Cerpen : Cincin Mustika Buaya Putih

Cerpen : Cincin Mustika Buaya PutihCerpen: Pitrahari
Cincin Mustika Buaya Putih

Betapa gembiranya hati Ratih melihat Joko, putera pertama buah perkawinannya dengan Mahmud, suaminya, kini tumbuh menjadi remaja. Badannya yang gempal atletis, wataknya yang periang dan ramah membuat Joko banyak disukai teman-teman sebayanya. Bahkan teman-temannya satu SMP seringkali main ke rumah dan selalu memuji-muji Joko atas prestasi dan keaktifannya dalam OSIS. Pujian dan simpati dari teman-teman Joko itu makin membuat hati Ratih bangga akan anak lelakinya itu. Meski baru pemuda tanggung, penampilan Joko yang kalem dan ramah membuat ia banyak disukai warga sekitarnya. Wajahnya cukup tampan, mirip kakeknya. Konon, menurut penuturan beberapa warga, Ki Sarta kakek Joko dari ayahnya dikenal sebagai tokoh pemuda yang disegani. Selain karena rupanya yang cukup tampan juga memiliki ilmu kanuragan dan kebathinan.
Banyak gadis desa yang tergila-gila pada Sarta. Namun dari sekian gadis tersebut, Rusmini-lah, gadis kota yang beruntung mendapatkan cinta Sarta. Mereka pun menikah dan kemudian dikarunia dua orang anak. Yang pertama seorang wanita dan kedua pria. Mahmud, suami Ratih adalah anak kedua Ki Sarta.
Sarta muda dikenal sebagai pemuda yang gemar berlatih kanuragan dan kebathinan. Ia rajin dan tekun mendalami ilmu-ilmu kebathinan dari beberapa guru. Salah seorang gurunya bernama Ki Songka adalah seorang pendekar dari Banten. Dari Ki Songka inilah, Sarta berhasil menguasai ilmu menembus alam siluman. Sarta yang tinggal di dusun dekat Sungai Cimanuk itu suatu hari berlatih membaca mantera pembuka alam gaib. Dengan sikap tenang dan duduk sila ia bersemadi di bantaran kali. Dengan mata terpejam Sarta mulai mengatur jalan nafasnya dan membaca mantera yang pernah diajarkan gurunya.
Air Sungai Cimanuk saat itu dalam kondisi sedang. Orang menyebutnya banjir manisan. Airnya mengalir dengan tenang. Desiran angin malam Jum’at sekitar pukul sembilan itu terasa lembut dan sejuk menyentuh kulit Sarta. Mulutnya tiada henti berkomat-kamit membacakan mantera gaib pembuka alam siluman. Tiba-tiba suasana tenang dan damai itu berubah drastis. Angin bertiup dengan kencang!! Gemeresak suara dedaunan kering makin santer terdengar. Namun Sarta tak bergeming dari semadinya. Ia teringat pesan gurunya kalau semua itu merupakan pertanda awal akan terbukanya alam siluman. Dan tak lama kemudian pemandangan di depan Sarta pun berubah. Bantaran sungai dengan rerumputan kering itu kini telah berubah menjadi sebuah taman indah yang terawat dengan rapih. Sebuah jalan raya terhampar memanjang di depan Sarta. Agak jauh di sebelah utara, nampak beberapa gedung megah ditimpa sinar lampu warna-warni. Sungguh sebuah pemandangan sangat menakjubkan. Bahkan melebihi indahnya kota Indramayu di malam hari di akhir tahun 1970-an itu.
Belum hilang rasa takjubnya, tiba-tiba dari arah utara datanglah sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Rasa heran Sarta makin menjadi tatkala kereta tersebut berhenti tepat di depan tempatnya berdiri. Dengan hati berdegup kencang, Sarta melihat seorang wanita cantik bagai puteri India ke luar dari pintu kereta. Tatapan matanya tajam menusuk relung hati Sarta. Senyumnya sungguh menawan menghias bibirnya yang merah dan sensual. Rambutnya sepanjang pinggang dan digelung ke atas diikat dengan logam yang melingkar sampai ke depan keningnya. Logam kuning yang menghiasi kepala wanita cantik itu bermahkota dan bertahtakan mutiara warna-warni. Sarta memandang dengan takjub kepada wanita yang kini telah berdiri di depannya. Sikap wanita itu begitu anggun dan berwibawa di balik gaun putihnya. Sungguh bagai mimpi. Sarta seakan tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Wanita itu datang menghampiri Sarta. Dengan sedikit menganggukkan kepalanya ia mengucap salam.
“Salam, wahai pemuda tampan. Ada keperluan apakah gerangan engkau bersusah payah melantunkan mantera itu sehingga aku rela hati menemuimu di sini?” tegur si wanita.
Mendengar teguran demikian Sarta tak langsung menjawab. Perasaan takjub, kaget dan takut bercampur aduk. Dengan jantung yang berdegup kencang ia memberanikan diri menatap wajah si wanita yang selalu tersenyum dan menatapnya dengan tajam.
“Jawablah, hai pemuda. Engkau tidak sedang bermimpi. Aku ratu buaya putih datang menemuimu di sini. Bukankah engkau ingin bertemu dan berkenalan denganku?” kembali si wanita menegur.
“E…hhhh. Anu…….. Saya…saya….,” jawab Sarta gelagapan tak bisa meneruskan kata-katanya.
“Ha ha ha……… Engkau ternyata masih terlalu hijau. Menghadapi wanita sepertiku ternyata engkau masih malu-malu. Jangan malu, wahai pemuda tampan. Tataplah mataku dan sambutlah tanganku ini. Aku datang untukmu ...,” kata si wanita sambil menjulurkan tangan kanannya.
Bagai terhipnotis, Sarta pun menerima uluran tangan si wanita. Jantung Sarta berdegup makin kencang tatkala tangannya menggenggam tangan halus si wanita. Hatinya berdesir. Dengan perasaan masih tak karuan Sarta tak kuasa menahan ajakan si wanita untuk bercengkerama dan duduk di kursi taman yang indah itu. Warna-warni bunga yang indah ditimpa sinar lampu taman membuat suasana “kencan” mereka terasa sangat romantis. Rasa takut yang semula melilit Sarta pun lama-kelamaan hilang. Banyak cerita meluncur dari mulut keduanya. Makin lama pun keduanya makin terasa dekat dan akrab.
“Kukuruyuuuu…….kk…” suara kokok ayam jantan menjelang subuh itu telah mengagetkan keduanya. Tiba-tiba si wanita mendorong tubuh Sarta yang dengan erat memeluknya sejak lama.
“Kenapa….?” tanya Sarta heran.
“Hari hampir pagi. Aku harus segera pulang. Para emban dan prajuritku akan cemas dan resah manakala tahu aku tidak ada di istana,” jawab si wanita.
“Oooo….h,”
“Aku pamit dulu. Lain waktu kita ketemu lagi. Tunggulah aku di sini pada malam Jum’at berikutnya,” kata si wanita.
Tak lama kemudian kereta kuda yang tadi muncul pun datang lagi. Dengan melambaikan tangannya si wanita pun masuk ke dalam kereta dan bergegas pergi.
Sarta baru tersadar sepenuhnya ketika ditegur Mang Tardi dan istrinya yang hendak mengambil air sungai. Dengan mulut gelagapan dan diliputi rasa kaget, Sarta hanya menjawab aa..uuu..aa…uuuu. Mang Tardi yang nampaknya sedang kebelet mau buang besar itu tak terlalu memperhatikan sikap kaget Sarta. Dengan agak malas Sarta pun bergegas pulang ke rumahnya.
Malam-malam Jum’at berikutnya merupakan saat-saat yang indah bagi Sarta. Namun perasaan cemas dan galau sangat menghimpit hati Sarta sore itu. Kedua orang tuanya memaksa Sarta untuk bekerja di Jakarta mengikuti jejak kakak sulungnya yang telah sukses menjadi saudagar ayam di pasar Induk. Sarta diminta segera datang ke Jakarta untuk menjadi manajer di perusahaan ayam potong milik kakaknya itu. Perasaan gundah gulana menyelimuti kencan dua mahluk beda ras malam itu. Sikap dan raut wajah Sarta yang tidak seperti biasanya membuat si wanita bertanya.
“Ada apa, Kang? Kok sikapmu tidak seperti biasanya malam ini?”
“Ah….gak ada apa-apa, Diajeng” jawab Sarta dangkal.
“Ayolah Kang, ceritakan padaku. Apa masalahmu?” desak si wanita.
Dengan kata-kata pendek dan terbata, Sarta menuturkan kalau ia harus pergi ke Jakarta membantu usaha kakaknya.
“O……begitu?” komentar si wanita.
“Ya. Kalau aku menurut orang tuaku, maka aku harus meninggalkanmu, Diajeng,” kata Sarta.
“Terserahlah padamu, Kang. Aku akan selalu setia menantimu di sini. Cintaku hanya untukmu. Bukankah engkau berjanji akan menikah denganku?” kata si wanita.
“Iya, Diajeng,” jawab Sarta pendek.
Mereka berdua pun kemudian larut dalam rasa cinta yang bergelora. Bahkan, malam itu lain dari biasanya karena besok akan berpisah. Mereka telah lupa diri sehingga telah melanggar norma yang tidak seharusnya. Sebelum terdengar kokok ayam jantan di pagi hari sebagai batas waktu pertemuan, si wanita memberikan sebuah cincin mustika yang berhiaskan permata.
“Pakailah atau Simpanlah cincin ini, Kang. Manakala engkau rindu padaku, gosoklah dan ciumlah. Maka aku akan datang dalam setiap mimpi indahmu,” kata si wanita.
Tiga bulan bekerja sebagai manajer di perusahaan ayam potong membuat Sarta sangat sibuk. Setiap hari ia mengatur jadwal kiriman hingga ke luar kota. Kesibukan Sarta yang sangat padat itu agak sedikit melupakannya pada si wanita cantik, Ratu Buaya Putih. Sampai suatu hari ada seorang gadis muda, hitam manis berbodi cukup sintal datang melamar bekerja di perusahaan yang ia pimpin. Kehadiran Rusmini, nama gadis tersebut, membuat rasa rindu Sarta terhadap si Ratu Buaya cukup terobati. Bahkan, kalau diperhatikan, wajah Rusmini sangat mirip dengan wajah si Ratu. Tak lama kemudian merekapun menjadi sepasang kekasih. Hubungan keduanya segera disetujui oleh kakak Sarta maupun orang tua Rusmini. Merek pun sepakat akan segera melangsungkan pernikahan. Bertempat di kediaman mempelai wanita, pernikahan itupun akhirnya dilaksanakan.
Ratu Buya Putih pun murka saat mendengar kabar bahwa Sarta kini telah menikah dan dikaruniai dua orang anak. Salah satu prajuritnya mendengar hal ini kala ia berpatroli di pinggir kali dusun tersebut.
“Kurang Ajar …!!!! Rupanya ia telah berkhianat padaku ...!!!” geram si Ratu Buaya.
Si Ratu pun mengutus dua orang patihnya yang paling sakti untuk menghadapi Sarta dan “mengambilnya”. Pada suatu malam, kedua utusan Ratu Buaya itu mendatangi rumah Sarta. Terjadilah perkelahian sengit antara kedua belah pihak. Sarta yang dikeroyok dua mahluk sakti itu akhirnya kewalahan. Dalam suatu kesempatan ia tak mampu menghindarkan diri dari ilmu pukulan kedua mahluk tersebut sehingga terluka dalam. Sarta pun akhirnya sakit parah. Hari-hari berikutnya ia hanya tergeletak di atas pembaringan. Dan pada suatu sore dua mahluk berwujud “manusia” utusan Ratu Buaya itu datang menjemputnya. Mereka mengganti tubuh Sarta yang lemah dengan sebatang pohon pisang. Sarta pun kemudian menghembuskan nafas terakhirnya.
“Ini cincin apa, Bu??” tanya Joko pada ibunya sambil menunjukkan sebuah cincin berwarna biru tua bertahtakan mutiara di sekelilingnya.
“Gak tahu ya. Mungkin itu cincin Bapakmu,” jawab Ratih.
“Bagus sekali cincin ini. Buat aku ya, Bu” kata Joko.
“Boleh saja. Tapi bilang dulu sama Bapakmu kalau ia pulang dari Jakarta nanti.”
“Baik, Bu,” jawab Joko kegirangan. Joko pun langsung memakai cincin itu di jari tengahnya. Ia pun segera bergegas pergi karena sejak tadi telah ditunggu teman-temannya yang ingin mengajaknya bermain di tanggul sungai.
Kelima anak remaja itu bermain-main di bantaran sungai. Melihat air sungai yang tidak banjir mereka memutuskan untuk mandi. Toh tidak berbahaya karena arusnya tidak deras dan dalamya hanya setinggi dada orang dewasa, pikir mereka. Satu per satu mereka pun terjun ke sungai dan berenang ke seberang. Saat kembali berenang ke arah semula, tiba-tiba terdengar pekikan suara Joko. Keempat teman Joko hanya kaget dan tertegun melihat Joko memekik dan kemudian tenggelam. Sesampai di seberang mereka pun segera memberitahukan warga kalau Joko tenggelam. Warga pun geger. Puluhan warga segera berkumpul di sekitar lokasi tenggelamnya Joko. Mereka pun membawa peralatan jaring untuk menangkap tubuh Joko. Meskipun kondisi air biasa saja dan arusnya tenang namun jasad Joko tidak pernah ditemukan hingga hari ini. Kerabat dekat keluarga percaya kalau Joko dibawa ke alam siluman karena saat mandi di sungai Joko memakai cincin milik kakeknya.
“Maafkan aku, Sarta. Kuambil cucumu sebagai penggantimu karena dia memakai cincin mustika yang dulu pernah aku berikan padamu. Apalagi wajah cucumu sangat mirip denganmu,” gumam Ratu Buaya Putih.
Belasan tahun setelah peristiwa itu terjadi beberapa warga mengaku pernah melihat Joko sedang berjalan di tengah dusun. Kini Joko sudah dewasa.
“Aku melihat Joko sedang berjalan lewat di depan rumahku pada suatu malam Jum’at. Terangnya sinar bulan purnama sangat jelas menerangi wajahnya. Ia pun sempat tersenyum dan mengangguk padaku,” tutur Jupri salah satu teman seangkatan Joko.

Komentar