Opini Dermayu : Rumbah Semanggen - Nurochman Sudibyo YS

Rumbah Semanggen
Oleh : Nurochman Sudibyo YS.*

Temanku asal Tegal, suatu siang berkomentar soal kota Indramayu sebagai daerah yang absurd. Sembari menyeruput teh manis dan gorengan tempe mendoan, ia representasikan Kota yang selama 42 tahun membesarkanku, tentu saja dengan dasar pengalamannya sendiri sewaktu 2 tahun bertugas sebagai wartawan di Indramayu dan cirebon. Lutfi, memang cukup beralasan.

“Bagaimana tidak, Jon? Sebuah wilayah potensial yang sangat luas dengan ratusan potensi yang kelihatan oleh mata kita (--orang luar) justru tak dirasakan oleh warga sekitar, kecuali kemegahan cerobong pabrik pengolahan minyak dan tangki-tangki Pertamina dengan kokoh berdiri diantara jutaan ton padi yang dipanen setiap 4 bulan sekali. Bukankah ber ton-ton ikan dihasilkan nelayan setiap hari, Banyak perkebunan sekitar hutan, sayur-mayur dan buah-buahan juga dihasilkan selain buah mangga yang setiap tahun menjadi andalan. Bahkan ada ratusan potensi kerajinan rakyat yang dihasilkan tak cukup dilirik. Bukankah ini kontradiktif? “ tuturnya serius.

Lebih lanjut kawanku ini mempertanyakan; “Mengapa mereka memilih hidup miskin? Mengapa mereka tak mau sekolah? Kenapa mereka mau-munya jadi Babu? Kenapa mereka justru senang ketika berkali-kali kena tipu? Bahkan menjadi merek dagang para penguasa dengan label penjual harga diri di negeri ini. Bukankah ini hegemoni yang sengaja dipasang para penguasa jaman kolonial hingga kini. Karena kucurigai daerah ini tak perlu banyak dimiliki banyak orang.“

Dalam catatan kawanku ini, konon sudah beratus tahun masyarakat Indramayu mengalami kesenjangan sosial antara posisi rakyat dengan kedudukan pejabat, aparat dan kini konglomerat. Permasalahan apa yang kemudian menjadi misteri di Indramayu tak bisa dijelaskan oleh Lutfi. Ia hanya mengira-ngira kalau di daerah strategis di ujung muara Sungai Cimanuk ini telah melupakan Sejarah. Saat kutanya sejarah apa yang telah dilupakan penguasa yang kemudian berdampak pada kesengsaraan rakyatnya itu, Lutfi terdiam. Ia lalu menegaskan “Semua menanggung kesalahan dalam sejarah”.

Lalu aku minta saran padanya. “Bagaimana menurut mu. Adakah peluang untuk memperoleh perkembangan positif?” Gila kan kalau dibiarkan. Aku memang keturunan Mataram atau bahkan Majapahit. Tapi tiga anakku dan dua cucuku lahir dari rahim seorang ibu yang sangat Indramayu. Artinya aku punya kewajiban menyelamatkan generasi kedepan agar tidak terus terkena “kutukan” (istilah sinisme). Lutfi entah bergurau entah mengejek. Dengan santai ia menjawab; “Masih banyak Rumbah Semanggen, Jon.”

Rumbah? Ya....rumbah.....Ada apa dengan Rumbah. Jujur saja sejak usia 5 tahun aku dikenalkan dengan rumbah. Sewaktu sekolah di TK Guntur Karangturi, sebagai anak-anak keluarga tentara kami memang dibiasakan makan bubur rumbah. Di Sekolah dasar yang letaknya di pojok Alun-alun, setiap istirahat menu jajan kami ya Rumbah krupuk.

Sewaktu di SMP yang tak jauh dari RSUD terdapat dua kantin yang jualan bubur rumbah dan rumbah semanggen. Di pojok SMA dekat perumahan pensiunan pegawai Pemda dikenal juga pedagang rumbah. Di Pasar Mambo, di Sudut Terminal Kota, di pusat jajan lesehan pinggir kali Cimanuk, di tempat parkiran Rumah Sakit, di depan kantor perbankkan, dan diberbagai daerah, dan desa-desa di Indramayu menempatkan rumbah sebagai makanan keseharian, sebagaimana Kluban di daerah Mas Lutfi, atau Pecel di daerah Jawa Timur dan semenanjung jajirah Pantai Utura Jawa, Rumbah memang makanan siap saji yang tak pernah mengenal kelas. Sungguh Cerdas kawan Tegal yang satu ini memberi sepiring harapan.

Serentak aku berpikir. Sederhana sekali Rumbah ini. Hanya dengan rebusan daun kangkung, potongan kacang panjang, kupasan kol, potongan terong, irisan timun dan sedikit tauge diaduk dengan campuran parutan kelapa dan diberi sambal, lalu jadilah makanan siap saji. Rumbah semakin enak manakala ditambahi krupuk, kueh sayur alias cireng atau dibubuhkan di atas semangkuk bubur udang.

Yang membedakan aroma rumah karena sambalnya. Kita bisa memilih sambalnya. Ada sambal terasi, sambal asem, sambal kacang atau sambal cabe merah beraroma jeruk limo. Meski rasanya kadang menjadi beda, namun kekhasan rumbah juga menunjukkan faforisitas asal dari daerah mana sepincuk rumbah itu berasal.

Secara geografis rumbah diwilayah Indramayu Timur, sekitar Juntinyuat, Karangampel, Krangkeng, Kedokanbunder, hingga menerobos ke kecamatan Sliyeg dan Balongan dikenal dengan rumbah dengan aroma keharuman sambal jeruk limo. Untuk wilayah selatan sekitar Jatibarang, Widasari, Kertasmaya, Lohbener, Lelea, Terisi dan Kecamatan Cikedung masyarakatnya menyukai Rumbah dengan adonan sambal Asem. Lain lagi dengan Masyarakat di wilayah Indramayu Barat, mereka yang tinggal di sekitar Kec. Haurgeulis, Gantar, Anjatan, Sukra, Patrol, Bongas, Kroya, Gabus Wetan, Bongas, Kandanghaur dan kecamatan Losarang justru menyukai rumbah sebagai makanan keseharian. Rumbah sambal kacang dengan tetap tak meninggalkan aroma terasinya jadi menu sehari-hari.

Sedangkan bagi masyarakat Kota Indramayu, rumbah dengan aroma sambal jeruk, sambal terasi, dan sambal kacang dan sambal asem, tersedia sebagai menu pilihan. Artinya siapapun yang ingin menyantap rumbah bisa memilih sambalnya sendiri-sendiri. Menariknya lagi seperti serempak, manakala datang musim penghujan munculnya tanaman semangen atau semanggi di sekitar pesawahan dan kebun-kebun, dimanfaatkan sebagai materi pemanis berbagai jenis rumbah yang sudah kawentar di tatar Indramayu.

Rumbah memang tak mungkin kita peroleh sebagai makanan atau jajanan saat kita berada di luar Indramayu. Manfaat rebusan kangkung yang menonjolkan gizi serta vitamin dari hijau daunnya, sebagaimana juga hijau pare, kecipir, kacang panjang, beribadat pada racikan Rumbah Dermayu. Sedikit warna kuning kupasan kol, Kuning, putih dan merah kembang turi, serta merah menyala kulit kupasan melinjo menjadikan kemenarikan tersendiri pada sajian Rumbah Dermayu. Lembutnya rebusan daun semanggi sebagai penyatuan, yang dimaknai dari simbol daun bercabang lima dengan rasa manis penuh kalori. Apalagi sepincuk rumbah akan semakin gurih setelah dicampuri parutan kelapa. Dan, lebih sempurnanya lagi saat disantap dengan sambal pedas dengan aroma terasi produksi nelayan Indramayu yang dikenal penghasil ikan dan udang dan terasi terbaik di negeri ini.

Rumbah pun menjadi menu yang tak mengenal waktu penyajian. Pagi, siang, sore, dan malam bisa menjadi waktu yang baik saat kita menyantap rumbah. Menjadi lauk diantara nasi, tempe dan ikan asin. Atau menjadi jajanan penyegar di saat siang melepas lelah. Pendek kata rumbah adalah energi dari kesemangatan rakyat Indramayu. Mungkin ini gairah yang tumbuh dari bahasa alam. Lalau aku yakini Hanya Rumbah, menu tepat yang masih bisa dipertahankan menuju pencerahan jiwa rakyat, gelora rakyat dan perekat kebersamaan rakyat Indramayu.

Renungan akan Rumbah pun tak pernah selesai berkecamuk dipikiranku. Kalau benar apa yang dikatakan Lutfi, Hanya rumbah yang bisa menenangkan hatiku. Yang bisa menyelamatkan keturunanku di kota sumber minyak dan gas ini. Mudah-mudahan tak berapa lama muncul kesadaran kolektif dari gairah memakan rumbah. Selanjutnya bercabang manfaat lahir dari berbagai potensi yang ada. Dari sepiring rumbah kemudian diraih perimbangan kesejahteraan rakyat yang signifikan.

Kita memang tak mungkin membuat masyarakat Indramayu melupakan Rumbah. Aku meyakini Rumbah bisa jadi satu-satunya menu yang tak lekang oleh situasi apapun. Apalagi jika tak ada lagi nama-nama sebutan lain selain rumbah. Sampai pada suatu hari orang kehabisan akal untuk memperoleh materi dari idealnya sepiring rumbah. Masyarakat Indramayu pun tetap dengan entengnya menyebut rumbah Kangkung, Rumbah Kacang, Rumbah Gunda dan Rumbah Semanggen sebagai makanan khas-nya. Adapun aroma terasi justru menunjukkan jatidiri rakyat yang tak melupakan jasa laut, dan sekujur alam yang menyelimuti kehidupan mereka. ***

*Penulis adalah penyair dan pekerja seni.
Ketua Medium Sastra & Budaya Indonesia

Komentar