Dari Rakyat untuk Rakyat Menggagas Festival Budaya Tegal, dan Sentra Pasar, Industri, Seni Tegal Laka-Laka
PASAR BUDAYA bisa terbentuk dan bisa dibentuk, seiring kebutuhan dasar masyarakat dan atau tujuan pembangunan satu kota akan citarasa kebudayaan. Di sepanjang sejarahnya alun-alun, distrik, atau tempat wisata adalah pusat budaya kota. Atas dasar kebutuhan dasar masyarakat, alun-alun terbentuk sebagai pasar budaya.
Keramaian yang terbentuk tidak sekadar pasar sebagai tempat jual beli, tapi juga ajang tontonan yang ada kaitannya dengan kebutuhan apresiasi. Di pasar alun-alun tersebut terdapat berbagai tontonan, dari sulap penjual obat, atraksi peramal, hingga arena pertunjukan kesenian rakyat atau seni tradisional.
Seiring perubahan politik, dari politik kebudayaan ke politik ekonomi, alun-alun mengalami pergeseran pula. Citarasa akan epresiasi berkurang bahkan hilang, keramaian alun-alun pun hanya menjadi pasar sebagai ajang jual-beli. Kondisi ini terjadi dimana-mana, di setiap kota di Indonesia, terutama di kota-kota sentra pasar dan industri. Kondisi ini juga terjadi di Tegal, seiring pembangunan kota yang mengarah pada kehendak metropolis. Pasar alun-alun tidak hanya kehilangan apresiasi, tapi juga dipindah ke areal lapangan milik PJKA (sekarang PT KAI). Suatu usaha pelenyapan akan kebutuhan mendasar masyarakatnya yang nyaris sempurna. Apalagi saat terbetik kabar, bahwa alun-alun Tegal dinyatakan bersih dari segala bentuk pertunjukan seni.
Contoh distrik (pecinan) yang mengalami pergeseran ialah Malioboro Yogya. Kawasan itu pada mulanya lebih mencitrakan ciri kota Yogya dengan kehidupan malam dan aktivitas senimannya. Seiring perubahan politik yang terjadi, Malioboro pelan-pelan berubah menjadi sentra pasar, industri, seni yang menjadi trade mark wajah modern kota tradisional dengan kehidupan kratonnya. Trade mark ini tampaknya kini menjadi contoh terhadap ujian waktu sekaligus arah kebijaksanaan politik – khususnya desentralisasi daerah atas pusat. Termasuk kota Tegal yang kembali merindukan keberadaan pusat kota sebagai ciri budaya kota. Setidaknya hal ini sebagaimana yang dicita-citakan beberapa tokoh Tegal, baik pejabat pemerintah atau budayawan dan seniman.
Sentra Pasar, Industri, Seni
Sentra Pasar, Industri, Seni (SPIS) sebenarnya bukan barang baru, termasuk di Tegal. Sejak awal diterimanya fenomena industri di berbagai bidang, sentra ini coba dihidupkan secara sporadis. Diadakannya berbagai ajang pasarmalam selama kurun waktu tertentu di kawasan pantai. Juga festival yang menutup jalan, baik berscope kota maupun desa. Yakni Festival Diponegoro yang menutup Jl A Yani pada seputar tahun 1980-an, termasuk Festival di Jl Slamet dan di Jl Merpati. Menilik hal ini, keinginan menjadikan Jl A Yani sebagai SPIS sebenarnya boleh dikatakan telah memiliki “akar”, tinggal bagaimana menumbuhkembangkan. Terlebih kawasan distrik itu telah terkondisi dengan keramaian pusat jajan yang disebut Tegal Laka-Laka.
Tinggal bagaimana penataan spacenya, termasuk menjadikan Jl A Yani hanya satu arah bagi pengguna kendaraan mobil atau sepedamotor. Lalu penyediaan jalan bagi becak, sepeda atau pejalan kaki, dengan membuat jalur di kiri-kanan jalan yang dibatasi buhul jalan. Pada titik-titik tertentu ada ruang parkir dengan pembebasan buhul, sehingga dengan demikian kawasan ini akan mengundang semua pengunjung termasuk tidak menyulitkan pengguna mobil atau sepedamotor. Termasuk di titik-titik tertentu pula, ada fasilitas panggung terbuka untuk berkiprahnya para seniman melakukan pertunjukan seni secara bergiliran. Adapun idealnya arus lalu-lintas satu arah, ditentukan dari arah utara agar arus kendaraan kemudian bisa memutar di kawasan alun-alun.
Selanjutnya SPIS bisa mengundang pelaku Pasar, Industri, Seni, untuk mengisi space yang sudah terbentuk itu. Akan tetapi harus lebih mengutamakan pelaku-pelaku itu yang bergerak dalam usahanya yang berciri Tegal. Ini pun sebenarnya mudah, karena Tegal selama ini dikenal pelaku di tiga sektor itu. Terlebih ciri Tegal dengan pasar yang kaya dengan kuliner, termasuk barang-barang kerajinan rakyat. Di sini ada catatan penting tentang keberadaan batik Tegal, yang selama ini kurang merakyat dalam pemasaran dan rancang pakainya. Ini memang berbeda dengan batik Solo-Yogya atau Pekalongan, yang telah merakyat dan bisa ditemui di manapun dengan harga terjangkau. Dalam hal ini batik Tegal masih tekesan elit, dan perlu diubah kesan ini.
Festival Budaya Tegal
Setelah terciptanya SPIS Tegal Laka-Laka yang kira-kira ibarat Malioboronya Tegal, perlu diadakan trade mark Tegal yang lebih berciri budaya Tegal, sebagai usaha untuk merangsang kreativitas masyarakat dan para pelaku seni Tegal. Yakni dengan mengadakan festival tahunan, dengan mengambil tempat yang sama. Festival tahunan ini taruhlah diberi nama Festival (Budaya) Tegal, dengan menampilkan semua bidang seni sebagai kiprahnya para pelaku seni Tegal. Bedanya dengan penampilan seni pada SPIS, penampilan seni pada festival diutamakan yang lebih kreatif lagi, demi meningkatkan apreasiasi bagi masyarakat umum. Sehingga, apa yang dikehendakkan Tegal menuju kota metropolis lebih terbukti tidak hanya fisik tapi juga karakter budayanya.
Festival ini tentu saja akan menutup sepenuhnya Jl A Yani dari arus kendaraan mobil atau motor, dengan pembuatan pintu gerbang/gapura depan maupun belakang. Idealnya gapura depan di perempatan sebelah utara, gapura belakang di perempatan sebelah selatan (Tumpuk). Panggung-panggung pertunjukan diadakan di beberapa titik, untuk penampilan bagai pertunjukan seni kreatif (musik, teater, seni eksperimen, pentas sastra, pembaharuan kesenian rakyat/tradisional). Juga ada ruang exibition untuk karya industri kreatif, dan ruang galery/pameran sebagai kiprah para perupa). Tak menutup kemungkinan juga dengan diadakannya lomba-lomba kesenian, di ruang-ruang yang lebih tertutup dan lebih membutuhkan apresiasi yang lebih serius.
Kemudian untuk meramaikan suasana, perlu digelar aksi/pentas jalanan dengan penampilan atraktif di sepanjang jalan. Di sini kiprah seniman di berbagi bidang diuji kesahihannya dalam menampilkan bentuk pertunjukan yang bersifat out door. Tidak hanya kuda lumping atau barongsay misalnya, tapi adanya kemungkinan bentuk-bentuk pertunjukan yang semula in door ditampilkan secara out door. Demikian festival yang mungkin diselenggarakan selama sepekan atau dua minggu dan diadakan setiap tahun, akan menjadi trade mark Tegal dalam kiprah kreatif seni-budaya. Ini memang harus melibatkan tiga unsur sebagaimana teori kebudayaan: pemerintah menyediakan fasitas sebesar-besarnya, seniman memberikan kreativitas setinggi-tingginya, dan masyarakat ikut terlibat dan menjaga serta melestarikan kebudayaan bangsa.
Tim Kreatif Dewan Kesenian Tegal
Keramaian yang terbentuk tidak sekadar pasar sebagai tempat jual beli, tapi juga ajang tontonan yang ada kaitannya dengan kebutuhan apresiasi. Di pasar alun-alun tersebut terdapat berbagai tontonan, dari sulap penjual obat, atraksi peramal, hingga arena pertunjukan kesenian rakyat atau seni tradisional.
Seiring perubahan politik, dari politik kebudayaan ke politik ekonomi, alun-alun mengalami pergeseran pula. Citarasa akan epresiasi berkurang bahkan hilang, keramaian alun-alun pun hanya menjadi pasar sebagai ajang jual-beli. Kondisi ini terjadi dimana-mana, di setiap kota di Indonesia, terutama di kota-kota sentra pasar dan industri. Kondisi ini juga terjadi di Tegal, seiring pembangunan kota yang mengarah pada kehendak metropolis. Pasar alun-alun tidak hanya kehilangan apresiasi, tapi juga dipindah ke areal lapangan milik PJKA (sekarang PT KAI). Suatu usaha pelenyapan akan kebutuhan mendasar masyarakatnya yang nyaris sempurna. Apalagi saat terbetik kabar, bahwa alun-alun Tegal dinyatakan bersih dari segala bentuk pertunjukan seni.
Contoh distrik (pecinan) yang mengalami pergeseran ialah Malioboro Yogya. Kawasan itu pada mulanya lebih mencitrakan ciri kota Yogya dengan kehidupan malam dan aktivitas senimannya. Seiring perubahan politik yang terjadi, Malioboro pelan-pelan berubah menjadi sentra pasar, industri, seni yang menjadi trade mark wajah modern kota tradisional dengan kehidupan kratonnya. Trade mark ini tampaknya kini menjadi contoh terhadap ujian waktu sekaligus arah kebijaksanaan politik – khususnya desentralisasi daerah atas pusat. Termasuk kota Tegal yang kembali merindukan keberadaan pusat kota sebagai ciri budaya kota. Setidaknya hal ini sebagaimana yang dicita-citakan beberapa tokoh Tegal, baik pejabat pemerintah atau budayawan dan seniman.
Sentra Pasar, Industri, Seni
Sentra Pasar, Industri, Seni (SPIS) sebenarnya bukan barang baru, termasuk di Tegal. Sejak awal diterimanya fenomena industri di berbagai bidang, sentra ini coba dihidupkan secara sporadis. Diadakannya berbagai ajang pasarmalam selama kurun waktu tertentu di kawasan pantai. Juga festival yang menutup jalan, baik berscope kota maupun desa. Yakni Festival Diponegoro yang menutup Jl A Yani pada seputar tahun 1980-an, termasuk Festival di Jl Slamet dan di Jl Merpati. Menilik hal ini, keinginan menjadikan Jl A Yani sebagai SPIS sebenarnya boleh dikatakan telah memiliki “akar”, tinggal bagaimana menumbuhkembangkan. Terlebih kawasan distrik itu telah terkondisi dengan keramaian pusat jajan yang disebut Tegal Laka-Laka.
Tinggal bagaimana penataan spacenya, termasuk menjadikan Jl A Yani hanya satu arah bagi pengguna kendaraan mobil atau sepedamotor. Lalu penyediaan jalan bagi becak, sepeda atau pejalan kaki, dengan membuat jalur di kiri-kanan jalan yang dibatasi buhul jalan. Pada titik-titik tertentu ada ruang parkir dengan pembebasan buhul, sehingga dengan demikian kawasan ini akan mengundang semua pengunjung termasuk tidak menyulitkan pengguna mobil atau sepedamotor. Termasuk di titik-titik tertentu pula, ada fasilitas panggung terbuka untuk berkiprahnya para seniman melakukan pertunjukan seni secara bergiliran. Adapun idealnya arus lalu-lintas satu arah, ditentukan dari arah utara agar arus kendaraan kemudian bisa memutar di kawasan alun-alun.
Selanjutnya SPIS bisa mengundang pelaku Pasar, Industri, Seni, untuk mengisi space yang sudah terbentuk itu. Akan tetapi harus lebih mengutamakan pelaku-pelaku itu yang bergerak dalam usahanya yang berciri Tegal. Ini pun sebenarnya mudah, karena Tegal selama ini dikenal pelaku di tiga sektor itu. Terlebih ciri Tegal dengan pasar yang kaya dengan kuliner, termasuk barang-barang kerajinan rakyat. Di sini ada catatan penting tentang keberadaan batik Tegal, yang selama ini kurang merakyat dalam pemasaran dan rancang pakainya. Ini memang berbeda dengan batik Solo-Yogya atau Pekalongan, yang telah merakyat dan bisa ditemui di manapun dengan harga terjangkau. Dalam hal ini batik Tegal masih tekesan elit, dan perlu diubah kesan ini.
Festival Budaya Tegal
Setelah terciptanya SPIS Tegal Laka-Laka yang kira-kira ibarat Malioboronya Tegal, perlu diadakan trade mark Tegal yang lebih berciri budaya Tegal, sebagai usaha untuk merangsang kreativitas masyarakat dan para pelaku seni Tegal. Yakni dengan mengadakan festival tahunan, dengan mengambil tempat yang sama. Festival tahunan ini taruhlah diberi nama Festival (Budaya) Tegal, dengan menampilkan semua bidang seni sebagai kiprahnya para pelaku seni Tegal. Bedanya dengan penampilan seni pada SPIS, penampilan seni pada festival diutamakan yang lebih kreatif lagi, demi meningkatkan apreasiasi bagi masyarakat umum. Sehingga, apa yang dikehendakkan Tegal menuju kota metropolis lebih terbukti tidak hanya fisik tapi juga karakter budayanya.
Festival ini tentu saja akan menutup sepenuhnya Jl A Yani dari arus kendaraan mobil atau motor, dengan pembuatan pintu gerbang/gapura depan maupun belakang. Idealnya gapura depan di perempatan sebelah utara, gapura belakang di perempatan sebelah selatan (Tumpuk). Panggung-panggung pertunjukan diadakan di beberapa titik, untuk penampilan bagai pertunjukan seni kreatif (musik, teater, seni eksperimen, pentas sastra, pembaharuan kesenian rakyat/tradisional). Juga ada ruang exibition untuk karya industri kreatif, dan ruang galery/pameran sebagai kiprah para perupa). Tak menutup kemungkinan juga dengan diadakannya lomba-lomba kesenian, di ruang-ruang yang lebih tertutup dan lebih membutuhkan apresiasi yang lebih serius.
Kemudian untuk meramaikan suasana, perlu digelar aksi/pentas jalanan dengan penampilan atraktif di sepanjang jalan. Di sini kiprah seniman di berbagi bidang diuji kesahihannya dalam menampilkan bentuk pertunjukan yang bersifat out door. Tidak hanya kuda lumping atau barongsay misalnya, tapi adanya kemungkinan bentuk-bentuk pertunjukan yang semula in door ditampilkan secara out door. Demikian festival yang mungkin diselenggarakan selama sepekan atau dua minggu dan diadakan setiap tahun, akan menjadi trade mark Tegal dalam kiprah kreatif seni-budaya. Ini memang harus melibatkan tiga unsur sebagaimana teori kebudayaan: pemerintah menyediakan fasitas sebesar-besarnya, seniman memberikan kreativitas setinggi-tingginya, dan masyarakat ikut terlibat dan menjaga serta melestarikan kebudayaan bangsa.
Tim Kreatif Dewan Kesenian Tegal
Komentar