Narasi Eksistensialisme dalam Lakon Kontekstual

TAHUN 2010 ini terbit satu buku teks drama, atau yang oleh Boen S Oemarjati disebut lakon sandiwara, dari Tegal. Yakni karya Nurhidayat poso, bertitel Tiga Lakon Sandiwara. Terdiri dari lakon Roro Ireng, The Sintren of Randu Alas, dan Ndoro Luwak. Lakon kedua terpaksa berbahasa Inggris, karena musti dipresentasikan penulisnya di kota-kota Australia; Darwin, Adelaide, Melborne, dan Tasmania; kesemua pada tahun 2002. Nurhidayat Poso yang kelahiran Tegal 5 Mei 1960 adalah penulis lakon, penyair, cerpenis, eseis, dan penulis obituari. Tahun kelahirannya penting dicatat, sebagai penanda bahwa ia dilahirkan di era Orde Lama, dewasa di era Orde Baru, dan tua di era reformasi – tiga era yang boleh dikatakan memiliki sejarah panjang bagi kehidupan anak manusia di negeri ini.

Penerbitan buku ini penting juga dicatat, karena pembukuan lakon sandiwara di era kapitalis praktis ini sangat riskan. Tak lain karena era revolusi elektronik dan digital ini, lebih-lebih lagi harus memaksa publik pembaca untuk menerima teks drama sebagai bahan bacaan. Di era Orba pun lakon sandiwara sulit diterima sebagai bahan bacaan sebagaimana novel, cerpen atau puisi. Meski yang mengejutkan di era kapitalis tok, teks drama karya Rendra Panembahan Reso pernah diterbitkan secara bersambung di harian Kompas. Sebelumnya hanya beberapa lakon-lakon pemenang Lomba Lakon Sandiwara Dewan Kesenian Jakarta diterbitkan oleh Pustaka Jaya; antaralain Aduh karya Putu Wijaya. Teks drama seakan “anak tiri” diantara “anak kandung” novel, cerpen atau puisi.

Anehnya penerbitan buku teks drama di era Orla lebih marak, baik berdasarkan naskah asli, terjemahan atau saduran. Sebut saja buku-buku lakon terjemahan karya Molliere (Scapin, dll), lakon saduran oleh Rendra (Tanda Silang, dll), lakon asli karya Utuy Tatang Sontani (Pakaian dan Kepalsuan, dll), Motinggo Boesje (Malam Jahanam), Nasjah Djamin (Penggali Kapur).

Mungkin ini disebabkan karena pada era Orla drama politik lebih hidup ketimbang di era-era sebelumnya. Drama paling mencekam di negeri ini, yang berpuncak pada peristiwa politik paling berdarah di tahun 1965. Termasuk dalam dunia sastra, antara Manifes Kebudayaan (Manikebu) yang berpaham seni untuk seni dan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berpaham seni untuk rakyat, Drama politik sastra ini pun berakhir pada pemberangusan karya-karya Lekra oleh Pemerintah Orba dalam kendali ABRI dan Jendral Besar Soeharto.

Memasuki era Orba, drama politik kebudayaan berganti dengan dimulainya drama politik ekonomi. Rakyat dicekam oleh suatu kondisi ketertiarapan oleh keterpurukan ekonomi yang menyebabkan kemiskinan. Terlebih atas perbedaan kaya-miskin yang menajam, yang disebabkan oleh dimulainya drama korupsi terbesar dengaan wajah kapitalis berkedok pembangunan. Ada pun ideologi mendunia yang mendasari sebagai panggung kehidupan, adalah paham eksistensialisme yang bertarung dengan sosialisme. Setiap manusia memerankan peran “aku” justru dalam luka yang diterima dengan sakit sama, “lu gue” dalam kemiskinan.

Drama-drama sosial lebih ditandai dengan dasar paham ini, ketertekanan sosial dan ekonomi berlangsung di setiap jengkal negeri ini. Dari ini muncullah karya-karya Arifin C Noer yang eksistensialis kerakyatan, dan wabahnya beranak-pinak ke seantero panggung kesenian yang sengaja dibangun Pemerintah Orba. Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta dan Taman-Taman Budaya di daerah menandai pementasan-pementasan ini. Publik penonton Indonesia dan masyarakat Indonesia terus disibukkan dengan harkat dirinya, keakuannya, justru di tengah penderitaan atas kemiskinan. Ini bukan tak menjadi kesadaran kaum intelektual, tapi juga gugatan dan gerakan yang memuncak sebagai chaos anti Orba. Salahsatunya adalah karya-karya Nurhidayat dalam tiga lakonnya.

Ya, inilah salahsatu lakon yang ditulis pada pra reformasi. Satu kemungkinan proses kreatif yang menandai pertarungan antara paham eksistensialisme dan sosialisme. Sebagaimana pada umumnya masyarakat Indonesia pada saat itu, yang mempertanyakan rezim yang berkuasa selama tigapuluh tahun lebih. Kekuasaan Sang Despot Jendral besar Soeharto, dalam rekayasa modernisasi dengan kekuatan senjata terutama klaim politik anti Komunis. Setelah memakan puluhan ribu korban nyawa, pada gilirannya eksistensi manusia mengalami degradasi moral. Kemanusiaan dihadapkan pada kematiannya, di atas kepentingan pembangunan fisik. Tiga lakon Nurhidayat termasuk yang secara masif mempertanyakan itu, meski ia tak bisa mengelak dari warisan eksitensialisme-universal.

Tiga lakon yang tampaknya kontekstual, memotret kehidupan jelata klas kaum urban terpinggir, tetap memiliki narasi eksistensialisme penulisnya. Ini tampak dalam lakon Roro Ireng, yang mau membidik sisi universal manusia meski hidup dalam situasi kumuh. Roro Ireng pelacur klas bawah yang terlempar dari desa dan terpaksa menjalani kehidupan sebagai penjaja cinta, tetap masih memiliki rasa cinta. Cinta masalalunya bersama Godak tumbuh kembali justru dalam kehidupan kumuh di tengah kota besar. Ditambah kehadiran Seniman yang pikiran-pikiran dan obsesinya berbenturan dengan masyarakat yang terpaksa menjadi pencoleng. Bidikan sisi universal Nurhidayat memang lebih ibarat kameraman yang mengambil gambar dari luar kehidupan kumuh itu sendiri.

Dalam hal ini Nurhidayat lebih ingin melakukan presentasi mengenai kehidupan sosial masyarakat klas bawah dari sisi pemikiran intelektualnya. Satu hal yang positip, ia menggunakan dialog dalam bahasa Indonesia “yang baik dan benar”. Sehingga dari sisi ini dia mampu membuat presentasi tanpa kehilangan kesastraan baku. Sekaligus sebagai sumbangan terhadap khasanah bahasa dan sastra Indonesia. Di lain pihak, meski tak se ekstrim Iwan Simatupang dalam lakon RT 0 – RW 0 yang dialog masyarakat klas bawahnya terasa sangat intelek, dialog-dialog dalam Roro Ireng terasa terloncat dari pikiran penulisnya. Ini memang terasa berbeda dengan lakon-lakon penulis Lekra, seperti Nasjah Djamin dalam Penggali Kapur, yang terasa lebih realistis berdarah berdaging.

Tak aneh dalam soal kebahasaan dan intelektualitas ini, Nurhidayat lebih realistis mepresentasikan pikirannya dalam lakon Ndoro Luwak. Sehingga lakon ketiga ini tampak lebih terasa berdarah dan berdaging, dalam dialog-dialog tokoh-tokoh dari masyarakat klas menengah ke atas. Ekistensialis dalam bidikan nilai-nilai universal pun tampak lebih mengena pada logika publik pembaca. Dan sebagai tokoh pergerakan di era reformasi, dia memang tampak menguasai tema klas masyarakat menengah ke atas yang cenderung korup dan perilaku menghalalkan segala cara, termasuk menjual anak gadis sendiri demi kepentingan karier pribadi. Tokoh-tokoh pun seperti hidup dan berseliweran di tengah-tengah kita, termasuk dalam pertanyaan besar tentang eksistensi manusia universal.

Bahwa pada gilirannya setiap manusia memainkan watak-watak, di panggung besar kehidupan. Sampai pada satu pertanyaan penting apakah lakon sandiwara itu yang non fiktif, atau kehidupan manusia itu sendiri yang pada dasarnya fiktif. Selamatlah..!
Eko Tunas, Pengamat Teater

Komentar