Cerpen : MALAM PERTAMA

Cerpen : MALAM PERTAMA
Cerpen Febrie Hastiyanto

LANAK muda itu membetulkan posisi duduknya. Ia menatap saya dengan kesopanan yang terjaga. Vitalitas memancar dari matanya. Namun saya tahu betul ia sedang berdamai dengan gejolak di hatinya. Pastilah kini ia sedang grogi. Saya tahu. Karena dulu bukankah saya pernah muda juga dan mengalami situasi seperti ini?
Saya tak hendak membuatnya tak nyaman lebih lama. ”Apa sekarang kesibukan Anak setelah lulus kuliah?”

Saya dapat membayangkan perasaannya. Pastilah ia merasa terbantu dengan basa-basi saya untuk keluar dari kekikukannya. Sejenak ia menghela napas. Mungkin mengumpulkan diksi yang berserak. Tahulah saya, pasti dia memilih kata yang paling santun, bertenaga, untuk membuat saya terkesan.

“Alhamdulillah. Sudah dua tahun ini bersama seorang teman kami membangun kongsi usaha peternakan. Kami sedang mengembangkan budidaya persilangan ayam broiler dan ayam petelur di Wonosobo. Kemarin kami sudah teken kontrak kerjasama dengan perusahaan peternakan besar yang akan menetaskan telur ini di Jakarta.” Anak muda itu sudah dapat menguasai dirinya. “Kemarin sudah dicoba, ayam persilangan ini lebih cepat besar namun dagingnya lebih gurih dari ayam broiler. Keuntungan telur produksi kami dihargai selisih 200 rupiah dari telur ayam biasa,” katanya lagi.

Saya mengangguk-angguk. Mencoba tersenyum sambil berusaha menekan kekhawatiran yang berkecamuk. Secara resmi saya baru hari ini berkenalan dengan anak muda itu. Namun sudah sejak lama puteri kami mengenalkannya sebagai teman intimnya selama ia kuliah melalui cerita-cerita dan telepon-telepon kepada saya dan ibunya hampir setiap minggu. Sebagai ayah, saya berusaha untuk mengikuti kehendak anak-anak muda masa kini. Sedapat mungkin pengikuti zaman, dan tak terjangkit kekolotan yang tidak perlu seperti banyak anak muda menuduh kami.

Anak muda itu masih membumbui ceritanya dengan macam-macam istilah teknis macam bibit DOC yang cepat-cepat dipanjangkannya sebelum kening saya mengerut menjadi day old chicken; anak ayam usia satu hari. Masih ada kandang battery, dan skema kerjasamanya dengan perusahaan peternakan di Jakarta, harga-harga pakan, dan bagaimana ia mencari bekatul sampai ke Purwokerto. Saya kira tak ada ayah yang tak bahagia memiliki menantu yang simpatik, pekerja keras, dan memiliki prospek masa depan yang membanggakan. Apakah anak muda ini termasuk kategori itu?

”Bagaimana mas, ayahku orangnya baik kan?” puteri kami masuk membawa minuman. Ia melirik saya, kemudian anak muda itu. Anak muda itu memaksakan diri tertawa kecil.

”Seharusnya yang perlu diyakinkan bahwa mas mu ini orang baik itu bapak. Bukan begitu nak?” Anak muda itu kembali tersenyum. Puteri kami mencibir. ”Silakan mas. Ini saya yang buat sendiri lho,” katanya menyuguhkan minuman. Dari tempat duduk saya dapat melirik: teh panas. Model beginian saja bangga, batin saya dalam hati saja. Bagi puteri saya yang satu tahun ini bekerja menjadi teller di bank swasta nasional, pekerjaan membuat teh manis sudah dianggapnya spesial. Ah, bakal seperti apa maunya anak-anak muda kini.

TANGANNYA saya genggam erat-erat. Sejak ia baru lahir, saya telah berjanji akan menuntaskan tugas sebagai ayahnya. Menjabat tangan langsung, seorang diri, myself, siapapun laki-laki yang akan menjadi suaminya. Janji saya itu kesampaian pagi ini. Saya genggam tangan anak muda itu. Saya lantunkan pelan-pelan ikrar ijab yang dengan segera pula dijawabnya sebagai kabul.

”Sah?” tanya penghulu, mengedarkan pandang kepada saksi-saksi.

”Sah.” jawab saksi serempak. Segera terdengar desah napas kelegaaan dari hadirin.

Puteri kami berpandangan dengan anak muda itu. Saya tak tahu apa yang dipikirkannya. Kalau saya dulu yang ada hanya senang. Saya juga tak lagi ingat apakah saya peduli dengan perasaan mertua saya, ayah istri saya kala itu. Istri saya hanya tersenyum dikulum menjaga riasan make up-nya agar tidak berantakan. Sebagai ibu tak ada kebahagian lain baginya selain puterinya tak menjadi perawan tua. Menjadi Doktor boleh. Menjadi ibu rumah tangga boleh. Tapi jangan menjadi perawan tua. Saya membuang pandang sejenak.

Bukan. Saya bukan tak setuju. Tidak pula saya tak menyukai anak muda itu yang kini secara sah, resmi dan meyakinkan menjadi menantu saya. Saya berusaha menenangkan diri. Apakah ini nyata, sebagaimana doa-doa saya di penghujung subuh agar puteri kami mendapatkan pendamping hidupnya yang terbaik. Yang paling baik.

Belum genap hati saya tertata, MC sudah memberi aba-aba akan ada prosesi adat. Kedua mempelai akan bergantian mencium punggung tangan saya secara takzim, yang kami sebut sungkeman. Kesempatan bersiap-siap untuk prosesi ini saya gunakan untuk menghibur diri. Satu hal yang saya jaga betul. Jangan sampai air mata saya menetes. Meskipun hati saya dikoyak-koyak oleh gemuruh kebahagiaan, kekhawatiran, dan terselip sedikit perasaan tak rela. Baiklah, paradoks ini akan saya nikmati.

Anak muda itu mencium takzim punggung tangan saya. Keris pajangan yang tadi terselip dipinggangnya sudah dilepas. Sebagai kesopanan bagi saya sebagai orang tuanya, layaknya setiap prajurit dilucuti senapannya dan ikat pinggang kopelriem ketika menghadap komandan.

Melihat beskapnya yang gagah, melihat caranya jalan berlutut sebelum menghampiri punggung tangan saya, mengingat dengan sadar detik demi detik ini hingga semua perhelatan ini usai saya rasakan sebagai tekanan yang menghimpit perasaan kebapakan saya. Saya harus menyebutnya siapa: anak muda yang menyelamatkan kehidupan sosial anak saya dalam mahligai perkawinan? Atau jangan-jangan, dialah yang merenggut hak-hak sosial saya sebagai ayah puteri kami. Haruskah ia saya banggakan. Atau dengan satu gerakan saya putar kepalanya 360 derajat seperti Sultan Agung memutar kepala Ki Ageng Mangir. Kesempatan itu ada pada hari ini. Detik ini. Tetapi tidakkah saya menjadi ayah bedebah yang tak tahu menempatkan perasaan ketika puterinya melangsungkan pernikahan. Hanya ayah bedebah yang berpikir bukan-bukan atas menantunya. Tidakkah saya sadar saya juga persis melakukan hal yang sama dengan anak muda itu, persis melakukan prosesi merenggut hak-hak sosial anak perawan orang.

Hening. MC menunggu saya dengan lirikan matanya. Anak muda itu takzim mencium punggung tangan saya. Seperti saya dulu, pastilah dia mengharapkan pesan-pesan terakhir saya sebagai ayah puteri kami sebelum puteri kami menjadi tanggungjawabnya. Pesan-pesan dengan kalimat puitis, agar terkesan magis. Kalau bisa akan menjadi kata-kata yang akan dijadikannya pegangan. Kata-kata yang menjadi kekuatan baginya untuk mengarungi bahtera rumah tangga menuju pulau bahagia. Saya menelan ludah berkali-kali. Saya katakan padanya. Pendek, karena saya tak mampu merangkai kalimat-kalimat panjang. ”Nak, ayah mendoakan kalian berbahagia. Saya titipkan puteri saya nak.” Saya bahkan gemetar mengusap hangat kepala belakangnya. Doa-doa saya panjatkan. Kisah Ki Ageng Mangir cepat-cepat saya enyahkan dari kepala. Saya tak dapat menahannya. Bukan gerakan memutar 360 derajat itu. Air mata saya menetes. Membasahi rambutnya. Anak muda itu mendongak. Tak mengatakan apa-apa. Memberikan satu senyum. Katanya dengan senyum itu: percayalah pak. Saya laki-laki yang tepat bagi puteri bapak. Saya akan sekuat tenaga menjaganya sebagai bagian dari rusuk saya yang terlepas dulu, di surga.

Saya ingin membuang pandang. Tak sanggup menatap matanya. Namun saya beranikan diri, sambil berkata dengan tatapan mata berkaca-kaca: saya berharap banyak padamu anak muda. Saya percaya.

MALAM mulai turun. Ustad yang diudang telah mengakhiri taushiyah-nya untuk kedua mempelai, dan kepada kami yang menghadiri walimatul ursy. Saya menyalami banyak kenalan dan tetamu yang hadir. Semua mengucapkan selamat, sambil menggenggam tangan saya erat-erat. Satu dua menyelipkan amplop langsung di telapak tangan saya, meskipun kotak amplop undangan yang berhias-hias cantik tersedia di meja penerima tamu.

Saya melayani bercakap-cakap, menemani tamu-tamu yang makan malam, membalas beberapa godaan teman bahwa kini saya sudah tua. Saya mencari-cari anak muda itu dan puteri saya. Tak ada. Istri saya sambil tersenyum dikulum menjaga riasan make up-nya menggoda saya.

”Tak usah dicari pak. Mereka sedang istirahat. Sepertinya mereka letih betul. Biar kita saja yang menerima tamu. Bukankah tetamu yang datang juga tamu kita,” kata istri saya. Meyakinkan.

Saya belum sempat berpikir karena tangan saya telah disambut seorang tamu yang hendak pamit. Sambil menggenggam punggung tangan saya dengan kedua tangannya yang ditangkupkan tamu itu mengucapkan beberapa doa: agar kedua mempelai menjadi keluarga sakinah, mawaddah dan warrahmah. Saya dan istri berkali-kali mengamininya.

Tetamu berangsur-angsur pamit hingga telah pulang seluruhnya. Tinggal beberapa panitia membereskan gelas-gelas, dan piring-piring, dan merapikan kursi-kursi, menyimpang stoples-stoples berisi makanan kecil, juga pinggan-pinggan di meja makan. Semua diungsikan ke dapur.

Istri saya menggamit lengan saya. Saya juga telah letih betul. Letih oleh aktivitas semingguan ini menyiapkan pesta pernikahan ini. Juga letih dalam hati saya yang belum saya tuntaskan. Mungkin di kamar nanti semua perasaan dapat saya tumpahkan kepada istri saya. Seperti biasa setiap hari kami lakukan, saling bercerita sampai kami mengantuk dan tertidur.

Istri saya membuka pintu kamar. Di sebelah kamar kami ada kamar yang dihiasi rupa-rupa kain dan bebungaan. Itu kamar pengantin puteri kami. Melihat kamar itu hati saya kembali robek. Malam ini malam pertama. Malam ini malam pertama puteri kami tidur di pelukan laki-laki lain. Anak muda itu.

Malam ini malam pertama. Saya sudah sering mendengar cerita orang banyak soal malam pertama. Apa yang dilakukan kedua mempelai pada malam pertama. Saling membelai? Puteri saya, anak kami, akan dibelai laki-laki lain. Anak muda itu. Masa 24 tahun merawat puteri kami seperti baru terjadi dua hari lalu. Saya memandikannya. Beberapa kali menyuapinya. Menemaninya menonton VCD lagu-lagu anak. Menciuminya dengan sayang seorang ayah yang tercurah. Malam ini malam pertama anak muda itu akan mencium puteri saya. Bibirnya akan mengecup pipi lembut anak saya, seperti bibir saya mencium sayang pipi anak saya. Malam ini malam pertama. Malam pertama saya rasakan sebagai malam yang degil.

”Bagaimana pak, tugas kita sementara telah paripurna. Mudah-mudahan menantu kita itu jodoh puteri kita ya pak. Amien.” Istri saya mendoakan puteri kami dan anak muda itu sambil beranjak ke atas ranjang.

Mata saya sudah berkaca-kaca. ”Setiap bapak pasti sedih menikahkan puterinya pak. Tetapi kesedihan itu nanti larut dalam kebahagiaan,” istri saya lagi. Sok nggombal filosofis. Saya menggenggam tangannya. ”Menjadi orang tua ternyata hanya sebentar ya bu. Seperti hanya tiga hari saja. Setelah itu anak kita menjadi tanggungjawab suaminya,” mata saya berkaca-kaca lagi.

Istri saya tersenyum. Kali ini manis sekali, karena tak ada make up yang harus dijaganya. ”Ya, jadi bapak yang sentimentil sekali-sekali boleh kok,” ia menggoda saya. Saya jadi ikut tertawa kecil.

Sambil berbaring di kasur saya menceritakan gejolak di hati saya kepadanya. Terutama malam pertama. Malam pertama. Mengapa harus ada malam pertama. Mengapa malam pertama harus menjadi malam yang degil. Malam kedegilan. Apakah sebagai ayah saya fair? Tidakkah saya dulu tak sempat berpikir apa yang ada di benak mertua saya saat malam pertama saya dan istri saya. Saya ceritakan saya hendak tidur cepat. Secepatnya. Saya tak ingin mengingat-ingat. Saya tak ingin mendengar. Saya ingin segera besok pagi. Saya ingin melewatkan malam pertama ini dengan tidur saja. Kalau dapat yang pulas.
”Bu, obat tidur masih ada?”

Istri saya tak menjawab. Berjalan ke kotak obat di buffet. Mengambilkan obat tidur dan menyerahkan pada saya, satu butir pil yang telah dibuka dari kemasannya, dengan segelas air putih. ”Tidur yang nyenyak ya pak. Saya akan membuka-buka kado dulu. Sudah tak sabar,” istri saya tersenyum geli. Pastilah ia sedang mengharap-harap dengan cemas isi kado-kado yang menumpuk di kamar. Istri saya menyelimuti saya. Mengecup kening saya lembut. Saya menjadi anak kecil lagi dalam kekuatannya. ”Kita berdoa sama-sama ya pak, semoga kita segera mendapat cucu,” bisiknya. Dalam balutan selimut saya menggigil. Saya tentu senang mendapat cucu. Tetapi mengapa harus melalui malam pertama?

Slawi, 15 Maret 2011.

Komentar