BREBES, DALAM PERSFEKTIF BUDAYA PERBATASAN

Wawancara Wartawan Harian Umum Pikiran Rakyat dengan Seniman dan Budayawan Pantura Keturunan Brebes, Dyah Setyawati

Selasa, Jelang akhir Mei 2011-- Redaksi tropong dikontak oleh budayawan Cirebon Nurdien M. Noer. Dijadwalkan wawancara wartawati PR DESSY PERSIA LESTARI dengan Seniman dan pemerhati budaya Pantura asal Brebes, Dyah Setyawati pun berlangsung dengan cepat.

Melalui komunikasi termodern pihak wartawati PR memperoleh jawaban-jawaban yang sangat berguna bagi masayarakat perbatasan Cirebon, Brebes, Tegal dan sekitarnya. Perbincangan dengan tema: “Potensi daerah perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah ditinjau dari sisi ekonomi, social dan budaya’. Itu pun menghasilkan buah pemikiran yang patut direnungkan.

Inilah hasil wawancara tersebut;

Cirebon, 25 Mei 2011

DESSY PERSIA LESTARI : Assalamualaikum wr.wb. Yth. Mba Dyah Nurochman, di Brebes.

DYAH SETYAWATI : Wa’alaikum Salam Wr. Wb.

DESSY PERSIA LESTARI : Begini mbak, yang melatarbelakangi kami ingin memperoleh tanggapan dari mbak Selaku Seniman dan pengamat sosial budaya di Brbebes dan sekitarnya, terkait dengan ; Daerah perbatasan antara Jabar dan Jateng selama ini kurang tersentuh untuk dibicarakan. Pada tanggal 5 – 7 Juni 2011 akan diadakan meeting para bupati perbatasan, seperti Cirebon, Brebes, Banyumas, Kuningan dan Majalengka di Prima Resort Kuningan Jabar. Dari sisi itu ternyata daerah perbatasan saling pengaruh mempengaruhi dalam berbagai aspek, baik ekonomi, sosial maupun budaya. Potensi dan saling pengaruh pada daerah perbatasan inilah yang akan kami munculkan pada terbitan PR Edisi Cirebon, Rabu 8 Juni 2011. Adapun beberapa pertanyaan yang perlu kami gali, antara lain. Sejauh manakah saling pengaruh mempengaruhi terjadi, bila ditilik dari sisi budaya dan ekonomi ?

DYAH SETYAWATI : Ananda Dessy Persia Lestari, soal latar belakang permasalahan wilayah batas Cirebon dan daerah kabupaten tetangganya sudah cukup lama kita pahami. Artinya perkembangan sosial, ekonomi dan budaya di wilayah tersebut sudah barang tentu memiliki saling keterpengaruhan. Sehingga wajar saja jika terjadi pergeseran, pertautan, percampuran dan tarik-menarik ke persoalan pemilikan, perihal perilaku sosial budaya dan politiknya. Namun demikian hal itu sudahlah menjadi kebiasaan. Konsekwensinya memang harus ada yang kalah dan memang. Yang kalah mengangkat yang lain dan yang menang menjunjung tinggi nilai-nilai peradaban.

DESSY PERSIA LESTARI : Apakah pengaruh daerah Cirebon begitu kuat di perbatasan Jawa Tengah, sehingga ketika penduduk Kabupaten Brebes ditanya alamatnya, maka dijawab dari Cirebon ?

DYAH SETYAWATI : Pengaruh daerah Cirebon di daerah perbatasan tidak terlalu kuat. Dan, Tidak semua masyarakat Brebes mengaku “wong Cirebon” saat ditanya asal-usulnya disaat berada di luar daerahnya sekalipun. Meski banyak diantara mereka yang sudah terikat persaudaraan, mungkin hanya warga losari wetan saja-lah yang kadang merasa sulit dibedakan wong Jateng apa wong Jabar, jika dilihat dari dialek bahasa tutur dan adat istiadatnya. Maklum Warga Losari Wetan Kabupaten brebes ini baik kaum nelayan dan petaninya berbaur dalam kehidupan ekonomi yang tak ada bedanya dengan masyarakat Cirebon.

Sejak jaman Majapahit hingga berlanjut pada era kejayaan Raja-raja Mataram, masyarakat Jawa sudah tersebar dan berbaur dari Jawa Timur hingga jazirah Pantai Utara Jawa. Semakin luas penyebaran tersebut, semakin besar pula perubahan sikap hidup, sosial, budaya dan politiknya. Bagi masyarakat Jawa yang tinggal di daerah perbatasan pasundan, mereka lebih condong mengikuti pengaruh keraton dan budaya cirebon, ketimbang pengaruh budaya sunda. Hal ini dikarenakan pada era Kejayaan penyebaran agama Islam, para Wali di tanah Jawa memusatkan pengaruhnya di kraton cirebon. Jadi kalaupun hingga kini masyarakat Jawa dan Pasundan berkaitan dengan Cirobon itu, bukan karena pengaruh raja-rajanya yang berkuasa di Cirebon, tetapi karena menghormati auliya dan mengharap barokah dari pengaruh para wali yang pernah berjasa pada masyarakay Islam di pulau jawa, terutama disaat bulan maulud dan pelal mulud.

DESSY PERSIA LESTARI : Demikian pula dengan kesenian daerah, seperti tarling, tari topeng, sintren, wayang kulit cerbonan dan sebagainya, ternyata tidak hanya terdapat di Cirebon, tetapi juga di Brebes, Pekalongan dan Banyumas. Mohon analisa dari kasus tersebut ?

DYAH SETYAWATI : Berdasarkan analisa saya, benar kiranya ada kesamaan kesamaan bentuk kesenian antara daerah Cirebon dengan Brebes,Tegal dan Pantura wetan umumnya. Namun demikian, tidak semua daerah pinggiran Jawa Tengah yang berbatasan dengan Jawa Barat atau Cirebon memiliki kesamaan irama dan dialek bahasa pengantarnya.Sebagai contoh jika di Brebes ada tari topeng, Sintren dan Burok, namun musik dan tembangan pengiringnya berbeda dengan kesenian sejenis di Cirebon. begitu juga yang terjadi pada wayang golek cepak, wayang kulit purwa, seni tayub, tari kuntulan, dan calung, semua menggunakan musik dengan irama khas lagu-lagu jawa tengah, sebagaimana tembang macapatan yang jadi pakem tembang jawa, baik itu dandanggula, pangkur, kinanti, asmarandana, mijil dan sinom ada juga, namun laras dan dialeknya mengikuti pakem Jawa Tengah yang berkiblat pada tembang pujangga kraton Solo dan Yogyakarta.

kalaupun banyak masyarakat Brebes ,pinggiran Tegal, Pekalongan dan yang ada di daerah Pantai Utara jawa, menyukai kesenian bahkan kemudian membentuk kesenian-kesenian ala Cirebon, namun sifatnya hanya keterpengaruhan saja. Begitu juga manakala masyarakat Brebes dan Tegal juga Pemalang menyukai kesenian Tarling, Sandiwara dan Genjring Umbul dan jaipong, semua itu hanya disukai masyarakat yang bukan kategori kelas bangsawan. Contohnya saja kalangan petani dan nelayan. Jadi wajarlah jika di tahun 70 hingga 90 an akhir, katena kesenian tersebut menjadi sarana hiburan, tanggapan di masyarakat ini. Begitu juga manakala lagu dangdut tarling mampu menerobos lagu dangdut nasional, CD dan kasetnya laris terjual dikonsumsi masyarakat perbatasan semata menjadi hiburan dan bentuk kesenian yang mudah diikuti tren-nya. Jadi jangan heran jika sekarang di Brebes ada ratusan group organ dangdut dengan lagu-lagu Cirebon Indramayunan.

Berbeda dengan yang terjadi pada kalangan Bangsawan (kaum ningrat-atau masyarakat yang naik kelas sosialnya), yaitu orang biasa yang jadi pegawai negeri, lurah, camat, Bupati atau saudagar yang memiliki jaringan usaha di wilayah Jaw Tengah, mereka lebih berkiblat pada kebudayaan Kraton Ssolo dan Yogyakarta untuk menaruh gengsi dan posisi sosial di masyarakanya.

Banyak contoh di daerah pinggiran Cirebon yang awalnya jadi pedagang ikan, Kondektur, atau penjual bawang, saat nyalon jadi lurah, bahkan jadi Bupati, seleranya langsung berubah dari yang suka dangdut tarling ke campur sari gaya Solo dan Yogya. Di saat pesta tsyakuran jika dulu nanggap tarling berubah nanggap Kenengan tayub gaya Surakarta. Ini sebuah kenyataan yang tak bisa ditolak.

DESSY PERSIA LESTARI : Pengaruh keraton Cirebon, apakah begitu kental di daerah Jawa Tengah?

DYAH SETYAWATI : Sejak jaman Majapahit hingga berlanjut pada era kejayaan Raja-raja Mataram, masyarakat Jawa sudah tersebar dan berbaur dari Jawa Timur hingga jazirah Pantai Utara Jawa. Semakin luas penyebaran tersebut, semakin besar pula perubahan sikap hidup, sosial, budaya dan politiknya. Bagi masyarakat Jawa yang tinggal di daerah perbatasan pasundan, mereka lebih condong mengikuti pengaruh keraton dan budaya cirebon, ketimbang pengaruh budaya sunda. Hal ini dikarenakan pada era Kejayaan penyebaran agama Islam, para Wali di tanah Jawa memusatkan pengaruhnya di kraton cirebon. Jadi kalaupun hingga kini masyarakat Jawa dan Pasundan berkaitan dengan Cirobon itu, bukan karena pengaruh raja-rajanya yang berkuasa di Cirebon, tetapi karena menghormati auliya dan mengharap barokah dari pengaruh para wali yang pernah berjasa pada masyarakay Islam di pulau jawa, terutama disaat bulan maulud dan pelal mulud.

DESSY PERSIA LESTARI : Daerah perbatasan ternyata lebih memiliki prospek kemandirian dalam ekonomi dan budaya. Mereka bukan Jawa juga bukan Sunda. Sejauh mana Anda memahami hal ini ?

DYAH SETYAWATI : Daerah perbatasan yang bukan Sunda dan bukan pula pengaruh Jawa yang berpusat di Solo dan Yogya, memiliki kemandirian yang signifikan untuk mengatur pola kehidupan sosial budaya dan politiknya. Mereka tidak sedemikian gampang diatur oleh hegemoni kekuasaan apapun. Jadi wajarlah jika ada kecenderungan masyarakat perbatasan mudah melakukan perombakan dan pemberontakan, terutama kegemaran mereka memunculkan ide-ide dan nama yang lain untuk berbagai jenis kesenian atau adat-istiadat hingga selalu saja membentuk perbedaan yang prinsip padahal jika diteliti muaranya sama.

Konsep inilah yang pada kenyataannya memberikan ciri khas dan memberi kemenarikan tersendiri pada masyarakat non kraton yang cenderung murni, berasal dari suara rakyat, bentuk kesenian rakyat,dan wujud tatanan kehidupan masyarakat yang asli.

Namun begitu ada hal yang menarik dari masyarakat Brebes dan Cirebon, mereka sama-sama memiliki potensi yang sedemikian mudah untuk memahami bahkan fasih berbahasa sunda. Begitu juga pada seni budayanya. Sebagai contoh ada warga Brebes yang pandai mendongeng dalam bahasa sunda, dan menjadi penyiar di radio Sindangkasih Cirebon, Mas Nurdin tahu namanya. Begitu juga dalang-dalang wayang di Brebes dan Tegal semua fasih dengan lagu-lagu sunda dan Jawa Cerbonan Sebut saja Dalang Ki Entus Susmono dan Ki Barep, mereka fasih berbahasa Jawa Wetan juga Cirebon dan Sunda.

DESSY PERSIA LESTARI : Dalam bahasa, apakah mereka memiliki kemandirian yang berbeda dengan Sunda (Priangan) maupun Jawa (Surakarta maupun Yogya).

DYAH SETYAWATI : Bahasa yang membentuk kemandirian mereka adalah bahasa jawa dengan dialek yang ngapak, terbuka, blakasuta dan ceplas-seplos tidak sebagaimana bahasa halus kaum ningrat kraton dan para bangsawan.

DESSY PERSIA LESTARI : Atas kesedian mbak Dyah dan jawabannya kami haturkan banyak terima kasih.

DYAH SETYAWATI : Sama-sama dik, semoga selalu sukses dan media Pikiran Rakyat-mu terus menjadi kebanggaan Bangsa.

DESSY PERSIA LESTARI : wassalamu’allaikum Wr. Wb.

DYAH SETYAWATI : Wa’allaikum Salam warohmatulohi Wabaroka’atuh.

***

Komentar