Slawi--Wajah bahagia semakin nampak pada diri Suwitri di usianya yang kian senja. Wanita pedagang Bubur di Desa Slarang Kecamatan Dukuh Waru Kabupaten Tegal ini, sejak kecil mencintai seni tari Topeng. Wajar jika Suwitri tidak mengetahui sejarah Tari Topeng yang digelutinya sejak ia diajar tari oleh Ibunya yang bernama Warmi. Suwitri hanya tahu jika Mbok Warmi selaku ibunya telah memberikan ajaran kepadanya 12 jenis tari topeng dengan wanda dan karakter yang berbeda.
Namun demikian Suwitri sampai kini hanya mampu menarikan 6 jenis taria saja. Tari Topeng yang dikuasainya diantaanya; Tari Topeng Endel (Selamat datang), Kresna (Pangaweruh), Panji atau Janaka (Keucian diri), Layapan Alus (Pembelajaran), Ponggawa/Patih (mangku drajat) dan Klana (puncak kekuasaan). Meski demikian Dirumah yang sekaligus jadi sanggarnya, Suwitri sudah tak memiliki gamelan lagi. Konon sepeninggal suaminya satu persatu gamelan miliknya dijual untuk kebutuhan sehari-harin dalam mempertahankan hidupnya.
Bagaimana tidak bahagia, jika dalam kondisi kehidupan yang sederhana Suwitri, sebagai buruh tani dan pedagang sarapan bubur di pagi hari, ia lakoni perjalanan hidupnya dengan tulus. “Mana ada orang yang datang ingin dilaih menari topeng dalam suasana begini,” keluhnya. Suwitri memang hanya diwarisi kemampuan menari oleh mendiang orangtuanya. Topeng dan gamelan yang dulu mengiring perjalanan Ibunya sudah habis dijual untuk biaya hidup. Rumahnya di pojok Desa Slarang pun sangat sederhana.
Suwitri tinggal bersama anaknya yang sudah dewasa, Purwanti (35) kini telah mengikuti jejak Suwitri, menari dan nyinden. Mereka berpuluh tahun tinggal serumah tanpa penerangan listrik. Meski demikian Suwitri tetap sabar. Sampai kemudian ia memperoleh kepercayaan untuk berbakti pada negerinya dengan semangat mengajarkan tari secara sukarela. Upah tak pernah ia persoalkan. Penabuh gamelan yang biasa mengiringinya menari pun masih bisa diajak kerja sama. Kesetiaan pada kesenian yang diembannya itulah yang menyebabkan para peneliti dari DKJ dan IKJ yang dikomandoi Deddy Lutan, Barkah, Febby, Elly Lutan dkk, memperjuangkan Suwitri memperoleh Penghargaan dari Mentri Pariwisata dan Kebudayaan Jero Wacik sebagai Maestro penari Topeng dari Slawi atau Kabupaten Tegal untuk tahun 2010 lalu.
Sebagai penghargaan Suitri setiap 6 bulan sekali memperoleh honor/ tunjangan dari pemerintah tak kurang dari 7 juta rupiah. Sayangnya setelah memperoleh perhatian pemerintah pusat, pihak pemkab atau Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Tegal tidak memanfaatkan kemampuannya untuk ditularkan pada generasi berikutnya. 6 tari topeng yang dikuasanya pun hanya Tari topeng endel yang dikenal dan pernah dijadikan even peraihan rekor muri, ketimbang pelestarian secara terus menerus di berbagai lembaga bahkan menjadi tarian penting diberbagai arena hiburan dan pariwisata.***(Diah Setyawati)
Namun demikian Suwitri sampai kini hanya mampu menarikan 6 jenis taria saja. Tari Topeng yang dikuasainya diantaanya; Tari Topeng Endel (Selamat datang), Kresna (Pangaweruh), Panji atau Janaka (Keucian diri), Layapan Alus (Pembelajaran), Ponggawa/Patih (mangku drajat) dan Klana (puncak kekuasaan). Meski demikian Dirumah yang sekaligus jadi sanggarnya, Suwitri sudah tak memiliki gamelan lagi. Konon sepeninggal suaminya satu persatu gamelan miliknya dijual untuk kebutuhan sehari-harin dalam mempertahankan hidupnya.
Bagaimana tidak bahagia, jika dalam kondisi kehidupan yang sederhana Suwitri, sebagai buruh tani dan pedagang sarapan bubur di pagi hari, ia lakoni perjalanan hidupnya dengan tulus. “Mana ada orang yang datang ingin dilaih menari topeng dalam suasana begini,” keluhnya. Suwitri memang hanya diwarisi kemampuan menari oleh mendiang orangtuanya. Topeng dan gamelan yang dulu mengiring perjalanan Ibunya sudah habis dijual untuk biaya hidup. Rumahnya di pojok Desa Slarang pun sangat sederhana.
Suwitri tinggal bersama anaknya yang sudah dewasa, Purwanti (35) kini telah mengikuti jejak Suwitri, menari dan nyinden. Mereka berpuluh tahun tinggal serumah tanpa penerangan listrik. Meski demikian Suwitri tetap sabar. Sampai kemudian ia memperoleh kepercayaan untuk berbakti pada negerinya dengan semangat mengajarkan tari secara sukarela. Upah tak pernah ia persoalkan. Penabuh gamelan yang biasa mengiringinya menari pun masih bisa diajak kerja sama. Kesetiaan pada kesenian yang diembannya itulah yang menyebabkan para peneliti dari DKJ dan IKJ yang dikomandoi Deddy Lutan, Barkah, Febby, Elly Lutan dkk, memperjuangkan Suwitri memperoleh Penghargaan dari Mentri Pariwisata dan Kebudayaan Jero Wacik sebagai Maestro penari Topeng dari Slawi atau Kabupaten Tegal untuk tahun 2010 lalu.
Sebagai penghargaan Suitri setiap 6 bulan sekali memperoleh honor/ tunjangan dari pemerintah tak kurang dari 7 juta rupiah. Sayangnya setelah memperoleh perhatian pemerintah pusat, pihak pemkab atau Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kab. Tegal tidak memanfaatkan kemampuannya untuk ditularkan pada generasi berikutnya. 6 tari topeng yang dikuasanya pun hanya Tari topeng endel yang dikenal dan pernah dijadikan even peraihan rekor muri, ketimbang pelestarian secara terus menerus di berbagai lembaga bahkan menjadi tarian penting diberbagai arena hiburan dan pariwisata.***(Diah Setyawati)
Komentar