TARLING: SAWER Politisasi Diri di Lingkup Sosial

SAWER, Politisasi Diri di Lingkup Sosial
Oleh : Nurochman Sudibyo YS.

Teropong,

Nyawer, atau Sawer menjadi kata yang khas di Indonesia. Padahal Kata bermakna memberi dengan harapan mendapat tambahan pengaruh terhadap diri secara sosial ini bermula dari kentalnya tradisi masarakat Jawa Barat (suku sunda). Meski begitu besar unsur riya’-nya, karena tidak didasari ketulusan sebagaimana mestinya orang memberi bantuan pada yang tidak mampu. Namun sawer malah menjadi sebentuk aktifitas spontan yang diharapkan oleh banyak orang untuk saling memberikan kebahagiaan. Hal ini terjadi dikarenakan dalam sawer, baik yang diberi maupun yang memberi saling memiliki kepentingan. Tanpa adanya pretensi yang menyambung diantara keduanya pun tak jadi soal. Ini jelas-jelas merupakan tradisi pemberian yang berdamkan sangat dahsyat.


Suatu hari dalam pelaksanaan peresmian gedung baru di Ibu kota Kecamatan, Bapak Bupati disuguhi acara pembukaan dengan tarian topeng Udeng gaya Pekandangan. Karena kelincahan dan kepiawaian si anak menari membuat takjub penonton yang membanjiri acara peresmian tersebut. Usai menari si anak langsung dihampiri Bapak Bupati, Bahkan istri Bupati pun bangkit ikut menyalami si penari sembari masing-masing mengeluarkan uang lembaran ratusan ribu pada si anak penari topeng. Kontan saat itu juga setelah bupati duduk kembali jajaran aparat pemerintah dan tokoh masyarakat yang berada tak jauh dari samping deretan bupati berebut menyalami si penari dan ikut mengeluarkan uang dari dalam dompetnya. Tentu saja tidak seberani Bupati dan Istrinya yang mengeluarakan tiga sampai lima lembaran ratusan ribu.

Jika Sawer sudah jadi tradisi para pemegang tapuk pemerintahan, sudah barangtentu bisa menular pula hingga ke lapisan masyarakat bawah. Lihat saja kini di beberapa tempat, setiap ada acara yang mendatangkan aparatur pemerintah disuguhi kesenian daerah atau tetabuhan musik dangdut kontan akan terjadi tradisi sawer. Tak Cuma Pak Bupati, Camat, Kapolres, Dandim dan Camat Bos Beras, Bos Oncom, Bos Udang sampai Bos Daun Pisang pun nyawer si biduan atau si penari Jaipung atau ronggeng. Konon gaya suka nyawer seperti ini sudah beratus tahun dipertahankan. Konon Sawer adalah tradisi di jaman raja-raja pasundan dan tanah jawa. Kalangan tumenggung, adipati di era masyarakat pulau Jawa menyebar ke seluruh Indonesia sebelum merdeka. Gaya seorang tokoh masyarakat memberikan saweran kepada seseorang yang awalnya dalam bentuk sajian kesenian berkembang ke berbagai persoalan. Banyak raja-raja di Nusantara kemudian gemar memberikan saweran berupa pundi-pundi uang untuk berbagi kebahagiaan dengan siapa saja yang memberikan ketajuban pada hatinya bahkan untuk kepentingan politik dan kekuasaannya.

Era raja memberi sebagian hartanya untuk seseorang, memang ada yang bernilai pembinaan ahlaq namun lama-lama ketahuan pula ahlaq politik yang sebenarnya. Kita pernah dengar seorang Raja menghadiai seorang dukun yang mampu menyembuhkan penyakitnya hanya dengan membaca mantra, kita pun pernah mendengar seorang Raja memberikan saweran yang besar pada rakyatnya yang mampu menggelitikkan hatinya sehingga mampu tertawa terbahak-bahak. Begitu juga banyak Raja, Adipati, dan demang yang kemudian diikuti pula di jaman penjajahan belanda rajin memberikan saweran kepada para sinatria yang mampu menangkap tokoh masayarakat yang melawan kebijakannya.

Sayangnya tradisi menyawer yang awalnya didasari sikap diri yang tulus saling berbagi itu berubah menjadi sebentuk sikap penyawer yang memiliki kepentingan yang lebih dari sekedar membantu. Lihat saja bagaimana saat Raja, atau Adipati, Tumenggung, Gubernur Belanda, Menir Belanda, Bupati, Camat, Kuwu atau Kepala Desa jatuh hati kepada salah seorang perempuan cantik. Maka ia dengan begitu tulus penuh nafsu menghamburkan uangnya baik di saat pesta, di arena Tayub, melalui mak jomblang, mengundang orangtua atau saudaranya sebagai penghubung, maupun di saat menari, berjoget bareng di panggung hiburan dangdut, organ, tarling, sandiwara atau wayang dan tayuban.

Tradisi Sawer orang gedean terhadap bentuk keindahan yang ditapilkan penari di acara peresmian, memberi saweran pada anak yang pintar dan belum pernah mendapat beasiswa, Menyawer anggota masyarakat yang berprestasi, sampai dengan menyawer anak-anak yatim dan rakyat miskin, kini telah menjadi tradisi yang mengakar di masyarakat. Gaya atau stail performa dengan memberi uang pada orang lain dengan berribu kepentingan itu menjadi serum yang ampuh. Bahkan selama kurun waktu yang begitu lama belum ada obat penawar yang mampu menghilangkan penyakit seseorang agar tidak doyan sawer. Yang pasti jika ada tokoh ternama yang secara ekonomi berkecukupan tidak pernah diketahui oleh masyarakat lingkungannya suka membantu, menyaweri sesamanya bahkan tidak terlihat bersikap loman atau dermawan, maka ia dipastikan masuk kategori tokoh masyarakat medit, kucrit, baqhil, buntut kacida dan meregehese. Masih untung jika tidak dituduh nyupang atau ngipri dan berakibat dihakimi masa.

Seorang tokoh masyarakat baik dia Presiden, Gubernur, Para mentri, Bupati, Sekda, Kepala Dinas, Camat, kepala instansi BUMD dan BUMN baik di pusat maupun di daerah, bahkan hingga ke pribadi-pribadi yang saling memiliki kepentingan dari zaman ke zaman melakukan tradisi saweran berupa memberi uang baik merupakan bentuk kepedulian hati, diri, rasa kemanusiaan sampai rasa kasihan dan terparah bisa jadi karena rasa cinta, hingga yang terburuk adalah rasa ambisi, haus akan kekuasaan dan berbakat memberi dengan mengharap balasan bahwa kelak dirinya, atau istrinya, atau anaknya dapat dipilih menjadi presiden, Gubernur, Bupati, Anggota DPR, Anggota DPD, Anggota DPRD, menjadi Kepala Desa. Bahkan lebih dasyat lagi jika dari unsur rakyat jelata, kaum bawahan, di berbagai lembaga ikut-ikut sawer tapi dengan harapan anaknya di terima disekolah, di suatau kampus, jadi hansip, jadi pamong desa, naik pangkat, diangkat mantu, jadi besan, bahkan bisa juga ditarik menjadi wakil bupati, wakil gubernur, wakil presiden, kecuali ngewakili orang mati hingga akhir zaman tak akan ada yang mau.

Apakah tradisi sawer harus dipertahankan? Salahkah orang yang gemar menyawer? Samakah menyawer dengan menyogok, Sawerm nyogok dan suap,? Lalu bagaimana landasan yuridis orang yang memberi dengan harapan, bukan dengan ketulusan apalagi kini telah jadi realita di masyarakat dan bukan rahasia umum. Saweran di Jalan raya pun jadi tradisi. Lihat saja di saat seorang sopir truk melewati kantor Polsek di sebuah ibukota kecamatan, menyodorkan tangan ke luar jendela melemparkan beberapa lembaran ribuan. Lalu seorang kacung yang seharian duduk di jondol berlari mengambil uang tersebut dan disaat Kendaraan yang nyawer agak sepi hasil pungutannya disetorkan ke salah seorang anggota polsek yang berjaga. Begitu juga saat bus- bus di pantura melewati pos-pos di daerah Cirebon, Indramayu, Subang dan Purwakarta mereka dengan sigap menyawer pos tersebut atau disaat kemacetan di jalur internasional itu yang dengan sengaja dimacetkan dengan menggunakan gaya lama yaitu salah satu truk pura-pura bongkar ban. Padahal tak kempes tak ada apa-apa. Setelah satu dua jam macet dan mendapat saweran, mobil patroli yang dikendarai polisi tersebut melesat jauh entah kemana. Semua Sopir bus paham dan sangat memahami kapan siang hari harus sawer, dan malam hari pun kembali sawer.

Akibat tradisi sawer ini menjalar pula dalam pola kehidupan bermasyarakat, Kalau hari ini ada masyarakat yang memperoleh bantuan dari tim sukses presiden, atau tim sukses calon bupati ke depan, besoknya ia dengan terpaksa nyawer saat namanya dipanggil-panggil di acara pentas wayang, atau organ. Atau ia pun harus berani mengeluarkan segepok hasil sawerannya untuk menolong anaknnya yang ditlang polisi karena tak punya SIM, atau ketika diminta sipir penjara saat menengok kekasihnya. Begitu juga kapan seseorang harus sawer pada jaksa dan hakim disaat mereka menghadapi permasalahan hukum baik di kejaksaan negeri atau kejaksaan tinggi. Semua diakui karena tak ada yang gratis di dunia ini kecuali Tuhan memberi nafas. Padahal yang paling baik nyawer pada istrinya yang mengurus suami dan anak-anaknya dengan tulus. Atau pada anak-anak nya yang berprestasi dalam bentuk benda yang bermanfaat bagi pendidikannya.

Kalau melihat anak-anak kita yang masih duduk di SD, SMP, apalagi SMA dan Perguruan Tinggi. Setiap berangkat sekolah atau kuliah membutuhkan bekal untuk transport, jajan, kebutuhan alat tulis, foto copy, patungan antar teman, menabung di sekolah, gantian mentraktir teman, kawan dan dosennya, bahkan ingat manakala anak kita sudah dewasa ada anggaran uang pacaran atau saat mereka mulai berhubungan akrab dengan lain jenis dalam bentuk pacar-pacaran. Kebutuhan rutin masarakat dimasa kini yang sebegitu banyak, parah, bahkan menyedihkan itu tidak dibarengi dengan kemajuan perekonomian masyarakat yang menjadi pondasi guna menjalani realita kehidupan yang sarat dengan percaturan uang tersebut.

Kita pun jadi tak bisa mengelak untuk menerima saweran dari para penguasa, atau tokoh ambisius lainnya karena kita tak mampu menembus kalbunya. Apakah ia tulus dalam memberi atau tidak, hanya Tuhan yang tahu. Namun demikian pemberian yang dibarengi dengan unsur Riya’ apalagi kepentingan politik, mengharap dipuji dan mengharap dipilih sudah pasti merupakan permainan. Nah, kalau masuk kategori bermain uang, apa bukan judi. Kan perjudian adalah kegiatan yang didalamnya besar unsur harapan memperoleh kemenangan. Lalu siapa yang harus melarang dan kapan harus dilarang? Karena bermain uang dengan cantik di era musim demokrasi politik, justru sangat banyak di harakan kalangan wong cilik. Apalagi di musim paceklik dan di saat ekonomi masyarakat kiat mencekik.

Bagus atau tidak, bermanfaat atau tidak, menyawer dan tradisi sawer selain menunjukkan jati diri kemakmuran seseorang, namun itu juga dapat membuat citra kemiskinan berjangkit di mana-mana bahkan terkesan dciptakan. Lihat saja di sa’at Bupati, Gubernur, atau Presiden turun ke daerah, banyak tangan-tangan rakyat yang ditadahkan menghadap langit namun ujungnya diarahkan ke wajah tokoh politik yang datang ke desanya. Memang pemandangan seperti ini telah disikapi secara arif oleh pemerintah dengan mengeluarkan Bantuan Langsung Tunai yang dikenal dengan be-el-te yang lagi-lagi menjadi bentuk lain dari jenis saweran politik kepada rakyat. Padahal di lapangan yang terjadi tidak semua jumlah uang itu diterima rakyat karena aparat desa pun punya kepentingan dengan lembaganya, munculah alasan banyak yang belum dapat atau banyak yang meminta diberi status miskin kepada PakKuwu atau Kepala Desa dengan harapan dapat BLT. Dapat Kompor Gas, dapat bantuan pinjaman uang dan lain-lain.

Ramai-ramailah kita menjual kemiskinan. Karena rakyat miskin bisa menjadi sarana politik. Rakyat miskin sangat strategis menjadi mitra kepentingan politik seseorang. Cukup dengan menabur uang, bersawer sedikit pada mereka kalangan miskin maka nama seseorang akan dielu-elukan. Gaya politisasi fragmatisme seperti ini masih akan terus berkembang pesat di berbagai daerah, kecuali dalam komunitas masyarakat kaum cerdas terdidik, dan masyarakat yang memiliki SDM asli secara alamiah benar-benar nyata bukan karena program ABS (asal Bapak Senang) atau Asal Pemerintah Senang.

Kemiskinan yang melembaga, kemiskinan yang tercipta atau kemiskianan yang diakumundir dalam setiap kurun waktu, tidak dapat dijadikan alat ukur kemajuan atau kemunduran suatu negeri, manakala parameter itu justru dijadikan alat untuk pencapaian target kemenangan bagi suatu lembaga politik maupun pribadi-pribadi yang tengah merintis karier politiknya. Jadi janganlah heran jika tradisi sawer akan terus berlangsung di negeri penyawer ini sampai-sampai kapan waktunya kita akan menjadi bingung siapa yang menyawer dan yang semstinya terima saweran karena mereka baik yang berstatus ekonomi tinggi maupun kategori rendah atau mereka yang Konglomerat sampai kaum melarat sama-sama senang menyawer dan disaweri.

Padahal yang paling tragis di saat masayarakat Indonesia belum lepas dari mempinya mengagumi kekayaan negeri Saudi Arabia atau negeri asing. Mereka dengan rela mengorbankan dirinya menjadi babu bahkan budak belian di negeri tersebut hanya karena ingin dapat saweran dari majikan di negeri yang terkenal dengan Real, dinar atau dolarnya itu. Mereka larut jadi tumbat image negeri kantong minyak, Negeri Industri dan Kemakmuran dalam konteks negeri penerima pekerja asing. Kaum pekerja TKI kita lalu tak tida tahu kalau sekarang Saudi Arabia sudah tidak lagi menghormati kaum perempuan dan pekerja Indonesia karena jajaran Pegawai Kedutaan Besar negeri kita di Arab Saudi telah mabuk mata dan pikirannya karena kerap kali terima uang sawer berupa harta benda dari berbagai kalangan pejabat, aparat dan penguasa pemilik kepentingan dan kebijakan di sana. Jangan heran Sehingga mereka tutup mata melihat ribuan perempuan Indonesia mati dianiaya majikan, diperkosa bahkan yang melarikan diri ditangkapi. Dilakukan erja paksa dan diperkosa polisi-polisi Arab setelah puas dilempatr begitu saja. Mereka dipaksa menerima saweran dari pemuas nafsu. Kalau task mau tak bisa dipulangkan.

Sawer dimana-mana membawa begitu dahsyat pengaruh bahkan juga malapetaka. Sawer selain mempertunjukkan kemaslahatan, kepedulian sosial, keperihan atas kemiskinan, ketamakan atas kekuasaan, keangkaramurkaan, kerusakan moral juga tipisnya kemanusiaan. SMS yang baru saya terima malam ini disaat tengah menulis “esai Tradisi Sawer” aku dihubungi seorang Teman sekaligus pemilik Rumah kontrakan dimana sekarang saya tinggal. Teks yang dikirimkannya sangat singkat namun membawa cerita yang amat sangat memilukan. Sungguh sangat menyayat hati dan perasaan kemanusiaanku. Bagaimana tidak. Di Arab Saudi, khususnya kota Riyad, Mekah dan madinah, Pelayanan pengamanan dan penghormatan aparat terhadap pekerja tenaga wanita m juga Kedutaan Besarnya tidak seperti negara lainnya. Kaum wanita Indonesia yang kabur karena pelecehan seksual dan karena tridak dibayar gajinya berlarian keluara rumah.

Mereka ditangkapi Polisi Negeri setempat tanpa perlindungan. Tak ada petugas KBRI yang membela mereka. Akhirnya ribuan TKI yang pengen pulang oelh aparat setempat dipaksa kerja keras dan membantu para pedagang bahkan kerja apa saja dengan kepastian dapat saweran. Berbeda dengan Kedutaan negeri lain menurut Ron, alias Rosalinda, sahabatku ini Kantor |Kedutaan negara lain cepat tanggap dengan kondisi rakyat yang ada di negari Arab. Menurut Ron, Negara Arab Saudi menang banyak dikenal sebagai daerah suci, tapi kaum lelakinya mayoritas persis anjing kalau melihat kaum perempuan Indonesia langsung pengen nubruk, matanya hijau langsung main paksa. Kalau menolak modusnya berbalik memfitnah dan yang rugi adalah TKI. Sudah tak ada yang melindungi dianiaya dan dilecehkan harga dirinya eh mati kelaparan pula karena tak bisa pulang ke Indonesia.

Ribuan warga Indonesia menurut SMS ke 4 Rosalinda kini ingin segera pulang tapi tidak bisa. Mereka tertumpul di bawah jembatan namanya Kandara bab, mekkah, jedah, banyak orang Madura, Sukabumi dan Cianjur merasa kesakitan. Mereka banyak yang mati. Yang belum waktunya pulang anehnya justru dipulangkan. Dan, yang ingin pulang malah ditangkapi dirampas harta benda dan perhiasannya, lalu dipaksa kerja serabutan, disiksa karena tak ada sejumlah uang tebusan, mereka dipaksa cari saweran dari lelaki pemuas hawa nafsu. “Tolong mas sampean penulis dan wartawan sampaikan informasi dari saya ini kepada seluruh halayak kalau bisa pada presiden,” harapnya Rosalinda iba. Saya pun kemudian menjawab dengan es-emes “...ya akan saya usahakan bantu sebisa mungin. Bersabarlah. Hanya doa yang akan membebaskan alian,” jawabku.

Dengan sigam malam itu juga akau sebisa mungkin SMS pada seluruh nomor pejabat dan aparat yang ada di HP ku. Entah bagaimana hasilnya saya justru berharap dari tulisan “tradisi sawer” ini siapa tahu akan mengetuk hati kita untuk mensuport mereka para pemilik kebijakan untuk menyawerkan harta dan pundi-pundi dolarnya demi keselamatan konsituen dan warga kita di Negeri Arab dan lain-lainnya yang membutuhkan pertolongan. Serta barang-bareng melakukan gerakan penolakan pada segala jenis saweran suap yang akan mengakibatkan panata hukum, aturan dan berbagai dasar hukum kenegaraan menjadi rusak karena salah dalam penggunaannya, maka gara-gara saweran, sogokan dan suapan kita terancam masuk penjara atau lagi-lagi saudara-saudara kita mati bahkan hidup mengenaskan di negara lain karena menolak saweran padahal mereka ngiler banget mencicipi kecantikan wanita Indonesia. ***

*** Penulis adalah seorang Pekerja seni, Jurnalis dan Aktifis KEKER.Tinggal di Indramayu. Bermarkas di Dewan Kesenian Indramayu. Jl. RA Kartini No 1 Indramayu Kode pos 45212 .. HP : 085224507144 dan 087828576118
No. Rekening: an. NUROCHMAN SUDIBYO. YS
No. Rekening : 0028-01-020625-50-9
Bank Rakyat Indonesia (BRI) Cabang 0028 Indramayu

Komentar