Menguak Tabir Kesenian Slawi

Menguak Tabir Kesenian Slawi
Oleh : Nurochman Sudibyo YS.

Dari catatan perjalanan mengelilingi Slawi (baca: Kabupaten Tegal), tercatat berbagai potensi kesenian dan potensi budaya yang hampir tidak dikonsep secara maksimal. Kondisi seperti ini tentu saja mencemaskan. Padahal kabupaten yang sudah 5 kali mengalami pergantian pimpimpinan daerah ini semestinya sudah mampu lebih baik dari kabupaten atau kota disekitarnya yang jauh lebih sedikit memiliki potensi tersebut.

Masyarakat Slawi bahkan di luar Slawi sejak dulu mengenal eksistensi Dalang multi talenta Ki Entus Susmono, ia dikenal di Indonesia bahkan dunia sebagai dalang asal Slawi yang memiliki gaya pesisiran, nyleneh dan serba bisa. Demikian juga Dalang wayang Suket Slamet Gundono, meski kini tinggal dan menetap di Solo namanya tidak pernah lepas dari akar budaya Dukuh Salam Slawi. Ia pun dikenal di Indonesia bahkan di dunia sebagai dalang serba bisa. Begitu juga Limbad, kini dengan seni permainan sulap atau magician yang digelutinya telah menempatkan namanya sebagai Master Magician Indonesia asal Slawi.

Lalu tidakkah kita bangga dengan kearifan lokal lainnya seperti Ibu Suwitri yang kini memperoleh penghargaan nasional sebagai Maestro Tari Topeng Slarang, Slawi Kabupaten Tegal. –Awas bukan Maestro penari Topeng Endel. Karena Tari topeng Endel adalah salah satu tarian dari 6 tarian yang dikuasai Suwitri. Padahal Ibunya sendiri menguasai 12 tari Topeng dengan 12 wanda pula. Kalau kita bangga dengan upaya pelestarian yang telah dilakukan dengan mensosilisasikan Tari Topeng endel di waktu yang lalu, sehingga lidah kita latah mengucapkan kebanggaan memiliki tari topeng endel, atau tari endel, maka tanpa sadar kita telah mengecilkan potensi kekayaan Tari Topeng Slarang Slawi yang sedemikian banyak jenisnya.

Diluar itu masih cukup banyak jenis kesenian yang kondisinya merana, hidup segan mati pun tidak, bahkan jika tak ada upaya dari berbagai pihak yang berkompeten, maka kesenian ini pun dipastikan dalam waktu yang tidak begitu lama mati, hilang tak tentu rimba. Kita contohkan saja grup Seni Sintren di Jatinegara Slawi, yang kini masih disemangati oleh UPTD Pendidikan Pangkah, Drs. Teguh Hardi. Meski begitu saya yakin upayanya akan sia-sia. Karena menghidupkan kesenian adiluhung tidak bisa dilakukan orang-perorang dengan modal rasa kecintaan saja.

Begitu juga Seni Wayang Pring di Balamoa, Seni Wayang tutus di Balapulang dengan dalang sepuh Sirun, Seni Brai atau Brein di Margasari, belum lagi Tari Ketoprak, Tari Kuntulan, wayang kulit, wayang golek menak, calung, balo-balo, Tembang dan gending tegalan klasik, Sastra berbahasa daerah, Seni lukis khas Slawi, Seni membatik Khas Slawi. Juga seni kerajinan logam, kayu, bordir dan hiasan lainnya, semua bernasib sama tidak disentuh sebagai potensi besar yang jadi kebanggaan oleh institusi yang terkait.

Belum lagi beberapa potensi budaya yang kian terserabut oleh kekuatan budaya asing dan kurangnya perhatian dalam upaya penyelamatan kekayaan tradisi untuk menjadi sarana penunjang pariwisata seni budaya selain wisata alam, hunian, kuliner dan swalayan. Sebut saja tradisi mapag sri, sedekah bumi, baritan, nadran, khaulan, Pesta giling, Pesta panen padi, Panen tebu, dan jenis budaya khas Kabupaten Tegal yang semestinya dirunut, mulai dari penetapan bahasa daerah , melalui kurikulum pengajaran dan pengumpulan jumblah bacaan khas Kabupaten Tegal gaya Slawi-nan, yang kemudian diperkaya dengan menetapkan Tradisi Mantenan Gaya Slawi, Pranotocoro gaya Slawi, dan semua itu modalnya sudah ada dari sudah terkumpul namun tak dipedulikan oleh barbagai pemilik kebijakan.

Bahwa kita yang berada di Slawi harus manut dan menghormati pemerintahan Provinsi Jawa Tengah, itu benar. Namun jangan kemudian secara mentah-mentah kita paksakan seni budaya wong Slawi harus bergaya khas wong Wetan. Kita harus sadar diri dan sadar posisi sebagai masyarakat Jawa Tegah yang berada di kulon. Bukankah mereka yang di Pusat Provinsi dan diberbagai daerah lainnya menghargai dan dengan jujur menyukai seni budaya kita yang kental dengan gaya kulonannya yang kemudian mereka sebut gaya Tegal-an. Bukankah media televisi di Indonesia pun menaruh kebanggaan dengan menempatkan gaya khas Tegal-an sebagai ikon nasional. Kenapa kita memaksa diri mengikuti bahkan melakukan pelatihan-pelatihan kesenian yang berasal dari daerah luar dengan alasan Kreasi baru yang sebenarnya menghabiskan sisa anggaran di akhir tahun.

Dari sumber daya manusia Masyarakat Slawi juga tak kalah dengan daerah lain. Saya kira merekapun mampu manakala diberi kepercayaan untuk memakmurkan seni budaya Kabupaten Tegal, sebagai bagian dari kearifan lokal yang mesti di uri-uri. Kita melihat belum banyak potensi otodidak di Kabupaten Tegal, yang dalam konteks pemikiran dan intelektual bahkan telah disejajarkan dengan seniman-seniman nasional, baik dibidang Sastra, Seni Lukis, Seni Tetater, Film, Modelling, Arktor dan Aktris, Seniman tari, Koreografer tari kreasi modern, juga peneliti-peneliti budaya yang bergerak secara sendiri-sendiri karena merasa tak terwadahi dan tidak terakumudir dalam program yang diunggulkan oleh instansi yang membidangi seni budaya dan pariwisata.

Lalu bagaimana pula dengan peran Dewan Kesenian. Jika merujuk dari keputusan kongres Dewan kesenian di Riau dan Papua, semestinya Dewan Kesenian di Daerah dibentuk bukan sebagai wadah berkumpul para pegawai negeri yang menyukai kegiatan seni. Dewan kesenian dimanapun di Indonesia adalah wadah tempat berembugnya Seniman pemikir, guna melahirkan program-program yang kelak menjadi kebijakan pemerintah setempat melalui dukungan lembaga legislatif (DPRD) untuk digodog dan kemudian ditentukan dana serta diawasi kegiatannya demi kemajuan seni dan budaya di daerah tersebut.
Sebagai lembaga senian tentu saja Dewan Kesenian harus memiliki kesekretariatan. DK juga harus memiliki pengurus harian dan agenda kegiatanya yang berfungsi menyemangati kinerja setiap komite. Adapun program-program Dewan Kesenian dilaksanakan oleh sanggar-sanggar seni yang secara resmi telah dilegitimasi sebagai sanggar yang siap bekerja sama dengan Dewan Kesenian di daerah itu tentunya. Jadi Dewan Kesenian bukan pelaksana program, namun penggagas dan pemantau serta menjalankan kinerjanya untuk menunjang kemajuan daerah tersebut di bidang seni budaya. Seorang Anggota Komite atau ketua komite boleh menjadi pelaksana kegiatan apabila ia memiliki sanggar seni yang memiliki keanggotaan secara aktif.

Bagaimana pula dengan peran Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. Sudah barangtentu instansi ini harus menjadikan Dewan Kesenian sebagai mitra kerja bukan “ajang kegiatan” yang harus dilakukan. Jadi yang berhak mengusulkan anggaran, melaksanakan pelatihan-pelatihan seni, dan menghabiskan anggaran kesenian yang berasal dari uang rakyat melalui APBD itu ya Dewan Kesenian. Adapun dalam pelaksanaannya Dinas PARBUD mengawasi serta meminta pelaporan dan pengadministrasian kegiatan untuk menjadi bahan acuan lembaganya selaku dinas yang berfungsi menjadi pintu masuk dan keluarnya keuangan daerah untuk pembangunan seni dan budaya di daerah tersebut.

Jika saja konsep kelembagaan yang membidangi pembangunan seni budaya di daerah dibiarkan amburadul tak sesuai dengan fungsinya. Bahkan manakala pemerintah tidak memanfaatkan potensi yanga ada, apalagi kalau sama sekali tidak mau tau apa makna dan landasan kerja sebenarnya dari Dewan Kesenian, janganlah heran jika seni budaya yang ada akan menghilang dengan sendirinya. Lihat saja alasan yang mereka berikan oleh para pemilik kebijakan di Dinas Parbud yang selalu mengeluh dengan mengatakan “tak Ada Dananya”. Padahal menyelamatkan potensi seni dan budaya tak mesti harus dengan biaya kontan, Artinya seua itbu isa dilakukan dengan membangun silaturahmi dengan pemilik warung, rumah makan, swalayan, hotel, perkantoran dan BUMD serta BUMN yang ada. Semisal untuk menampilkan tari topeng Suwitri atau sintren bisa ditampilkan sebagai hiburan di HUT lembaga-lembaga usaha milik swasta dan pemerintah dan even-even pembukaan usaha kuliner dan perhotelan.

Marilah kita semarakkan kecintaan kita pada batik Asli kebanggaan wong Slawi Tegal, dengan memasang taplak, gorden dan pakaian resmi kita. Mari kita ajak pengusaha dan perusahaan yang menjual produknya ke daerah kita dengan membuat slogan, gambar, master, ikon-ikon kesenian tradisi kebanggaan kita sebagai penghias iklan-iklan layanan di jalan, di hotel, di jalur wisata, di rumah makan dan tempat tempat wisata lainnya. Mari kita berdayakan potensi seniman kebanggan kita yang sampai kini masih setia berkarya untuk membangun daerahnya. Kita pun harus yakin Tuhan mendukung semua kiklasan ini, dan Tuhan tak akan memiskinkan siapapun yang peduli dan berjuang untuk kemaslahatan seni budaya adiluhung. Karena dari situ kekuatan soasial, politik dan perekonomian dapat ditata dengan baik, sehingga menjanjikan kemenawanan yang abadi. ***

• Penulis adalah Peneliti
Ketua Medium Sastra dan Budaya Indonesia
Tinggal di Dukuh Sabrang Pangkah Slawi Kab. Tegal.

Komentar