Te Pe Es Jurdil















teropong - Indramayu,
Suatu pagi di Rabu yang cerah, dengan wajah ceria sepasang keluarga muda berboncengan motor menuju suatu tempat sebagaimana tertulis di dalam surat undangan yang telah ditandatanganinya di hadapan ketua erte. Ada perasaan seperti tengah berlebaran, usai puasa berbulan-bulan. Atau seperti kenduri tasyakuran keluarga. Silaturahmi antar warga pun terjadi dengan meriah.

Tepatnya di halaman rumah mas agus pimpinan group organ dangdut, yang jaraknya tak jauh dari jalan raya Pantura menuju Jakarta. Nampak di depan sekali tertulis “Selamat Datang di Tepe-es 10. Disini akan dilakukan penyontrengan nama calon anggota legislatif untuk kota kita, Propinsi dan DPR RI serta penyontrengan foto Calon Dewan Perwakilan Daerah yang bebas dipilih oleh 350 anggota warga erte 32, 33 dan 34 Desa Pulo Babi, Kecamatan Kebo Gupak Kabupaten Cocot Menyawak yang memiliki hak pilih dan tercantum sejak bulan Agustus tahun kemaren di lembar DPT Daftar Pemilih Tetap. ”. Aku tertegun dengan spanduk yang dihias dengan icon kesenian wayang kulit tersebut karena nampak ada gabungan unsur seni dan potensi sosial masyarakat yang berfikir maju dengan tetap memegang rasa kedaerahan yang tinggi.

Lebih menariknya lagi ketika saya selesai menyapa beberapa warga yang duduk dideretan kursi terdepan, aku dibuat terkesima karena di atas kepala warga yang ngantri panggilan, terdapat lampion bertuliskan; Tegakkan penyontrengan yang jurdil”, “Pilih Wakil Rakyat yang benar-benar di kenal”, “Jika bingung pilih partainya saja”.”Contreng potret calon DPD yang terkenal”, “Boleh bawa gambar calon atau partai yang hendak dicontreng”. Bukankah ini penggambaran real soal kemajuan dan kesadaran pemikiran itu.

Bahkan ketika usai menyontreng di bilik yang serba cekak dan super mini itu para penyontreng diminta untuk mencelupkan salah satu ujung jarinya di sebuah tutup tinta yang mengering. Selanjutnya sebelum pulang penyontreng diwajibkan membaca spanduk yang berbunyi; “Sebagai pemilih yang baik, simpan rahasia, boleh pulang ke rumah atau saksikan sampai tuntas peristiwa penyontrengan bersejarah hari ini. Karena bisa jadi ada nama yang tidak anda kenal di tiga erte kita. Karena surat suara mereka harus diawasi termasuk kategori blangko, dan dapat dicatat oleh kalian sebagai pemilih fiktif. Adapun bagi para penganut kejujuran dan keadilan ajak semua teman yang punya camera digital atau HP kamera untuk memotret hasil perhitungan terakhir karena jumlah pilihan yang dicontreng dan sisa suara yang blangko dan yang tidak sah di tepe-es inilah yang paling benar, solid dan syah menurut logika berfikir kita yang akan mempermudah dan mempercepat perhitungan hingga sampai menuju PPK dan KPU. Jangan biarkan PPS menandatangani hasil penyontrengan tanpa adanya saksi dari beberapa partai dan pemantauan dan Pengawas di tingat Desa.

Anehnya meski ajakan yang mengarah kepada peristiwa sejarah penyontrengan itu berlangsung dengan lancar, pada kenyataannya PPK justru memiliki tehnik penjumlahan tersendiri yang entah teorinya diajarkan oleh siapa padahal sudah sangan jelas tertulis nama partai anu memperoleh suara sekian ratus yaitu untuk nama caleg nomer sekian, sekian, selanjutnya nomor yang lain sekian dan yang tidak sah sekian. Begitu pun selanjutnya, baik untuk caleg kabupaten, propinsi dan DPR RI atau pilihan terhadap calon DPD.

Seorang teman dari partai Kemakmuran bersama mengaku sudah empat hari ini melakukan pengawalan suara dari partainya. Ia dengan polos mengatakan bahwa bagi partai atau caleg yang tidak melakukan pengawalan terhadap perolehan suara sejak dari tepe-es hingga ke KPK dan selanjutnya di KPU dipastikan akan kehilangan suaranya. “Lho masa begitu bagaimana caranya itu?” ujarku.. Sejak dahulu pemilu di negeri ini dipenuhi orang-orang pinter dan ahli siasat. Apalagi mereka yang dibayar oleh partai berkuasa untuk terus memperjuangakan pemerintahan yang tidak demokratis bahkan dimana-mana menyebarkan slogan “Lebih baik menang curang daripada kalah wirang”. (Lebih Baik menang dengan curang dari pada kalah mendapat malu)

Oh ini rupanya penyebab lambatnya laporan KPU dan ditandatanganinya Hasil penyontrengan se kabupaten Cocot Menyawak yang semestinya sudah ditunggu-tunggu oleh rakyat. Karena rakyat pun ingin tahu jumlah global dari calon anggota legislatif yang dijagokannya, atau partai pilihannya memperoleh dukungan seberapa besar. Keanehan demi keanehan ternyata terus menyelimuti pikiran rakyat. Apakah memang sudah seharusnya rakyat tugasnya berpikir saja.

Son! Son! Sini, aku dengar partai-partai baru tengah berkumpul untuk melakukan mosi tidak percaya pada KPU. Ada apa ini? Sebenarnya apa sih yang terjadi? Kenapa mereka tidak puas dan apa yang menyebabkan munculnya tuduhan kecurangan itu ? Bukankah sebelumnya sudah diantisipasi secara dini?

Sulit to, semuanya memang harus terjadi seperti itu. Politik kan targetnya kekuasaan. Jadi jangan heran jika yang berkuasa akan ngotot untuk menang dengan berbagaimacam cara. Adapun bagi partai yang lama atau baru pun memiliki hak untuk memperjuangkan kemenangannya. Jadi itu soal yang lumrah. Jangan seperti siswa SMA yang dibanggakan karena mampu menghitung cepat dengan pedoman hasil pemilihan di tepe-es yang sudah dipotret. Potret itu kan baru sepihak. Sepihak apanya Son? Bukankah sudah disaksikan oleh beberapa parta dan sejumlah masyarakat. Ya sepihak To! Karena dari partai yang berkuasa pasti tak hadir saat itu, atau ada saja partai lain yang kebetulan sengaja atau tidak sengaja memang tak hadir saat itu. Mereka justru hadir saat penghitungan komulatif di PPK dan KPU.

Wah, jika begitu aku sendiri semakin paham bahwa wilayah politik ini adalah wilayah terbuka yang memang bisa diotrak atik, baik dari sisi realita sampai sisi hukum yang sudah dibuat. Kalau selamanya begini aku mah enggan untuk masuk ke wilayah politik praktis. Karena wilayah ini bukan wilayah logika dan intelektual. Meski banyak orang intelektual yang bercokol di situ.

Sudah lah to, kamu lebih baik nonton telefisi saja. Lihat itu wajah Gubernur mu, dan Presidenmu. Mereka lebih layak jadi santapan pemberitaan dan ratingnya pun bisa bersaing dengan isyue artis yang selingkuh, gugat cerai, pisah ranjang dan yang berulang tahun atau punya momongan.

Atau saksikan saja isyue partai yang bakal bubar karena tak memperoleh 2,5 persen suara secara nasional, atau yang kalah bersaing dengan mitra kerjanya. Bahkan lebih menarik pula bila kita cermati ribuan caleg legislatif yang gagal memperoleh suara padahal sudah mengeluarkan biaya untuk dana kampanye kendaraan partai, bikin stiker, beli bendera, bikin baleho, melakukan pertemuan di hotel, dan biaya akomodasi pembuatan posko pemenangan juga bantuan-bantuan yang diminta oleh masyarakat yang hendak memilihnya.

Lihat tuh, ada yang gantung diri di kebon kopi, ada yang terserang jantungnya hingga mati di dalam hotel, ada yang melarikan diri entah ke mana setelah nunggak hotel sebulan lebih dan belum bayar tunggakan bikin barang cetakan. Apa nggak lebih menarik jika sebentar lagi banyak caleg yang gagal masuk rumah sakit jiwa, atau turun ke jalan-jalan mukuli tiang listrik dengan batu. Wajar saja jika dewan kesenian kota pun menyediakan sarana penginapan lesehan untuk rehabilitasi caleg gagal, soalnya diprediksi ratusan caleg tersebut akan terkena depresi dan penyakit stres yang tinggi.

Yang perlu kita kembalikan kesadaran masyarakat politik adalah bagaimana menghormati kesadaran masyarakat desa di tepe-es. Karena disitu letak kemurnian ditanamkan. Apalagi Ketua panitianya adalah kepala sekolah, dan tokoh masyarakat yang ditunjuk. Bukan kah ini merupakan cerminan yang riel dimana tepees mampu menjadi ajang silaturahmi yang bermuatan educatif dan realitas sosial cultural yang bermoral ***

Komentar