. Saking terpinggirkannya secara geografis dialek medok di daerah ini justru menjadi kehasan tersendiri.’
Kita seringkali melihat bagaimana mata acara di salah satu stasiun TV, Opera Van Java yang dimotori oleh Parto, Azis, Sule, Juju dan kawan-kawan itu menonjolkan Bahasa Indonesia yang kerapkali dicampur-bauri dengan Basa Jawa. Dan dialek Parto sebagai tokoh dalang di acara tersebut yang semestinya menggunakan logat khas bahasa Jawa ala Banyumas itu, malah bergaya Bahasa Jawa dalam dialek Tegal. Begitu juga dengan para pelawak sebelumnya jaman Kholik, Kasino Warkop, hingga ke Cici Tegal yang asli Tapanuli. Uniknya Basa Jawa yang berkembang di wilayah Pantura Jawa ini sudah semenjak lama menjadi ikon dalam berbahasa oleh segenap bangsa ini. Namun di daerahnya sendiri sebagaimana Tegal, Banyumas, Brebes, Pemalang dan Slawi meski sejak dini diberi pelajaran Bahasa Jawa di sekolahnya namun demikian tidak memberi pengaruh besar dalam perkembangan berbahasa Jawa didaerah tersebut sebagaimana kota-kota lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Artinya dialek mereka
tetap saja setia dengan bahasa ibunya yang khas medok, ngapak bahkan ada kencenderungan semakin ke kulon semakin variatif dialeknya.
Demikian pula yang terjadi dengan bahasa ibu di masyarakat Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon dan sebagian masyarakat Kabupaten Kuningan yang ada di daerah perbatasan antara Brebes-Kuningan dan Cirebon-Kuningan. Bahasa Jawa di daerah ini meski kosa katanya masih sangat dominan menggunakan Bahasa Jawa sebagaimana di Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun masyarakat sekitar itu lebih menyebutkan Bahasa Cirebon, bukan lagi bahasa dialek Cirebon.
Demikian pula di Indramayu yang merupakan kota di ujung utara Cirebon yang berbatasan dengan Kabupaten Subang dan Majalengka ini malah dikenal sebagai Bahasa Indramayu. Jika Pada daerah Cirebon, Bahasa Jawa untuk masyarakat Cirebon telah memperoleh pengaruh besar dari bahasa sunda, Sedang untuk daerah Indramayu bahasa Jawa Ddermayon ini malah telah mampu merambah masuk ke daerah pasundan melalui jalur pantura Pamanukan, Sukamandi, Cikampek hingga Krawang, Bekasi dan Jakarta-Bogor. Sedang pengaruh bahasa Indramayu juga telah mampu menerobos ke sekitar wilayah sunda lainnya di perbatasan Majalengka dan sekitar Kabupaten Cirebon yang dekat sekali dengan masyarakat pasundan.
Di Wikipedia dijelaskan bahwa bahasa cirebon dan Indramayu adalah bentuk bahasa Sunda yang terpengaruh Bahasa Banten. Sungguh lah berbeda jauh dari kebenaran. Pasalnya secara histori Indramayu sendiri mengalami perkembangan sebagai daerah pantai yang semenjak lama memperoleh kemajuan peradaban Jawa dan oleh sebab pernah menjadi kota pelabuhan semenjak jaman keemasan Kerajaan Majapahit yang tercatat pula dalam di sejarah perjalanan Tom Pyres. Terbukti banyak tempat-tempat di Indramayu memiliki nama yang sama dengan daerah Jawa Timur (Majapahit). Semisal Untuk daerah Mojokerto yang memiliki api alam di Indramayu pun ada bernama Majakerta di dekat Kilang Minyak Pertamina Balogan. Demikian juga arsitektut rumah di masyarakat Indramayu berbeda dengan gaya rumah masyarakat Cirebon, melainkan banyak kemiripan dengan rumah masyarakat Jawa Timur.
Dalam berbahasa, masyarakat Indramayu pun memiliki kekhasan dibanding bahasa Cirebon atau bahasa Jawa di Yogyakarta dan Jawa Tengah pada umumnya. Sejak awal hingga kini basa Indramayu yang digunakan dalam percakapan sehari-hari berbeda dengan bahasa yang menjadi materi dialog di panggung sandiwara rakyat. Penggunan tambahan an semisal an-dadar, an-nyawang, an-dheleng adalah juga bahasa yang sama digunakan oleh para prajurit dan kesatria pejuang jaman kerajaan Majapahit. Ada keketalan unsur bahasa Jawa dan nahasa Jawa Kawi (kuno). Dimana kata Sira, Reang, Bobad, Kita, Sun, Sama dengan bahasa Majapahit lama. Namun demikian karena secara geografis Indramayu berdekatan dengan Cirebon yang perkembangan wilayah justru lebih cepat Cirebon yang kini meningkat jadi kota metropolis, maka Bahasa Indramayu yang dalam dunia pendidikan setempat kemudian telah dipengaruhi bahasa Jawa yang dibawa guru-guru dropingan asal Solo dan Yogyakarta harus menerima menjadi
bagian dari Bahasa Cirebon yang telah memperoleh pengakuan dari pemerintah pusat dan pusat bahasa sebagai Bahasa Cirebon bahkan telah di-PERDA-kan dengan sebagian besar diakui atas dasar pengaruh besar dari cikal bakal basa sunda buhun atau bahasa Banten.
Dari data tersebut kemudian kita pun bertanya-tanya klau memang sudah menjadi bahasa tersendiri, lalu apa jenis huruf yang digunakan dalam pengajaran bahasa mereka itu. Ternyata baik Bahasa Sunda, Banten dan kini Cirebon juga Indramayu dan sebagian besar daerah di sekitar Pantura Jawa semua menggunakan Huruf Jawa dalam penulisannya. Yang kita kenal sebagai huruf yang bunyinya ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la, pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga. Meski demikian hanya Bahasa Sunda yang sangat berbeda jauh dengan Bahasa Jawa dalam pengucapan dialek dan logatnya. Hanya saja ketika adegan dalam pementasan wayang sunda, tetap saja suluk dalam setiap adegan dan dalam pergantian dialog menggunakan bahasa Jawa.
Kembali ke perkembangan Bahasa Jawa di wilayah Pantura Tegal-Indramayu yang kini semakin dilirik karena banyaknya muncul karya sastra dalam bentuk geguritan dan tembang yang dipublikasikan lewat dunia maya (internet) sebagai daerah subur perkembangan bahasa Jawa Dialek Pantura yang memiliki kekhasan tersendiri baik dalam pengucapan dan lagu serta iramanya. Kekhasan bahasa di Tegal dan Indramayu kemudian diwarnai sejak dekade lagu-lagu dangdut Tarling di era peredaran kaset yang kemudian lebih maju lagi di era CD dan DVD, dan kini MP3 dan MP4. Lagu-lagu Tarling dangdut berbahasa Indramayu dan Cirebon pun merajalela menjadi konsumsi masayarakat di Indonesia dengan menggunakan jalur peredaran pembajakan CD dan tumbuhnya era musik panggung bebas di masyarakat ketimbang era seniman sukses menuju jakarta yang sejak matinya pertumbuhan musik dangdut di layat TV digantikan dengan ramainya panggung dangdut di masyarakat terutama di Pantura Jawa Timur yang
berhasil mengangkat artis Inul Daratista dari panggung desa-ke desa menuju panggung besar papan atas artis nasional. Inul sedikitnya juga menggunakan bahasa Jawa sebagai materi lagu-lagunya ada prau layar, Anoman Obong, Slenko, Bojoku Nakal dll.
Di Indramayu dan Cirebon, Aas Rolani, Dede S, Nunung Alvi, Dunyawati, dan Dewi Kirana, justru menembus keterkenalan mereka sebagai artis panggung yang hanya berjuang memperoleh keberhasilan memasyarakatkan lagu-lagu berbahasa Jawa Dialek Indramayu lewat lagu-lagu dangdut tarling yang syairnya memberi sindiran dan sentuhan yang pas dengan kondisi masyarakat dunia. Tengok untuk lagu “mabok maning” sebagai cerminan kondisi mabuk di masyarakat sosial kita . serta “Kucing Garong” untuk penyimbolan para koruptor yang tamak dan rakus. Dan kini nasib TKI, Di usir Laki perselingkuhan menjadi syair di lagu-lagu masyarakat Indramayu yang dengan jujur mengungkapkan perubahan perilaku sosial masyarakat kita lewat Bahasa Jawa yang menusantara.
Di Tegal selain melalui karya sastra, panggung-panggung keliling dari desa ke desa, kantor ke kantor dilakukan perjuangan tanpa batas oleh para pelaku budaya dan pelestari bahasa Jawa Dialek Tegal. Mereka menciptakan lagu dan didendangkan dari suatu tempat ke tempat lain dengan tujuan menghibur. Karena kadung menjadi bahasa Jwa berdialek yang khas dan lucu sebagaimana dikuatkan oleh para pelawak Indonesia yang kerapkali mennggunakan dialek bahasa Tegal dalam dialognya yang segar, maka lagu-lagu baik dangdut maupun populer berbahasa Tegal semua bernafaskan komedi dan sarir-satir berupa sindira pada perkembangan sosial ekonomi di masyarakat kita. Meski masih dalam bentuk yang sederhana dan diperuntukkan hanya bagi kalangan masayrakat sekitarnya masa depan lagu-lagu berbahasa dialek tegal pun dipastikan akan memperoleh kejayaan sebagaimana lagu-lagu Trlinga sal indramayu. Pasalnya Tegal secara market memiliki ribuan pedagang warung tegal di berbagai kota di
Indonesia. Kalau pemasaran lagu-lagu mereka menggunkan jalur ini dipastikan sebagaimana lagu-lagu Tarling, lagu-lagu dangdut bahasa dialek Tegal yang dimotori oleh Hadi Utomo, Dimas Riyanto, Nurngudiono, Imam Klonengan dan Promotornya Agus Riyanto pun akan dengan segera menasional dalam waktu yang tak seberapa lama.
Sangat berbeda sekali dengan perkembangan lagu-lagu bahasa Jawa yang diproduksi seniman dari Yogya, Solo Semarang, Malang dan Surabaya yang saat ini mengalami kemunduran oleh sebab para pencipta lagu dan pelestari bahasa Jawa di tiga provinsi ini masih tabu menerima lagu-lagu dari kalangan rakyat jelata yang lebih peka terhadap kondisi sosial dan politik negeri ini, sebagaimana para pencipta lagu di Indramayu yangs ebagian besar dikarang oleh suami-suami yang ditinggal istri menjadi TKW dan pergi merantau ke luar kota. Begitu juga pecipta lagu di Tegal yang kebanyakan para seniman dan pemerhati bahasa dialek tegal yang notabenenya para intelektual. Akibatnya tidaklah heran jika jaman dulu Ki Narto Sabdo sedemikian deras menciptakan lagu-lagu yang khas dan melegenda, untuk sekarang tak ada yang berani melanjutkannya. Wal hasil Didi Kempot yang asal Yogya pun karena merasa persaingan pasar dan produktifitas seniman pencipta lagu berbahasa jawa di Jateng
dan Jatim mengalami penurunan, ia tak segan datang ke Cirebon dan Indramayu untuk berkolaborasi membuat album campursari yang hasilnnya semakin memberikan kekayaan besar bahasa Jawa hasa Jawa di mata nasional dan dunia internasional. Simak saja lagu “Jambu Alas” dimana Didi Kempot menyanyi bersama Nunung Alvi asal Cirebon. Dari sini kita semakin jelas memaknai bahasa masyarakat Pantura yang oleh kalangan intelektual dan ahli bahasa terpinggirkan pada kenyataannya dalam perkembangannya malah memberikan sumbangsih besar pada eksistensi bahasa Jawa secara global. Melalui syair lagu dan karya sastra geguritan bahasa Jawa dialek Tegal dan Indamayu-Cirebon semakin menarik untuk terus diikuti perkembangannya. ***
*.Penulis adalah penggurit asal Indramayu yang tinggal di Tegal.
NAMUN LAGU DAN IRAMANYA MERAMBAH NUSANTARA
Oleh ; Nurochman Sudibyo YS
Ada banyak soal ketika perkembangan bahasa Jawa mengalami hambatan dalam perkembangannya. Disisi lain tuntutan Bahasa Jawa yang diprakarsai sebagai bahasa ibu terus diupayakan menjadi materi pembelajaran, akan tetapi di pinggiran Pantai utara Jawa khususnya daerah sekitar Pemalang, Kabupaten Tegal, Kota Tegal dan Brebes justru mengalami perkembangan tak signifikan, Kecuali semakin suburnya perkembangan dunia sastra jawa khususnya puisi atau geguritan. Padahal pada kenyataannya Bahasa Jawa di wilayah pinggiran Pantai Utara Jawa ini tidaklah terpeta sebagaimana perkembangan Bahasa Jawa di tempat lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Selain termasuk kategori udik, ngapak, dialek Bahasa Jawa di berbagai daerah kulon ini dikalangan pendidikan dikenal sebagai Bahasa Jawa yang terpinggirkan. Saking terpinggirkannya secara geografis dialek medok di daerah ini justru menjadi kehasan tersendiri.’
Kita seringkali melihat bagaimana mata acara di salah satu stasiun TV, Opera Van Java yang dimotori oleh Parto, Azis, Sule, Juju dan kawan-kawan itu menonjolkan Bahasa Indonesia yang kerapkali dicampur-bauri dengan Basa Jawa. Dan dialek Parto sebagai tokoh dalang di acara tersebut yang semestinya menggunakan logat khas bahasa Jawa ala Banyumas itu, malah bergaya Bahasa Jawa dalam dialek Tegal. Begitu juga dengan para pelawak sebelumnya jaman Kholik, Kasino Warkop, hingga ke Cici Tegal yang asli Tapanuli. Uniknya Basa Jawa yang berkembang di wilayah Pantura Jawa ini sudah semenjak lama menjadi ikon dalam berbahasa oleh segenap bangsa ini. Namun di daerahnya sendiri sebagaimana Tegal, Banyumas, Brebes, Pemalang dan Slawi meski sejak dini diberi pelajaran Bahasa Jawa di sekolahnya namun demikian tidak memberi pengaruh besar dalam perkembangan berbahasa Jawa didaerah tersebut sebagaimana kota-kota lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Artinya dialek mereka
tetap saja setia dengan bahasa ibunya yang khas medok, ngapak bahkan ada kencenderungan semakin ke kulon semakin variatif dialeknya.
Demikian pula yang terjadi dengan bahasa ibu di masyarakat Kota Cirebon, Kabupaten Cirebon dan sebagian masyarakat Kabupaten Kuningan yang ada di daerah perbatasan antara Brebes-Kuningan dan Cirebon-Kuningan. Bahasa Jawa di daerah ini meski kosa katanya masih sangat dominan menggunakan Bahasa Jawa sebagaimana di Jawa Tengah dan Jawa Timur, namun masyarakat sekitar itu lebih menyebutkan Bahasa Cirebon, bukan lagi bahasa dialek Cirebon.
Demikian pula di Indramayu yang merupakan kota di ujung utara Cirebon yang berbatasan dengan Kabupaten Subang dan Majalengka ini malah dikenal sebagai Bahasa Indramayu. Jika Pada daerah Cirebon, Bahasa Jawa untuk masyarakat Cirebon telah memperoleh pengaruh besar dari bahasa sunda, Sedang untuk daerah Indramayu bahasa Jawa Ddermayon ini malah telah mampu merambah masuk ke daerah pasundan melalui jalur pantura Pamanukan, Sukamandi, Cikampek hingga Krawang, Bekasi dan Jakarta-Bogor. Sedang pengaruh bahasa Indramayu juga telah mampu menerobos ke sekitar wilayah sunda lainnya di perbatasan Majalengka dan sekitar Kabupaten Cirebon yang dekat sekali dengan masyarakat pasundan.
Di Wikipedia dijelaskan bahwa bahasa cirebon dan Indramayu adalah bentuk bahasa Sunda yang terpengaruh Bahasa Banten. Sungguh lah berbeda jauh dari kebenaran. Pasalnya secara histori Indramayu sendiri mengalami perkembangan sebagai daerah pantai yang semenjak lama memperoleh kemajuan peradaban Jawa dan oleh sebab pernah menjadi kota pelabuhan semenjak jaman keemasan Kerajaan Majapahit yang tercatat pula dalam di sejarah perjalanan Tom Pyres. Terbukti banyak tempat-tempat di Indramayu memiliki nama yang sama dengan daerah Jawa Timur (Majapahit). Semisal Untuk daerah Mojokerto yang memiliki api alam di Indramayu pun ada bernama Majakerta di dekat Kilang Minyak Pertamina Balogan. Demikian juga arsitektut rumah di masyarakat Indramayu berbeda dengan gaya rumah masyarakat Cirebon, melainkan banyak kemiripan dengan rumah masyarakat Jawa Timur.
Dalam berbahasa, masyarakat Indramayu pun memiliki kekhasan dibanding bahasa Cirebon atau bahasa Jawa di Yogyakarta dan Jawa Tengah pada umumnya. Sejak awal hingga kini basa Indramayu yang digunakan dalam percakapan sehari-hari berbeda dengan bahasa yang menjadi materi dialog di panggung sandiwara rakyat. Penggunan tambahan an semisal an-dadar, an-nyawang, an-dheleng adalah juga bahasa yang sama digunakan oleh para prajurit dan kesatria pejuang jaman kerajaan Majapahit. Ada keketalan unsur bahasa Jawa dan nahasa Jawa Kawi (kuno). Dimana kata Sira, Reang, Bobad, Kita, Sun, Sama dengan bahasa Majapahit lama. Namun demikian karena secara geografis Indramayu berdekatan dengan Cirebon yang perkembangan wilayah justru lebih cepat Cirebon yang kini meningkat jadi kota metropolis, maka Bahasa Indramayu yang dalam dunia pendidikan setempat kemudian telah dipengaruhi bahasa Jawa yang dibawa guru-guru dropingan asal Solo dan Yogyakarta harus menerima menjadi
bagian dari Bahasa Cirebon yang telah memperoleh pengakuan dari pemerintah pusat dan pusat bahasa sebagai Bahasa Cirebon bahkan telah di-PERDA-kan dengan sebagian besar diakui atas dasar pengaruh besar dari cikal bakal basa sunda buhun atau bahasa Banten.
Dari data tersebut kemudian kita pun bertanya-tanya klau memang sudah menjadi bahasa tersendiri, lalu apa jenis huruf yang digunakan dalam pengajaran bahasa mereka itu. Ternyata baik Bahasa Sunda, Banten dan kini Cirebon juga Indramayu dan sebagian besar daerah di sekitar Pantura Jawa semua menggunakan Huruf Jawa dalam penulisannya. Yang kita kenal sebagai huruf yang bunyinya ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la, pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga. Meski demikian hanya Bahasa Sunda yang sangat berbeda jauh dengan Bahasa Jawa dalam pengucapan dialek dan logatnya. Hanya saja ketika adegan dalam pementasan wayang sunda, tetap saja suluk dalam setiap adegan dan dalam pergantian dialog menggunakan bahasa Jawa.
Kembali ke perkembangan Bahasa Jawa di wilayah Pantura Tegal-Indramayu yang kini semakin dilirik karena banyaknya muncul karya sastra dalam bentuk geguritan dan tembang yang dipublikasikan lewat dunia maya (internet) sebagai daerah subur perkembangan bahasa Jawa Dialek Pantura yang memiliki kekhasan tersendiri baik dalam pengucapan dan lagu serta iramanya. Kekhasan bahasa di Tegal dan Indramayu kemudian diwarnai sejak dekade lagu-lagu dangdut Tarling di era peredaran kaset yang kemudian lebih maju lagi di era CD dan DVD, dan kini MP3 dan MP4. Lagu-lagu Tarling dangdut berbahasa Indramayu dan Cirebon pun merajalela menjadi konsumsi masayarakat di Indonesia dengan menggunakan jalur peredaran pembajakan CD dan tumbuhnya era musik panggung bebas di masyarakat ketimbang era seniman sukses menuju jakarta yang sejak matinya pertumbuhan musik dangdut di layat TV digantikan dengan ramainya panggung dangdut di masyarakat terutama di Pantura Jawa Timur yang
berhasil mengangkat artis Inul Daratista dari panggung desa-ke desa menuju panggung besar papan atas artis nasional. Inul sedikitnya juga menggunakan bahasa Jawa sebagai materi lagu-lagunya ada prau layar, Anoman Obong, Slenko, Bojoku Nakal dll.
Di Indramayu dan Cirebon, Aas Rolani, Dede S, Nunung Alvi, Dunyawati, dan Dewi Kirana, justru menembus keterkenalan mereka sebagai artis panggung yang hanya berjuang memperoleh keberhasilan memasyarakatkan lagu-lagu berbahasa Jawa Dialek Indramayu lewat lagu-lagu dangdut tarling yang syairnya memberi sindiran dan sentuhan yang pas dengan kondisi masyarakat dunia. Tengok untuk lagu “mabok maning” sebagai cerminan kondisi mabuk di masyarakat sosial kita . serta “Kucing Garong” untuk penyimbolan para koruptor yang tamak dan rakus. Dan kini nasib TKI, Di usir Laki perselingkuhan menjadi syair di lagu-lagu masyarakat Indramayu yang dengan jujur mengungkapkan perubahan perilaku sosial masyarakat kita lewat Bahasa Jawa yang menusantara.
Di Tegal selain melalui karya sastra, panggung-panggung keliling dari desa ke desa, kantor ke kantor dilakukan perjuangan tanpa batas oleh para pelaku budaya dan pelestari bahasa Jawa Dialek Tegal. Mereka menciptakan lagu dan didendangkan dari suatu tempat ke tempat lain dengan tujuan menghibur. Karena kadung menjadi bahasa Jwa berdialek yang khas dan lucu sebagaimana dikuatkan oleh para pelawak Indonesia yang kerapkali mennggunakan dialek bahasa Tegal dalam dialognya yang segar, maka lagu-lagu baik dangdut maupun populer berbahasa Tegal semua bernafaskan komedi dan sarir-satir berupa sindira pada perkembangan sosial ekonomi di masyarakat kita. Meski masih dalam bentuk yang sederhana dan diperuntukkan hanya bagi kalangan masayrakat sekitarnya masa depan lagu-lagu berbahasa dialek tegal pun dipastikan akan memperoleh kejayaan sebagaimana lagu-lagu Trlinga sal indramayu. Pasalnya Tegal secara market memiliki ribuan pedagang warung tegal di berbagai kota di
Indonesia. Kalau pemasaran lagu-lagu mereka menggunkan jalur ini dipastikan sebagaimana lagu-lagu Tarling, lagu-lagu dangdut bahasa dialek Tegal yang dimotori oleh Hadi Utomo, Dimas Riyanto, Nurngudiono, Imam Klonengan dan Promotornya Agus Riyanto pun akan dengan segera menasional dalam waktu yang tak seberapa lama.
Sangat berbeda sekali dengan perkembangan lagu-lagu bahasa Jawa yang diproduksi seniman dari Yogya, Solo Semarang, Malang dan Surabaya yang saat ini mengalami kemunduran oleh sebab para pencipta lagu dan pelestari bahasa Jawa di tiga provinsi ini masih tabu menerima lagu-lagu dari kalangan rakyat jelata yang lebih peka terhadap kondisi sosial dan politik negeri ini, sebagaimana para pencipta lagu di Indramayu yangs ebagian besar dikarang oleh suami-suami yang ditinggal istri menjadi TKW dan pergi merantau ke luar kota. Begitu juga pecipta lagu di Tegal yang kebanyakan para seniman dan pemerhati bahasa dialek tegal yang notabenenya para intelektual. Akibatnya tidaklah heran jika jaman dulu Ki Narto Sabdo sedemikian deras menciptakan lagu-lagu yang khas dan melegenda, untuk sekarang tak ada yang berani melanjutkannya. Wal hasil Didi Kempot yang asal Yogya pun karena merasa persaingan pasar dan produktifitas seniman pencipta lagu berbahasa jawa di Jateng
dan Jatim mengalami penurunan, ia tak segan datang ke Cirebon dan Indramayu untuk berkolaborasi membuat album campursari yang hasilnnya semakin memberikan kekayaan besar bahasa Jawa hasa Jawa di mata nasional dan dunia internasional. Simak saja lagu “Jambu Alas” dimana Didi Kempot menyanyi bersama Nunung Alvi asal Cirebon. Dari sini kita semakin jelas memaknai bahasa masyarakat Pantura yang oleh kalangan intelektual dan ahli bahasa terpinggirkan pada kenyataannya dalam perkembangannya malah memberikan sumbangsih besar pada eksistensi bahasa Jawa secara global. Melalui syair lagu dan karya sastra geguritan bahasa Jawa dialek Tegal dan Indamayu-Cirebon semakin menarik untuk terus diikuti perkembangannya. ***
*.Penulis adalah penggurit asal Indramayu yang tinggal di Tegal.
Komentar