Opini : STOP MENYEBUT TEGALAN

STOP MENYEBUT TEGALAN

“Demikian tadi Masroah, baru saja melantunkan Tembang Tegalan,” jelas MC organ tunggal yang tengah pentas di pendopo Pemkot. Saat itu hadir bupati dan Kabag Humas Brebes. Begitu Masroah pentas di Pendopo Kabupaten Brebes, Humas setempat meminta menyebut lagu yang dibawakan Masroah Tembang Brebesan. MC tentu saja menuruti permintaan karena Masroah memang keturunan asli pencipta lagu asal Brebes. Saat itu Ketua Dusun Cawet hadir menyaksikan pentas Masroah. Minggu berikutnya saat Masroah tampil di desa Kelahirannya, dengan Bangga Pak Lurah memerintahkan pada MC tentang potensi kebanggaan warga Dukuh Cawet. MC pun kemudian berkomentar; “Hadirin demikian tadi Masroah, baru saja melantunkan lagu Cawetan,” sontak hadirin yang menyaksikan terhera-heran.(*)

Kita kerapkali juga kaget, manakala pernyataan yang ditulis media dan dibaca berbagai kalangan masayarakat Indonesia, kisah berkesenian Masroah sebagai lantunkan tembang pinggir sawah. Pasalnya karena para pembaca baik media cetak ataupun elektronik, memahami kata “tegalan” sebagaimana di Kamus Besar Bahasa Indonesia Karya Prof. Purwo Darminto memberi keterangan arti dari tegalan pinggiran sawah atau lahan pesawahan tempat bercocok tanam. Jadi wajar saja jika penulisan tmbang tegalan diartikan lagu pinggiran sawah. Atau lagu masyarakat pinggiran. Padahal maksud sesungguhnya si penulis ingin menonjolkan kebanggaan akan lagu khas berbahasa dialek Kabupaten atau Kota Tegal.

Bertahun masyarakat Tegal dijejali kalimat yang sering diucap maupun dituliskan seseorang dengan menyebut kata; “Tegalan” atau “Tegal-an”. Kita pun terbius menjadi bangga dan merasa ikut memiliki, bahkan menjadi bagian dari masyarakat yang mempromokasikan pernyataan tersebut. Padahal makna yang sebenarnya tidak sebagaimana yang dimaksudkan oleh penyebutnya. Apalagi jika penambahan untuk penyebutan nama tempat ini sifatnya politis. Semisal untuk menunjukan eksistensi diri, dalam memperjuangkan kehidupan suatu norma dan kegiatan. Padahal jika direnungi apa yang diucapkan dan kemudian kita amini itu justru bersifat pengerdilan, dan menunjukkan keterpinggiran. Jadi siapapun yang mengucapkan kata pada nama tempat yang dibubuhi dengan akhiran an itu bisa jadi masuk kategori ragu, gundah dan tak tahu arah --untuk tidak megatakan keliru.

Kini setelah berpuluh tahun digunakan dan menjadi kebanggan bersama, baru kita sadari kalau pikiran kita telah digiring oleh sebuah opini dari keterbatasan pengetahuan berbahasa seseorang yang dengan sebegitu mudah mempropagandakan “Tegalan”, yang pada akhirnya memperkecil potensi dari nama Tempat yang semestinya menjadi kebanggaan. Ingat bangga secara geografis akan mengecilkan potensi diri. Semisal Slamet Gundono pada saat mudanya bangga disebut Dalang Asal tegal. Demikian juga Entus Susmono. Tapi setelah terkenal di berbagai kota di Indonesia, sering muncul di TV dan memperoleh undangan pentas di luar negeri tidak pas disebut dalang asal Tegal apalagi disebut Dalang Tegalan. Disebut Dalang Tegal saja tidak menarik, karena akan memperkecil sttus berkeseniannya dan eksistensinya. Yang Benar Slamet Gundono Dalang Wayang Suket asal Kabupaten Tegal Indonesia. Atau yang lebih praktis Dalang Wayang Indonesia.

Hati-hati menerima istilah yang mudah dikonsumsi masyarakat tanpa dimengerti maksud dan tujuannya. Biasanya perilaku pembodohon masyarakat berbudaya ini melalui corong publikasi yang mudah diakses masyarakat. Kini untuk melawan dan meluruskannya kembali kita memerlukan dukungan masyarakat berfikir untuk bersama meluruskan dan memberikan pesan-pesan moral dan pembelajaran pada generasi muda untuk memberikan simbol kecerdasan di mata dunia luar.

Mari kita simak apa dan bagaimana akhiran an tatkala ditambahkan pada nama tempat. Semisal Cirebon-an atau Cirebonan untuk lagu-lagu Cirebonan. Wayang kulit Cirebonan, Bahasa Cirebonan, Batik Cirebonan. Meski sekilas nampak hal yang biasa akan menjadi rancu jika dipahami secara kaidah berbahasa. Padahal yang benar Lagu-lagu khas Cirebon, Wayang Kulit khas Cirebon, Bahasa dialek Cirebon, Batik khas asal Cirebon itu yang benar dalam bahasa Indonesia.

Begitu juga dengan Pekalongan. Apakah kita pernah mendengar lagu Pekalonganan, Bahasa Pekalonganan, Wayang kulit Pekalonganan dan Batik Pekalonganan? Apa karena Pekalongan sebagai nama tempat sudah memiliki akhiran an? Atau Balikpapan dengan Bahasa Balikpapanan, Seni Balikpapanan, dan yang khas dari Balikpapan apa juga disebut Balikpapanan? Bukankah tidak pernah kita dengar pula istilah penyebutan untuk yang khas dari kota Kuningan, Bangkalan, Grobogan Kalasan?

Jika begitu apa maksud penyebutan Banyumasan, Cirebonan, Indramayuan, Semarangan dan Tegalan? Kenapa pula tidak menyebut yang khas dari Jakarta menjadi Jakartaan, Surabaya dengan Surabayaan, Solo jadi Soloan tetapi justru diucapkan oleh pengguna bahasa Jawa dengan istilah Jakartanan, Surabayanan, Banyuwanginan, Solonan, Yogyanan. Jika dirunut demikian jelaslah bahwa penyebutan istilah nama tempat dengan akhiran an dan nan itu digunakan oleh masyarakat pengguna bahasa Jawa yang tidak bisa serta merta digunakan dalam bahasa Indonesia. Apalagi untuk Tegal manakala ditambahi akhiran an menjadi nama tempat lain yang lebih dipahami dalam bahasa Indonesia sebagai pinggiran sawah, atau batas lahan pertanian.

Untuk itu Stop menyebut “Tegalan”. Kenapa demikian? Jika kita ingin menggunakan kata yang maksudnya khas atau Asal Tegal kenapa tidak memilih; Lagu-lagu khas Tegal, Puisi basa Tegal, Sastra dari Tegal, Teater asal Tegal, Bahasa dialek Tegal, Batik gaya Tegal, atau Batik khas Tegal. Bahkan yang lebih tepat lagi untuk penyebutan seni batik kita menyebut Batik Pekalongan, Batik Salem, Batik Cirebon, Batik Kalinyamat, Batik Pangkah, Batik Dukuh Salam, Batik Bangle ketimbang Batik Tegalan. Demikian pula untuk penyebutan lain yang menunjukkan khas Tegal.

Hal ini untuk menghindari kerancuan manakala ada orang yang membaca puisi di Brebes disebut baca puisi Brebesan, Main musik Brebesan, Nyanyi lagu Brebesan, Sastra Brebesan, Seni Batik Brebesan, Wayang Brebesan yang akan menimbulkan pemaknaan berbeda di telinga kita. Apalagi jika ada nama tempat desa atau padukuhan yang kemudian latah digunakan sebagai media promosi kebagaan daerah tersebut yang ingin menonjolkan potensi penting daerahnya. Semisal untuk contoh kasus Dukuh Cawet di atas. Jika ini dilakukan, yang muncul pasti menggelikan. Ada pembaca puisi Cawetan, Ada nyanyi lagu Cawetan, ada seni batik Cawetan, ada seniman Cawetan dan Sastra Cawetan, maknanya pun bisa berbeda. Bahkan ketika didengar oleh masyarakat dari luar daerah meski dengan kaidah bahasa Jawa sekalipun.

Latar sejarah
Jika dilirik secara histori penyebutan khas Tegal menjadi Tegalan dimulai manakala belum lahirnya gagasan pemekaran terhadap Kabupaten Tegal yang kemudian dipilah menjadi dua, Kota Tegal dan Kabupaten Tegal. Istilah “tegal-an atau yang kemudian latah disebut-sebut sebagai “Tegalan” yang digunakan masyarakat saat itu tentu saja bukanlah persoalan besar. Hal itu karena penyebutan Tegal-an atau tegalan itu hanya diartikan gaya Tegal. Maka latahlah kita menyebut; “Ki Entus Susmono Dalang Tagalan”, Batik yang dijual di buat di Tegal disebut Batik Tegalan, Lagu-lagu yang diciptakan dengan menggunakan bahasa Jawa dialek Tegal disebut Lagu Tegalan, Karya sastra yang dicipta dalam bahasa Jawa khas dialek Tegal disebut Sastra Tegalan, begitu juga dengan Teater Tegalan, Puisi Tegalan, Seniman Tegalan, Budayawan Tegalan dan penyebutan lain pada aktifitas seseorang yang ingin dimunculkan karena khas gaya Tegal.

Penyebutan “Tegalan” untuk saat ini akan jadi rancu dan salah persepsi. Persoalannya nama Tegal bukan hanya milik masyarakat Kota Tegal dan Kabupaten Tegal saja. Ini penting untuk pendataan berapa jumlah seniman di Kota Tegal dan di Kabupaten Tegal. Begitu juga potensi-potensi kesenianya. Karena lambat laun penyebutan khas Kota Tegal dan yang khas di Kabupaten Tegal pun menjadi beda dan perlu dibedakan. Momenklaturnya berbeda, anggarannya berbeda dan informasinya dalam pendataan dua daerah ini tentu saja harus berbeda.

Awas jangan gampang juga menyebut Tegal. Ketika warga Tegal kota atau Kabupaten berada di luar kota ia dengan bangga menyebut “nyong wong Tegal”. Tegal yang mana dulu? Tegal itu ada dua. Kota tegal dan Kabupaten Tegal. Coba kalau dulu Kabupaten Tegal disebut Kabupaten Slawi, maka persoalan-persoalan perbedaan pun tidak akan menjadi masalah. Bahkan di mesin pencairan goole pun akan menjawab dengan mudah sesuai dengan apa yang ingin diketahui siapapun.

Semisal untuk data kesenian yang khas dai Kota Tegal ada Balo-balo Kota Tegal, Tong-tongprek Kombinasi, Wayang Golek Tegal Sari Kota Tegal, Batik Kalinyamat Kota Tegal, Dewan Kesenian Kota Tegal, Seniman Kota Tegal, Sastrawan Kota Tegal, Teater Kota Tegal. Begitu juga menyebut stasiun Kota Tegal, Kantor Pos kota Tegal, Alun-alun Kota Tegal, Pelabuhan Kota Tegal, Pantai Alam Indah Kota Tegal dan lainnya.

Begitu juga penyebutan sesuatu yang khas dan yang menunjukkan asal dari Kabupaten Tegal , akan lebih jelas dipahami oleh masayarakat dengan menyebut Batik Pangkah Kabupaten Tegal, Batik Dukuh Salam Kabupaten Tegal, Batik Bengle Kabupaten Tegal, Penari Topeng Slarang Dukuhwaru Kabupaten Tegal, Dalang Wayang Kabupaten Tegal, Tahu Banjaran Kabupaten Tegal, Sintren Jatinegara Kabupaten Tegal, Teh Slawi Kabupaten Tegal, Puisi dalam bahasa dialek Kabupaten Tegal, Seniman Kabupaten Tegal, Sintren Jatinegara Kabupaten Tegal. Wortel asal Guci Kabupaten Tegal dan penyebutan nama tempat ditegaskan dengan nama kabupaten untuk memudahkan pembaca mengetahui asal dan tempatnya.
***

(*) ilustrasi
Oleh : Nurochman Sudibyo YS.
Ketua Medium Sastra & Budaya Indonesia

Komentar